Kok Sampai Segitunya
Minggu, 22 Oktober 2023 - 01:26
Oleh: Ahmadul Faqih Mahfudz (Kolumnis. Tinggal di Bali)
alfikr.id, Probolinggo- Setelah sowan kiai lalu mendaftarkan diri
akhirnya saya resmi menjadi santri Pondok Pesantren Sidogiri. Tuntas urusan
pemberkasan, saya keluar dari kantor pesantren lama yang kini jadi Daerah P
itu. Penglihatan saya sengkoyong-koyong tertuju pada Daerah J di atasnya.
Bukan permukiman khusus santri usia 10 tahunan itu yang menyita perhatian
saya pada suatu siang dipertengahan tahun 2006. Susunan kaligrafi Arab, dengan
makna bahasa Indonesia, yang terpatri di dinding asrama itulah yang membetot
mata saya.
“Santri. Berdasarkan peninjauan tindak langkahnya adalah orang yang
berpegang teguh pada Al-Qur’an dan mengikuti sunnah Rasul Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam dan teguh pendirian. Ini adalah arti dengan bersandar sejarah dan
kenyataan yang tidak dapat diganti dan diubah selama-lamanya. Allah Yang Maha
Mengetahui akan kebenaran sesuatu dan kenyataan.”
Tulisan pada tembok bertitimangsa 24 Dzulqa’dah 1410 Hijriyah itu
disusun oleh kiai Hasani Nawawi. Salah satu putra Kiai Nawawi Nurhasan yang
masyhur kezuhudan dan kewaskitaannya.
Ah, 16 tahun sudah berlalu sejak saya melihat kredo itu. Dan selama itu
pula, ternyata, saya kerap meragukan apa dan suapa pun yang dengan enteng
membawa-bawa nama santri.
Berpegang teguh pada Al-Qur’an sungguh tak mudah. Mengikuti sunnah Rasul
juga sulit meski tak mustahil. Yang terjangkau, mungkin, teguh pendirian. Aduh,
terjangkaku bagaimana kalau, sebelumnya ada dalam prinsip A tapi berubah ke B
demi jabatan, lalu berubah C demi uang, dan berubah lagi ke D demi mendapat
penggung juga tepuk tangan.
Menurut sahibul kalimah, tarkrif santri tersebut bersandar pada sejarah
dan kenyataan. Sampai di sini, saya terkenang sosok Syaikhuna Khalil Bangkalan.
Terbesit pula dalam batin saya santri-santri kinasih beliau seperti Kiai Hasyim
Asy’ari, Kiai Wahan Habullah, Kiai Muhammad Munawwie, Hingga Kiai Zaini Mun’im
dan Kiai As’ad Syamsul Arifin.
Dari manakib yang dibacakan saban haul mereka, dari hikayat para santri
yang pernah mendulang hikmah dan menegakkan ilmu dari santri-santri mereka, kita
mengenal sosok juga perangai mereka. Betapa nama-nama yang wanginya masih
semerbak itu teguh pendirian; tak pernah berkompromi demi jabatan, tak pernah
berbisik-bisik demi uang, apalagi berkasak-kusuk demi panggung dan tepuk
tangan.
Rasa-rasanya, yang layak disebut santri, ya, pribadi-pribadi seperti
mereka, mereka tipikal santri yang seirama dengan sejarah dan kenyataan versi
Kiai Hasani.
Bagaimana dengan saya? Aduhai, alangkah betapanya. Santri administratif
atau santri sertifikasi, mungkin, iya. Santri yang sekedar mendaftarkan diri di
kantor pesantren, ngorok dibilik, SMS-an atau WA-an secara sembunyi-sembunyi
dikamar, nongkrong di koperasi, lalu berhenti setelah mendapat selembar-dua
lembar sertifikat kelulusan dari sekolah formal di pesantren. Sepulangya ke
masyarakat, sebagaimana kebanyakan alumnus pesantren hari ini pada umumnya:
jadi kapas. Ya, kapas, yang siap diterbangkan ke selatan atau ke utara, ke timur
atau ke barat, oleh kipas-kipas angina broker politik. Ini saya. Sampean tentu
juga tidak salah.
Makna santri yang dianggit Kiai Hasani berlalu-lalang dalam pikiran saya
ketika, lima tahun terakhir, kata santri tercetak di mana-mana. Terutama ketika
kata itu disandingkan dengan kata heroic-militeristik berupa panglima: Panglima
Santri.
Saya, dan mungkin juga sampean,
pasti sering berjumpa dengan reklamu atau spanduk bertulis dua kata ini
dijalanan. Sesekali, saya, juga melihat sebutan tersebut berseliweran sebagai
poster-poster digital di berbagai media sosial.
Kalau panglima kita maknai sebagai pemimpin dan santri kita artikan
dengan takrif Kiai Hasani, dahsyat sekali jadinya. Pemimpin orang-orang yang
berpegang teguh pada Al-Qur’an dan mengikuti sunnah Rasul dan teguh pendirian. “Waw,”
Pikir saya. “Luar biasa,” mungkin demikian sampean bergumam.
Saya kagum kepada siapa pun yang menggelari dirinya sendiri dengan
kelakar, eh, gelar itu. Saya kagum bukan karena kreativitasnya dalam menggabungkan
dua kata untuk membentuk suatu istilah gagah dalam bahasa. Saya kagum karena,
untuk mencari nafkah, kok sampai segitunya.[]