Pentingnya Mengenal Istinjak

Kamis, 14 September 2023 - 11:10
Bagikan :
Pentingnya Mengenal Istinjak
cara sah istnjak hanya menggunakan batu (27/08/2017) [sumber foto; nu.or.id]

alfikr.id, Probolinggo- An-nadhofatu minal iman, kebersihan sebagian dari iman. Hadis tersebut sudah jamak didengar seorang muslim. Itu menandakan bahwa, Islam sangat menganjurkan kebersihan (kesucian) pada penganutnya. Diantara keprihatinan Islam akan kebersihan (kesucian) ialah, diwajibkannya istinjak (membersihkan diri atau mensucikan diri) setelah buang air kecil maupun air besar.

Kebanyakan masyarakat awam memahami istinjak hanya dengan air saja. Padahal hakikatnya tidak demikian. Ada beberapa sarana untuk beristinjak, yaitu air dan batu.

Seperti yang disampaikan Syekh Salim bin Sumair dalam kitab Safinatun Najah, istinjak ialah membersihakan sesuatu yang keluar dari kubul (kemaluan bagian depan) dan dubur (kemaluan bagian belakang) baik itu laki-laki maupun perempuan, menggunkan air, batu atau yang serupa denganya dalam sifat maupun fungsi.

Adapun ketentuan beristinjak terbagi menjadi tiga: 1) menggunakan batu lalu dilanjutkan dengan air, ini yang paling dianjurkan. 2) menggunakan air saja. Beristinjak menggunakan air diharuskan membasuh (mengalirkan air). Jadi tidak cukup apabila mustanji (orang yang beristinjak) hanya mengusapkan air pada kotoran yang ingin dibersihakan. 3) menggunakan batu atau yang serupa dengannya dalam sifat dan fungsinya.

Syekh Salim memberikan delapan syarat beristinjak menggunakan batu yakni;

1. Harus menggunakan satu atau tiga batu. Kemudian usap di bagian yang ingin di bersihkan sampai tiga kali hingga bersih. Apabila sebelum sampai tiga kali sudah dirasa bersih maka wajib disempurnakan tiga kali, atau sudah tiga kali akantetapi belum bersih maka, wajib ditambah lagi dan disunnahkan mengganjilkan hitungan tersebut.

2. Batu harus bisa membersihkan kotoran, sekiranya tidak ada sisa kecuali bekas yang memang tidak bisa dihilangkan selain menggunakan air.

3. Kotoran yang keluar harus tidak kering.

4. Kotoran tidak boleh berpindah dari tempat yang dikenainya saat keluar.

5. Tidak boleh ada sesuatu yang menimpa kotoram yang keluar, baik itu merupakan najis atau sesuatu yang suci tapi basah

6. Kotoran tidak boleh melebihi pantat atau kepala kemaluan. Imam Nawawi al-Bantani menjelaskan bahwa, pantat merupakan area yang ketika kita dalam keadaan duduk itu terbuka dan jika berdiri tertutup.

7. Kotoran tidak boleh terkena air.

8. Batu harus suci. Dalam hal ini Imam Nawawi menambahkan bahwa benda lain bisa disamakan dengan batu, dan itu diistilahkan dengan hajar syar’i, selagi memenuhi empat syarat yaitu, padat, kasar, suci dan tidak diharamkan seperti yang sudah disebutkan di atas.

Ada satu syarat lagi yang ditambahkan oleh beliau dalam kitab Nihayatuz Zain yakni, tidak boleh basah atau lembab. Apabila sudah memenuhi syarat yang empat di atas, akan tetapi benda itu basah atau lembab maka, tidak mencukupi sebagai alat layak untuk digunakan beristinjak.

Pada tempat-tempat tertentu yang sulit untuk menyediakan air atau disengaja memang tidak disediakan. Semisal di dalam pesawat, hotel-hotel bintang lima yang kamar mandi atau toiletnya hanya disediakan tisu untuk membersihkan diri. Apakah tisu bisa dibuat alat bersesuci (membersihkan diri dari kotoran yang keluar dari lubang depan maupun belakang)? Mengingat tisu bukanlah termasuk hajar hakiki juga bukan air.

Merujuk pada penjelasan di atas, sesuatu bisa dijadikan alat untuk istinjak selama memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan yakni, jamid (padat) qoli’ (kasar yang bisa menghilangkan kotoran dan tidak melukai), harus suci, tidak termasuk yang diharamkan (tidak ada tulisan dan lain sebagainya) dan, harus kering.

Pendapat ini diperkuat dengan beberapa literatur madzhab Syafi’i, seperti al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Syarqowi Syarj Tuhfatut Thullab, Bujairimi Syarh Iqna' dan lain-lain, tisu dapat digunakan untuk istinjak dengan alasan bahwa tisu dianggap sebagai salah satu bentuk hajar syar’i, selagi tidak ada tulisannya.

Adapun beristinjah menggunakan tisu basah, tidak diperbolehkan. Al-Hattab dalam Mawahib al Jalil, juga ar Ramli dalam Nihayatul Muhtaj, Tidak boleh beristinja’ dengan batu yang basah karena akan menyebarkan najisnya. Maka mengusapnya dengan tisu kering tidak akan menyebarkan najisnya.

Penulis
Muhammad A'lal Hikam
Editor
Imam Sarwani

Tags :