BEM: Antara Gerakan Moral dan Mitos Agen Perubahan

Jum'at, 24 Februari 2023 - 00:55
Bagikan :
BEM: Antara Gerakan Moral dan Mitos Agen Perubahan
Aksi mahasiswa saat menolak pengesahan RKUHP di depan DPRD Kabupaten Probolinggo, Selasa 26 Juli 2022. [alfikr.id/Zulfikar]

alfikr.id, Probolinggo- Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) telah menjadi salah satu gerakan mahasiswa yang berperan sebagai kelompok dan tampil secara konsisten menekan kekuasaan rezim. Mulai dari sebelum kemerdekaan, pascakemerdekaan dan era reformasi, hingga berlanjut sampai saat ini.

Kelompok penekan di sini artinya kelompok yang memberikan tekanan terhadap lembaga politik formal, demi memperjuangkan kepentingan publik dan mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Namun, catatan theconversation menyebutkan, jika dalam beberapa tahun terakhir, gairah aktivisme mahasiswa yang tergabung dalam BEM menurun secara drastis. 

Keadaan tersebut diperparah oleh pandemi COVID-19 yang menyebabkan kampus sepi dari kegiatan pergerakan. Seperti diskusi, perdebatan, dan aksi yang memantik kesadaran politik untuk mengawal kekuasaan nyaris tak lagi ditemukan.

Sebab, selama pandemi kesempatan mahasiswa untuk berkumpul sangat terbatas karena pembatasan sosial, ditambah lagi sistem daring yang membuat para mahasiswa tidak bisa bertemu tatap muka dan berinteraksi secara langsung.

BEM, Gerakan Rakyat, dan Kemunduran

Di samping itu, ada masalah krusial lainnya yang menyebabkan kualitas BEM menurun dan perlu dibenahi oleh penggawanya. Misal, lemahnya kemampuan BEM tiap kampus dalam membaca dinamika sosial-politik dan advokasi kebijakan publik.

Oleh karena itu, Alfath Bagus, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada menyampaikan, perlu dipahami bahwa kekuasaan negara kini telah mengalami desentralisasi dari pemerintahan terpusat ke regional. 

Oleh sebab itu kata Dia, penting bagi BEM di setiap perguruan tinggi untuk turun ke lapangan dan melihat realitas sosial yang terjadi di sekitar daerah kampus. "Mendengarkan mereka yang selama ini suaranya kurang terdengar oleh pemerintah," tulisnya, dilansir dari koran tempo.

Cara ini akan membuat BEM memahami dengan detail isu apa yang harus mereka advokasikan dan suarakan, guna mendorong perubahan kebijakan yang lebih baik.

Beda halnya dengan Arif Novianto, dalam salah satu tulisannya di buku berjudul 'Indonesia Bergerak II'. Dia menulis tentang pergulatan mahasiswa dan kritik terhadap gerakan moral. Dia menilai bahwa mahasiswa dalam menjalankan aktivismenya, selain labelisasi mereka juga dikonstruksi seperti koboy atau Resi. 

Arif menerangkan, mahasiswa justru memainkan moralitas untuk mengingatkan penguasa, kadang dibumbui dengan melakukan aksi, membuat pernyataan sikap, kampanye dan aksi teatrikal. Dia menyebutkan gerakan mahasiswa seperti seorang Resi yang datang ketika keadaan sudah genting. Baginya dengan kekuatan moral itu mahasiswa mencoba menjadi roda penggerak perubahan.

"Namun, gerakan tersebut cenderung hanya berangan-angan tentang perubahan emansipatif yang transformatif untuk rakyat kelas bawah atau kaum marheins," ujarnya.

Dia mengambil study kasus gerakan kawan-kawan BEM yang tergabung dalam BEM Seluruh Indonesia (SI). Sepintas, kata Arif gerakan itu radikal dengan tuntutan yang militan dan diiringi strategi aksi mobilisasi massa. Hanya saja Arif melihat bahwa BEM SI masih terjebak dalam gerakan koreksi dan peringatan untuk meminta kebaikan hati penguasa.

“Bukan membangun kapasitas gerakan menekan penguasa,” tegas Arif.  Sikap itu, dia melanjutkan, merupakan konstruksi mahasiswa warisan rezim orde baru. Rezim membentuk mahasiswa sebagai gerakan yang tidak memiliki ambisi kekuasaan, menolak membangun aliansi dengan rakyat, dan menganggap diri sebagai agen perubahan . Dia juga menegaskan bahwa BEM terpisah dari gerakan rakyat. 

