Jalan Keluar Nasib Petani Tembakau
Senin, 21 Agustus 2023 - 23:05alfikr.id, Probolinggo- Hari itu, Tamimuddin petani
tembakau dari Desa Sidodadi, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, dengan peci, sarung, dan bertelanjang dada
tengah melepaskan penat setelah selesai mengontrol tembakau yang sedang ia
jemur di halaman rumahnya. Kakek kelahiran 1949 ini menceritakan, bahwa dirinya telah lama bergelut di dunia
tembakau.
“Sebelum
gudang-gudang besar ada di Probolinggo, sekitar tahun 1956 saya sudah mulai
bantu-bantu orang tua bertani tembakau dulu itu biasanya dikirim ke gudang di
Jember dengan rajang halus,” ucap pria dengan rokok linting di tangan melalui ceritanya.
Ia mengisahkan,
petani tembakau sebelum datangnya gudang-gudang besar tidak mengenal ranjang
kasar. Mayoritas tembakau petani dirajang halus. Setelah dirajang dan dijemur,
petani tidak langsung menjual, tetapi disimpan dalam wadah anyaman bambu yang
ditutup dengan daun jati sekitar empat bulan. “Semakin lama disimpan dan diamkan
harganya semakin mahal,” imbuhnya.
Ketika gudang-gudang besar mulai berdatangan, petani tembakau dengan sistem rajang halus mulai berkurang sembari mengingat-ingat lagi, ia berujar, “Sekitar tahun 1965, tembakau masih dirajang halus,” ujarnya. Perbedaan sistem rajang halus dan kasar sebenarnya hanya terletak pada fase “perret” yaitu membuat tangkai daun sebelum dirajang.
“Nah ketika
Paiton mulai ada gudang tembakau, kala itu gudang yang memasok ke Sampoerna
tapi saya lupa tahun berapa, baru ada perbedaan, tidak perlu diperret tapi
rajangnya masih sedang, tidak kasar dan tidak halus,” lanjut Tamim.
Dari segi harga,
Tamim melanjutkan, bahwa petani lebih untung ketika tembakau dirajang halus. Ia mengaku selama menjadi petani tembakau, tahun 1975 merupakan tahun
keemasan. Kala itu, satu kilo tembakau setara dengan 10 kg beras. “‘akanya dulu
itu tembakau biasa disebut daun emas,” kenangnya.
Sayangnya, masa keemasan komoditas tembakau semacam itu tampaknya hanya menjadi kenangan bagi seseorang petani seperti Tamim. Bukan hanya komoditas tembakau, komoditas pertanian lain di Probolinggo memang tidak menyejahterakan, lebih-lebih kondisi pandemi Covid-19. Hal tersebut diungkapkan oleh, Ketua asosiasi petani Kabupaten Probolinggo (Aspekpro), Muzakir.
Sejumlah petani yang ditemui ALFIKR menduga kondisi tersebut disebabkan tidak adanya alternatif untuk menjual hasil panen. Menurut Mudzakkir, hal tersebut membuat petani tidak lagi berdaya di hadapan tengkulak dan gudang. Selain itu, setiap musim panen tembakau tiba, petani selalu mengalami kerugian.
“Selama ini tembakau cenderung dimonopoli oleh gudang-gudang besar. Petani tak memiliki alternatif pasar selain ke gudang,” kata Mudzakkir ketika ditemui di rumahnya.
Untuk mengatasi
hal tersebut, menurut Mudzakkir, petani sudah mencoba untuk membangun alternatif-alternatif pasar. Salah satunya adalah dengan merajang halus. Namun, hal
itu bukan tanpa masalah. Tembakau yang dirajang halus memiliki biaya produksi
yang lebih tinggi ketimbang dirajang kasar. Di lain sisi, lanjutnya, petani
yang minim modal membutuhkan uang cepat guna menyambung hidup. Baik untuk makan,
bayar hutang atau modal tanaman selanjutnya.
“Kan petani
tembakau itu butuh modal yang besar. Nah petani yang lahan dan modalnya sedikit
ini kadang membiayai tembakaunya dengan berhutang. Sedangkan tembakau yang
dirajang halus itu mesti disimpan dulu agar bisa dijual. Belum lagi biaya
produksinya yang juga lebih mahal daripada ranjang kasar,” lanjutnya.
Hal itu diamini
oleh Sugiman, petani asal Desa Jabung, Kecamatan Paiton. Menurutnya, upah
tukang rajang halus sebesar Rp 100.000 per orang dari jam 19.00 sampai subuh. Itupun, hanya mampu menghasilkan 10 kg tembakau. Berbeda dengan ranjang
kasar yang upahnya kisaran Rp 60.000-80.000 dan menghasilkan lima kuintal dari jam
07.00 sampai jam 00.00.
“Itu belum biaya
konsumsi dan upaya nampangih (menata di wadah penjemuran). Makanya jarang
petani yang tembakaunya dirajang halus. Selain itu, juga tidak bisa langsung
jadi uang, harus disimpan, minimal 2 bulan. Sedangkan tak sedikit petani yang
justru dikejar hutang,” ujarnya.
