CELIOS Dorong Model Baru Penilaian Bisnis Berbasis HAM dan Lingkungan
Senin, 29 Desember 2025 - 22:48
alfikr.id, Probolinggo- Center of Economic and Law Studies (CELIOS) dorong pemerintah segera mereformasi sistem penilaian bisnis di Indonesia agar berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) dan lingkungan secara substantif. Desakan tersebut disampaikan dalam laporan bertajuk "Mendesak Model Baru Penilaian Bisnis, HAM, dan Lingkungan" yang dipublikasikan Desember 2025.
Celios menganggap sistem penilaian bisnis yang saat ini berlaku, seperti PROPER, PRISMA, Norma 100, Tingkat Komponen Dalam Negeri Berkelanjutan, hingga Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) yang masih tidak berfungsi maksimal. Penyebab utamanya adalah fragmentasi kelembagaan. Dimana masing-masing instrumen berjalan sendiri-sendiri di bawah banyak kemeneterian.
Menurut CELIOS, Indonesia membutuhkan satu institusi penilaian terpadu dengan legitimasi kuat, bukan sekedar tumpukan mekanisme administratif. Dalam laporannya, CELIOS membandingkan praktik penilaian bisnis nasional dengan negara-negara seperti Jepang, Thailand, Afrika Selatan, dan Chili.
Berdasarkan analisis CELIOS, negara-negara tersebut telah memiliki instrumen terpadu yang kokoh dan bersifat mengikat. Perlindungan HAM dan pencegahan kerusakan lingkungan menjadi prasyarat wajib aktivitas bisnis, bukan komitmen sukarela sebagaimana di Indonesia. Dengan sistem mengikat, perusahaan dipaksa memastikan operasinya tidak menciderai hak asasi dan kerugian ekologi.
Di Indonesia, fragmentasi penilaian juga mempersulit pengumpulan dan integrasi data. Kondisi ini membuat sukar upaya pemetaan terhadap praktik korporasi di lapangan. Akibatnya, perusahaan bisa terlihat patuh secara administratif, sembari mengabaikan persoalan lain seperti pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan.
Dalam riset kolaboratif bersama Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII), CELIOS mengkaji kasus PT Merdeka Copper Gold melalui dua anak perusahaannya: PT Bumi Suksesindo dan PT Puncak Emas Petani Sejahtera. Sejak 2015 kedua perusahaan itu tercatat berulang kali terlibat konflik dengan masyarakat lokal.
PT Bumi Suksesindo, misalnya, berkonflik dengan petani dan nelayan di Pesanggaran, Banyuwangi, karena pencemaran yang merusak sumber penghidupan warga. Sementara PT Puncak Emas Petani Sejahtera terlibat konflik dengan masyarakat Pohuwato, Gorontalo, sepanjang 2023-2025.
Kendati memiliki rekam jejak konflik lingkungan dan kekerasan manusia, Penilaian Risiko Bisnis dan Hak Asasi Manusia (PRISMA), salah satu instrumen penilaian dalam aktivitas bisnis yang berada di bawah Kementerian Hukum dan HAM, justru memberi penghargaan kepada PT Merdeka Copper pada 19 September 2025. Anugrah itu diberi karena perusahaan dianggap melakukan praktik bisnis yang berkomitmen terhadap penghormatan kemanusiaan.
Ketidaksesuaian antara penilaian PRISMA dengan realitas yang terjadi di lapangan melahirkan kecurigaan, bahwa ada potensi instrumen-instrumen yang ada hanya akan menjadi alat legitimasi bagi korporasi supaya citranya tampak bersih dari noda pelanggaran hak asasi.
“Dalam kondisi demikian PRISMA justru berpotensi menjadi alat legitimasi yang mengaburkan berbagai konflik vertikal yang senyatanya terjadi di lapangan. Padahal, praktik partisipasi administratif dengan hasil asesmen rendah menggambarkan kepatuhan semu yang bersumber dari lemahnya kapasitas verifikasi dan absennya mekanisme keterbukaan,” tulis CELIOS dalam laporan tersebut.
CELIOS menilai instrumen milik pemerintah seperti PRISMA tidak memasukan pengalaman dan perspektif korban saat melakukan monitoring operasional perusahaan. Hal ini menyebabkan hasil indeks tidak berimbang dan cenderung membela perusahaan. Padahal, tugasnya mendisiplinkan perusahaan agar benar-benar memenuhi standar perlindungan HAM di Indonesia.
Sebagai alternatif, CELIOS mengusulkan kerangka penilaian baru Bernama PRISMA-ESG (Penilaian Risiko Bisnis dan Ham berbasis Enviromental, Social, and Governance). Model ini menekankan dua pilar utama: moral responsibility dan integrity governance.
Unsur pertama menekankan tanggung jawab etis perusahaan terhadap dampak lingkungan, HAM, dan kesejahteraan pekerja. Lalu, unsur kedua mendorong tata kelola perusahaan agar melakukan transparansi, akuntabilitas keuangan, dan investasi berkelanjutan.
“Kedua pilar tersebut menegaskan bahwa performa korporasi tidak cukup diukur melalui kinerja ekonomi, tetapi juga melalui kontribusinya dalam menjaga keseimbangan antara keberlanjutan lingkungan, keadilan sosial, dan integritas publik,” tulis CELIOS.
PRISMA-ESG mencakup lima dimensi penilaian keberlanjutan korporasi, yakni kinerja lingkungan, keuangan berkelanjutan, risiko HAM dan rantai pasok, ketenagakerjaan, serta akuntabilitas investasi. Perumusan indeks ini berangkat dari kritik atas sistem penilaian nasional yang terfragmentasi, sektoral, dan tidak saling terhubung.