“Terminologi ‘Tujuh Gugatan Rakyat’ dan ‘Sidang Rakyat’, tetapi tanpa sedikitpun melibatkan gerakan rakyat,” kata Arif. Metode gerakan itu, Arif mengatakan, cenderung bersifat regresif.

“Mereka gagal melihat siapa kawan yang harus dirangkul dan siapa musuh yang harus dilawan. Mereka masih menganggap bahwa wacana pembebasan sosial bagi rakyat tertindas bisa dilakukan tanpa melibatkan gerakan rakyat tertindas secara sadar,” jelas Arif. 

Di samping itu, Arif melihat, gerakan mahasiswa melihat permasalahan struktural dalam tataran sistem yang timpang sebagai akibat personal dari penguasa tanpa meletakan analisis terhadap kekuatan oligarki dan perkembangan kapitalisme.

“Sehingga tuntutan mereka adalah bahwa Jokowi gagal, maka Jokowi harus turun dari kursi kepresidenan, pertanyaannya kemudian setelah Jokowi turun siapa yang akan menggantikannya? Jika penggantinya tetap dari lingkaran penguasa sekarang dan merupakan bagian dari oligark, maka yang terjadi juga tetap saja,” terangnya. 

Arif menilai gerakan mahasiswa tidak punya alternatif sistem lain dan alternatif relasi kuasa yang memihak upaya pembebasan sosial bagi kelas bawah. “Dan itu membuat gerakan BEM SI bersifat regresif atau mundur,” tegasnya. 

Belajar dari Gerakan Pelajar Chile

Gerakan pelajar di Chile merupakan salah satu gerakan sosial yang cukup berhasil di Abad ke-21 ini. Ada tiga alasan mengapa gerakan pelajar Chile menarik untuk dipelajari.

Pertama, kondisi ekonomi politik Chile sebagai negara kapitalis pinggiran (atau juga disebut sebagai negara Dunia Ketiga) yang sama seperti Indonesia.

Kedua, tentang metode dan strategi gerakan dalam menentang kebijakan neoliberalisme yang cenderung baru. Ketiga, tidak lain karena gerakan ini mampu memenangkan tuntutan-tuntutan mereka.

Proses reformasi neoliberal di Chile, mulai dilakukan ketika Presiden sayap Kiri yaitu Allende dikudeta oleh kelompok militer di bawah komando Pinochet pada 1973.

Gerakan tersebut pada perkembangannya menolak disebut sebagai gerakan mahasiswa atau gerakan pelajar, mereka lebih memilih disebut sebagai gerakan sosial atau gerakan rakyat.

Hal itu, dilatarbelakangi fakta bahwa proses gerakan yang terbentuk melibatkan aliansi “Front Populer." Front Populer melibatkan tidak hanya gerakan pelajar, tapi juga serikat buruh, serikat tani, serikat guru, dan bahkan para orangtua pelajar turut terlibat dan menuntut revolusi pendidikan di Chile.

Kekuatan front populer itu, berhasil memobilisasi hampir setengah juta rakyat yang kala itu jumlah penduduk Chile tahun 2015: 17,95 juta jiwa turun ke jalan melawan kebijakan neoliberal pendidikan warisan rezim otoriter Pinochet.

Tuntutan para pelajar tentang pendidikan publik yang gratis dan bervisi kerakyatan telah menembus sekat-sekat antara universitas, sekolah, ladang-ladang petani, kantor hingga gudang tempat buruh bekerja, dan ruang-ruang kelas, di mana para guru mengajar. Para pelajar juga membuka diri untuk bersekutu dengan aktor sosial lainnya yang juga dilukai oleh kebijakan-kebijakan neoliberal.

Arif Novianto menyampaikan, jika membandingkan gerakan pelajar di Indonesia dengan di Chile, masih jauh berbeda. "Kecenderungan yang terjadi di Indonesia gerakan pelajar masih tersekat-sekat pada perjuangan lokalitas di tiap universitas," katanya.

Dia menegaskan, belum ada gerakan pelajar setingkat SMP dan SMA yang terorganisasi dan progresif, serta tidak memiliki tuntutan yang mampu melampaui sekat-sekat antar universitas, juga sektor di masyarakat (buruh, tani, guru, dll) cenderung menolak menjadi gerakan politik.

"Selian itu, tidak memiliki konfederasi mahasiswa di tingkat nasional meskipun ada BEM SI, tapi malah justru menunjukan watak konservatif dan pragmatis," serunya.

Penulis
Abdul Razak
Editor
Imam Sarwani

Tags :