Ironi Hari Lingkungan Hidup: Ketika Nelayan Pulang dengan Tangan Kosong
Jum'at, 06 Juni 2025 - 07:47
alfikr.id, Probolinggo - Langit sore di
pesisir Desa Binor, Paiton, Probolinggo, mulai berwarna tembaga. Cahaya
matahari yang memudar membentuk bayangan panjang dari cerobong-cerobong PLTU
Paiton yang menjulang tinggi. Di kejauhan, lampu-lampu pembangkit mulai
menyala. Asap putih keluar dari puncak cerobong, membubung perlahan ke angkasa.
Pemandangan yang sudah akrab bagi warga setempat, tapi juga menyimpan luka yang
mereka tak sepenuhnya pahami.
Di tepi
pantai, seorang lelaki berkaus lusuh sedang menggulung jaring. Bajunya masih
basah. Ia baru saja selesai menebar jaring sejak siang, berharap ada ikan yang
tersangkut dan bisa dibawa pulang. Namun hingga langit mulai gelap, tak ada
satu ekor ikan pun yang tertangkap.
Lelaki itu
adalah Sugiono, nelayan setempat. Seperti hari-hari sebelumnya, hari ini ia
kembali pulang dengan tangan kosong.
“Tidak dapat
ikan sama sekali. Nggak ada hasil. Mungkin bukan rezeki,” ucapnya lirih, namun
tetap tersenyum.
Hari ini, 5
Juni 2025, adalah Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Kemarin, Wahana Lingkungan
Hidup (Walhi) Jawa Timur menggelar aksi kampanye di depan kantor Gubernur Jawa
Timur. Tapi di sini, di Paiton, semua berjalan seperti biasa. Tak ada poster
hijau, tak ada orasi soal bumi. Nelayan tetap ke laut. Jaring tetap ditebar.
Dan Pak Sugiono tetap berharap.
Dulu, kata Pak
Sugiono, cukup menebar jaring di pinggiran saja, ikan sudah bisa dibawa pulang.
Belanak dan bandeng sering kali tersangkut di jaringnya. Tapi sekarang, semua
terasa jauh berbeda.
“Dulu di
pinggir-pinggir sini banyak. Sekarang kosong,” kenangnya.
Sumarto,
nelayan lain yang ditemui di dermaga kecil tak jauh dari sana, juga merasakan
hal serupa. Hasil tangkapan mereka makin hari makin menipis. Sumarto kadang
memilih pergi ke tengah laut, berharap di sana ikan masih bisa ditemukan.
“Tapi ya jauh,
bisa dua jam perjalanan. Solar juga mahal sekarang,” katanya.
Menurunnya
hasil laut ini tidak bisa dijelaskan secara gamblang oleh para nelayan. Mereka
bukan peneliti, bukan aktivis lingkungan. Mereka hanya tahu bahwa laut yang
dulu memberi, kini makin pelit. Namun dalam diam, mereka semua merasakan
sesuatu yang berubah.
Sebuah laporan
riset Walhi berjudul Melihat Ulang Dampak PLTU menyebutkan bahwa
aktivitas PLTU Paiton memicu krisis ekologis di kawasan pesisir. Salah satu
temuan paling krusial adalah meningkatnya suhu air laut akibat limbah panas
dari pembangkit. Panas buangan ini membuat terumbu karang mengalami pemutihan
(coral bleaching), yang pada akhirnya mengganggu habitat ikan.
Penelitian itu
mengungkap bahwa pada jarak sekitar 125 meter dari PLTU, suhu air meningkat
hingga 4,21 derajat Celsius. Sementara pada jarak satu kilometer dari
pembangkit, suhu naik 1,61 derajat Celsius. Studi ilmiah dari Institut
Teknologi Sepuluh November (ITS) bahkan mencatat luas pemutihan karang mencapai
726 meter persegi di perairan sekitar PLTU.
Karang yang
rusak membuat ikan-ikan bermigrasi. Habitat mereka hancur, tempat berkembang
biak menghilang. Nelayan seperti Pak Sugiono tidak tahu istilah “bleaching”
atau “limbah termal”, tapi mereka tahu satu hal: ikan makin sulit dicari.
Belum lagi
soal tongkang batu bara. Di sela aktivitas bongkar muat, tumpahan batu bara
kerap mencemari laut. Air menghitam, karang tertutup serpihan. Sekali dua kali
mungkin bisa dimaafkan, tapi jika terus terjadi, laut tak lagi bisa memberi.
Dampak
beruntun pun terjadi. Para nelayan terpaksa melaut lebih jauh. Jika dulu cukup
sejauh 1,5 mil, kini mereka harus menempuh lebih dari 3 mil. Biaya bertambah,
tenaga terkuras, tapi hasil belum tentu ada. Ironisnya, semua terjadi menjelang
Hari Lingkungan Hidup.
Hari yang
seharusnya jadi momen refleksi tentang relasi manusia dan alam. Tapi di pesisir
Binor, tak ada perayaan. Tak ada spanduk “Selamatkan Bumi”, tak ada pembagian
bibit mangrove. Hanya Pak Sugiono dan jaring kosongnya, berjalan pulang di
bawah bayangan asap cerobong.
Di tengah
upaya kampanye besar-besaran tentang pentingnya menjaga lingkungan, suara Pak
Sugiono dan nelayan lain nyaris tak terdengar. Mereka terlalu sibuk bertahan
hidup untuk sempat memahami apa itu “krisis iklim” atau “keadilan ekologis”.
Tapi mereka adalah korban paling awal dari semua kerusakan itu.
Hari
Lingkungan Hidup seharusnya bukan hanya seremoni kota, tapi juga momen
mendengar jerit sunyi dari desa. Momen menengok mereka yang kehidupannya paling
dekat dengan alam, namun juga paling terdampak saat alam tak lagi bersahabat.
Di Paiton,
mungkin tak ada panggung perayaan. Tapi nelayan yang pulang dengan jaring
kosong, itu adalah panggung ironi paling nyata.