Keahlian
merajang halus dan buruh nampangih hanya dimiliki oleh segelintir orang. Soal
harga memang lebih tinggi tergantung usia nyimpannya. “Semakin lama memang
semakin mahal. Minimal itu ya 2-3 bulan. Harganya juga bisa sampai Rp 60.000-Rp 70.000
beda jauh dengan ranjang kasar, paling mahal hanya Rp 30.000- Rp 40.000, itupun jarang
yang mau menyentuh harga Rp 40.000,” ucap Hasan Basri, petani tembakau asal Desa kendang,
Kecamatan kota Anyar.
Untuk pemasaran
tembakau rajang halus, sebenarnya tidak begitu rumit. Bagi Hasan Basri, pola pemasaran
tembakau oleh yang halus bisa dilakukan dengan beberapa pilihan. “Bisa dengan
mengemas sendiri. Satu bungkus 5 ribu, tinggal dititipkan di warung kelontong
atau nunggu orang-orang yang mengambil dalam jumlah banyak. Biasanya datang ke
rumah-rumah,” lanjutnya.
Sugiman
menambahkan, sebenarnya ada solusi selain di rajang halus yang juga pernah
dilakukan di Probolinggo, yakni rokok rakyat jiduran. Produsen rokok home
industry mampu menandingi produk pabrik-pabrik besar.
Bagi Sugiman,
beberapa rokok jiduran sangat menguntungkan pihak petani. Pasalnya, petani
memiliki pilihan untuk menjual hasil panennya selain ke gudang pemasok pabrik
besar.
Namun, rokok
jiduran itu tak bertahan lama karena pemilik home industry tidak mampu
membiayai dan menuruti aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait bea
cukai. Sugiman melihat, masifnya distribusi rokok jiduran membuat pabrik-pabrik
besar merasa terganggu. Padahal, lanjutnya, home industry tersebut merupakan
salah satu solusi untuk keluar dari jerat gudang.
“Dulu rame (jiduran, red) banyak yang sukses. Jiduran itu ambil ke petani juga. Tapi emang harus didiamkan 1 tahun baru bisa diproses. Kalau langsung tidak bisa. Jaya dulu jiduran itu sekuintal-dua kuintal (tembakau, red) buat proses jiduran. Kalau ada 5-10 produsen kan lumayan untuk petani. Apalagi di daerah Madura, di sana lebih banyak,” ungkapnya.
Hasan Basri menambahkan bahwa di Desa Talkandang sempat ada beberapa home industry jiduran. “Sekarang sudah tidak ada produsen rokok jiduran tinggal distributornya saja yang banyak,” imbuhnya
Mudzakkir melihat
maraknya rokok jiduran, selain merupakan ide kreatif dari pengusaha lokal, juga
menjadi ancaman bagi pabrik-pabrik besar. Ia melihat potensi membaiknya masalah
yang selama ini mencekik petani, andaikan rokok jiduran mampu bertahan dengan
cukai. “Tapi kan cukainya semakin lama juga semakin mahal,” katanya.
Petani tembakau bukan tidak ingin keluar dari jerat lingkaran tata niaga yang tidak beres dan cenderung bergantung pada gudang. Namun, bagi Mudzakkir, hal itu sebenarnya bisa dibenahi dari kebutuhan paling dasar, yaitu akses pada modal. Mudzakkir mengisahkan petani yang pernah ia temui, kebutuhan modal sejak awal sudah didapat dari berhutang kepada bank swasta yang bunganya cukup tinggi.
Petani berhutang
untuk modal merupakan rangkaian dari biaya produksi yang tinggi. Salah satu
aspek yang menyebabkan biaya produksi komoditas tembakau tinggi, menurutnya,
adalah ketergantungan pada pupuk kimia. Mudzakkir menilai itu merupakan problem yang selama ini
mengakar kuat di kalangan petani.
“Sebenarnya,
untuk meminimalisir beban biaya produksi bisa dimulai dengan menggunakan pupuk organik.
Ada beberapa petani yang sudah mempraktekkan penggunaan pupuk organik. Terbukti
secara kualitas bagus. Beratnya juga bagus. Selain menambah biaya produksi,
penggunaan pupuk kimia juga mengurangi unsur hara,” katanya.
Zainullah, petani asal Desa Sambirampak Lor, Kecamatan Kotaanyar, mengakui penggunaan pupuk organik tidak hanya mengurangi biaya produksi. Melainkan ia juga tidak kebingungan saat pupuk mulai langka dan mahal. Padahal, Ia baru menerapkan pola semi organik.
“Saya masih mencampuri dengan pupuk kimia,” aku Zainullah.
“Saya sebenarnya
hanya coba-coba saja tapi kok benar-benar menguntungkan. Dari segi kualitas pun,
menurut saya, lebih bagus ketimbang menggunakan pupuk kimia. Selain itu, pupuk
sekarang mahal dan langka bahkan harganya bisa tembus 400 per kuintal jauh
lebih murah pakai organi&,” imbuhnya.
