Sopir Bus Mengemudi Sambil Bersalawat

Sabtu, 19 Juli 2025 - 22:19
Bagikan :
Sopir Bus Mengemudi Sambil Bersalawat
Parkiran lapangan Pondok Pesantren Nurul Jadid. [Sumber foto: IG: @pesantrennuruljadid]

Alfikr.id, Probolinggo – Saat ribuan jamaah dari berbagai daerah memadati Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, untuk mengikuti haul Masyayikh An-Naqsabandiyyin Al-Ahmadiyyin, di sela keramaian itu ada sosok yang kerap luput dari sorotan: Edi Arisandi, sopir pengantar jamaah asal Asembagus, Situbondo.

Pria berusia 49 tahun itu duduk santai di atas tikar, mengenakan baju putih lengan pendek, sarung hitam, dan kopiah. Meski tampak lelah, wajahnya memancarkan ketenangan khas seseorang yang sudah lama terbiasa menempuh perjalanan panjang penuh hikmah.

Edi (baju putih) sedang beristirahat beralaskan sebuah tikar, Kamis (17/07/2025). [Sumber foto: Alfikr.id/Shahib]

Edi bukan sekadar sopir biasa. Ia bertugas mengantar rombongan jamaah Tarekat Naqsabandiyah yang tidak hanya menghadiri haul, tapi juga ziarah ke makam para ulama. Pada hari itu, Kamis 17 Juli 2025, perjalanan mereka dimulai sejak pagi hari. Rombongan singgah di makam KH. Hamid di Pasuruan, kemudian melanjutkan ke makam KH. Hasan Genggong di Probolinggo, dan akhirnya tiba di Pondok Pesantren Nurul Jadid.

Sepanjang perjalanan, Edi tak pernah lepas dari dzikir dan selawat. “Saya kalau nyopir sambil berselawat. Ini bukan untuk pamer, tapi supaya tidak lupa,” ujarnya sambil menunjukkan tasbih digital berwarna merah yang melingkar di jarinya. Cara ini sudah ia jalani sejak menjadi santri di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, tahun 1988.

Perjalanan panjang itu berlangsung pada hari Kamis sore hingga malam di wilayah Jawa Timur, melewati rute dari Situbondo menuju Pasuruan, Probolinggo, dan akhirnya Paiton. Mereka sempat berhenti sejenak untuk salat Magrib di sebuah masjid di Kraksaan sebelum melanjutkan ke lokasi haul.

Bagi Edi, mengemudi sambil mengingat Allah adalah bentuk pengamanan diri paling ampuh. Dengan selawat dan doa, hatinya tetap tenang dan fokus, sekaligus menjaga keselamatan jamaah yang ia bawa.

Meskipun pekerjaan sebagai sopir hanya memberikan penghasilan sekitar Rp250.000–Rp300.000 bersih per hari setelah biaya bahan bakar dan lain-lain, Edi tetap bersyukur.

“Saya punya tiga anak perempuan. Anak pertama kuliah, anak kedua tahfiz di Bondowoso, anak ketiga masih sekolah dasar,” ujarnya.

Ia mengaku cukup senang bisa menafkahi keluarganya meski penghasilannya tidak besar. “Kalau dihitung-hitung, pengeluaran lebih besar daripada pemasukan. Tapi entah bagaimana, kami bisa bertahan,” kata Edi sambil tersenyum.

Menurut Edi, rasa lelah sering menghampiri, apalagi ketika singgah di makam ulama, ia sulit tidur. Namun, semangatnya tak pudar. Ia bahkan merasa perjalanan ini penuh keberkahan. Ketika Kru ALFIKR berbincang, salah satu penumpangnya, Miskono, datang dari lokasi haul, tampak kelelahan setelah seharian berziarah.

“Capek, lempo tak kuat, kaso,” ujarnya sambil tertawa. Melihat itu, Edi hanya tersenyum hangat. Baginya, menjadi sopir pengantar jamaah haul bukan sekadar pekerjaan, tapi juga pengabdian spiritual yang menyatukan perjalanan dunia dan akhirat.

Penulis
Shahib Kholil Rahman
Editor
Ibrahim La Haris

Tags :