Aksi Damai Santri, Gus Haris: Mengabdi 24 Jam Tanpa Digaji

Selasa, 21 Oktober 2025 - 20:23
Bagikan :
Aksi Damai Santri, Gus Haris: Mengabdi 24 Jam Tanpa Digaji
Bupati Probolinggo, Dr. Muhammad Haris, menyampaikan sambutan di hadapan massa aksi yang menolak tayangan Xpose Uncensored Trans7 yang dianggap melecehkan marwah pesantren dan kiai, di depan Kantor DPRD. Senin (19/10/2025). [alfikr.id/Ibrahim La Har

alfikr.id, Probolinggo- “Saya ingin kita membayangkan bersama-sama, dua puluh empat jam dalam sehari, tujuh hari dalam seminggu, dan tiga ratus enam puluh lima hari dalam setahun, para kiai terus berjuang untuk akhlak umat,” ungkap Dr. Muhammad Haris, Bupati Probolinggo.

Hal itu disampaikan dalam sambutannya di hadapan ribuan santri, alumni, dan simpatisan pesantren se-Kabupaten Probolinggo, saat aksi damai menolak tayangan Xpose Uncensored Trans7 yang dianggap melecehkan marwah pesantren dan kiai, di depan Kantor DPRD, Senin (19/10/2025).

Kemudian Gus Haris, begitu ia disapa, bertanya kepada massa aksi. “Apakah ada yang membayar para kiai?,” tanyanya. Serentak massa menjawab tegas. “Tidak ada!.”

Beda halnya dengan Aparatur Sipil Negara (ASN). Ia menuturkan bahwa ASN memperoleh gaji dan fasilitas dari negara, bahkan dapat melakukan protes jika terjadi keterlambatan pembayaran. Sementara para kiai yang membimbing umat, tidak pernah menerima fasilitas serupa.

“Saya berbicara atas nama bupati, atas nama kepala daerah. Tetapi saya memaklumi betul bahwa tugas para kiai jauh lebih besar dan berat dari kami,” terang bupati yang dikenal sebagai tokoh pesantren itu.

Potret massa aksi, Senin (19/10/2025). [alfikr.id/Ibrahim La Haris]

Selain itu, Gus Haris menyampaikan maraknya narasi yang akhir-akhir ini menyudutkan pesantren. Ia menilai bahwa berbagai framing dan isu yang menyerang lembaga pesantren maupun organisasi seperti Nahdlatul Ulama (NU), yang telah berkembang luas dan berpotensi merusak kepercayaan publik.

“Secara pribadi, jika saya memberikan hadiah kepada para guru dan kiai, itu adalah bentuk penghormatan dan rasa terima kasih kepada mereka. Karena telah membimbing dan menerangi kehidupan santri. Jadi sesuatu itu tidak patut dicurigai dan dipermasalahkan,” jelasnya.

Gus Haris mencontohkan tradisi di Jepang, di mana para siswa menunjukkan rasa hormat kepada gurunya dengan cara menunduk, bahkan kepada sesama. Tradisi tersebut, menurutnya, sejalan dengan budaya di pesantren, di mana para santri menunduk penuh takzim dan mencium tangan kiai sebagai bentuk adab serta penghormatan.

“Jadi seluruh kalangan santri, lingkungan pesantren, serta para kiai untuk terus mempertahankan akhlak mulia yang telah menjadi ciri khas dunia pesantren. Karena, menjaga adab, memperjuangkan marwah, dan martabat pesantren sebagai warisan nilai-nilai luhur yang harus terus dilestarikan,” ucapnya.

Ia juga mengimbau agar masyarakat, khususnya para santri, lebih bijak dalam menggunakan media sosial. Sebab, satu kata yang tidak tepat, dapat menimbulkan kegaduhan dan membawa dampak besar. “Belajar bijak untuk hati-hati. Karena, satu kata bisa menghadirkan kegemuruhan,” tutupnya.

Penulis
Ibrahim La Haris
Editor
Ahmad Rifa'i

Tags :