Ketergantungan Zainullah pada pupuk kimia, perlahan ia benahi dengan menggunakan pupuk organik. 6.500
tanaman tembakau miliknya, biasanya, membutuhkan pupuk kimia sampai tiga kuintal setengah.
Kini ia hanya membutuhkan pupuk kimia sebanyak dua kuintal. Zainullah menilai hal tersebut merupakan potensi yang perlu digalakkan oleh pemerintah.
Shodiqin Ketua Forum Petani Organik Paiton, mengatakan pupuk organik merupakan terobosan dalam menghadapi kelangkaan dan mahalnya pupuk kimia. Namun, ia menyadari, tipe
petani Indonesia masih perlu untuk dilatih dan dirangsang agar memiliki
inisiatif dan mampu berinovasi.
“Misal, setiap
hari kalau mau ke sawah bawa satu atau dua karung pupuk kadang yang tinggal
ambil di kandang masing-masing. Hari berikutnya bawa lagi. Itu (pupuk kandang, red)
nanti bisa membuat unsur-unsur haranya bagus. Apalagi sekarang beban berat (tonase, red) tembakau berkurang,” katanya. “Berkurangnya beban berat itu juga
indikasinya dari berkurangnya unsur hara.”
Ia menceritakan ada anggota Forum Petani Organik Paiton yang mengaplikasikan penggunaan pupuk organik, bahkan tanpa pupuk kimia. “Ya, full organik,” ujarnya. Penggunaan pupuk organik membuat kualitas tembakau bagus dan menarik, baik dari segi tampilan, daun, aroma, dan beban berat. Selain itu, biaya untuk pupuk tidak ada. Pasalnya, pupuk organik yang digunakan merupakan buatan sendiri, baik pun pada padat maupun pupuk cair.
Berbeda dengan
Tamim, ia mengakali tingginya biaya produk tembakau dengan menerapkan sistem
tanam tumpang sari. Di pinggiran sawahnya ia menanami sayur mayur yang hasil
penjualannya digunakan untuk membiayai tanaman tembakau.
“Misal, kemarin
saya baru panen mentimun. Alhamdulillah dapat Rp 2.500.000. Akhirnya kan biaya
produksi tembakau saya tidak (didapat, red) dari berhutang atau mengurangi
tabungan begitu memang kalau petani jenius,” ujarnya sembari bercanda.
Faktor lain yang
membuat petani tembakau tidak merdeka, adalah panjangnya rantai tata niaga
tembakau. Tamim melihat, anjloknya harga tembakau saat ini merupakan permainan
tengkulak dan gudang. Bukan disebabkan oleh kualitas hasil panen petani jelek.
“Dulu-dulunya
harga tembakau tidak stabil karena hujan yang membuat kualitas memang kurang
bagus jadi anjloknya harga karena hujan bukan karena permainan. Tahun 2019
murah karena hujan, tapi tahun ini yang paling murah,” lanjutnya.
Hasanuddin,
petani muda Desa Karanganyar, Kecamatan Paiton, segendang sepenarian. Ia melihat tengkulak
kerap kali mempermainkan psikologis petani. Isu gudang tutup dan kelebihan produksi petani
merupakan isu yang biasa terdengar tiap musim panen tembakau.
“Tahun kemarin (2019,
red) juga begitu, bilangnya, (tengkulak, red), gudang masih belum buka, tapi
tembakau petani tetap diambil dengan harga murah. Alasannya gudang tutup,”
aku pria yang kerap disapa Hasan.
Permasalahan
tersebut, bagi Hasan dipicu dari keterbatasan akses petani untuk menjual
langsung pada gudang. Ia menyebut, mestinya, antara petani dan tengkulak bisa
saling menguntungkan.
“Secara logika
memang karena banyaknya rantai (distribusi-red) misal gudang beli Rp 26.000,
tengkulak besar potong harga. Tengkulak kecil juga potong harga. Petani yang
remuk. Petani yang kalah,” ujar pria kelahiran 1996 itu.
Usaha untuk keluar dari permasalahan klasik yang menimpa petani tembakau telah sering dilakukan. Akan tetapi, Mudzakkir menuturkan, upaya advokasi baik di kebijakan ataupun pasar bisa maksimal dengan organisasi tani yang dikelola secara berjamaah dan professional. Hal tersebut jika dikelola secara serius, pembentukan koperasi menjadi langkah nyata dalam memperbaiki problem tersebut.
”Selama ini solusi-solusi itu hanya dari persoalan petani, bukan dengan
sistem kelompok,” imbuhnya.
Mudzakkir menekankan kehadiran pemerintah sangat ditunggu oleh petani
tembakau dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Ia mengisahkan jika pemerintah
pernah melakukan pemetaan produksi tembakau. Namun hal itu, baginya tidak
berdampak serius pada petani.
“Jadi pemerintahannya bisa memetakan lokasi saja tapi kebijakan harga tetap perusahaan atau pabrik yang punya peran. Mau beli atau tidak. Pemerintah tidak bisa intervensi. Kenapa pemerintah takut mengintervensi pabrikan (gudang, red) karena belum ada kebijakan, terkait perlindungan petani,” paparnya.
Sumber: Majalah ALFIKR edisi 33