Kisah Nelayan Randutatah Terdampak Krisis Iklim: Cuaca Tak Menentu dan Tak Bisa Diprediksi

Sabtu, 30 Desember 2023 - 01:22
Bagikan :
Kisah Nelayan Randutatah Terdampak Krisis Iklim: Cuaca Tak Menentu dan Tak Bisa Diprediksi
Potret perahu nelayan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI), Kec. Paiton. [Ahmad Rifa'i/alfikr.id]

alfikr.id, Probolinggo- Jam tangan mulai menunjukkan pukul 16.50 Waktu Indonesia Barat (WIB). Di langit, mendung bergelayut.  Sampan-sampan nelayan Dusun Kramat, Desa Randutatah, Kecamatan Paiton, Probolinggo, bergoyang dihantam gelombang.

Lambat laun, matahari perlahan angslup. Arbain, salah seorang warga setempat bercerita pengalamannya menjadi nelayan tradisional. Ia memulai kisahnya dengan kondisi cuaca akhir-akhir ini. Kata dia, kondisi cuaca tidak menentu dan tak dapat diprediksi sangat mempengaruhi pekerjaannya. Sebab saat ini, menurut Arbain, musim kemarau cukup berkepanjangan. 

“Tapi kemarin sempat hujan, meskipun hanya sebentar,” ungkapnya, pada Rabu kemarin, (27/12/2023).

Pria kelahiran 1978 menjadi nelayan sejak tahun 2000-an. Biasanya, saban pergi melaut, Arbain membutuhkan modal sebesar 50.000 ribu untuk bahan bakar perahu. “Sekali beli, berangkat dan pulang,” ucapnya. Perjalanan melaut, Arbain tempuh mulai pukul 11.00 malam dan pulang ke rumah jam 13.00 siang. “Saya paling jauh perbatasan Jawa dan Madura,” ujarnya.

Hasil tangkapan ikan pun tak teratur, sesekali 25 dan kadang 30 kilogram. Jenis ikan juga bermacam-macam, mulai dari ikan layaran, ikan tongkol, dan ikan teri. Pada umumnya ikan tersebut, tutur Arbain, dijual sesuai dengan kualitas bagus dan tidaknya ikan. 

“Ada yang harga 20.000, 15.000, 10.000, bahkan 5.000 ribu. Karena sekali melaut, ikannya beda-beda,” jelasnya.

Secara pendapatan ekonomi, sekali hasil tangkapannya dapat meraup minimal 300.000 dan maksimalnya 500.000 ribu. “Tapi, pernah saya paling sedikit itu 30.000, 90.000, dan 100.000 ribu,” lanjut dia, 

“Iklim tak mesti ini, turut menyumbang dampak terhadap seorang memancing di laut.”

Dari hal tersebut, Arbain menyebutkan, bukan hanya bergantung kepada pekerjaan di laut. Namun, untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dia memburu mata pencaharian sampingan yaitu menjadi petani cabai besar dan tembakau. 

Sementara Sadiman (55) warga Desa Randutatah, dulu semenjak lulus Sekolah Dasar (SD) sudah membantu orang tuanya menjadi nelayan dan petani. Di usia senjanya itu, dia masih berprofesi yang sama yaitu pekerja di laut dan petani. 

“Kala itu, ketika bantu orang tua kalau tidak salah saya berumur 20 tahun,” ucap dia, saat diwawancarai alfikr.id.

Banyaknya hasil tangkapan ikan di laut, menurut Sadiman, itu biasanya terjadi selama 5 (lima) bulan kemarin, yaitu Januari sampai Mei. “Kalau musim hujan banyak ikan,” terangnya. Sementara dari bulan 6 (enam) sampai seterusnya, lanjut dia, bertepatan dengan musim kemarau, maka keberadaan ikan sangat minim di laut. “Cuacanya tak dapat diprediksi, kemarin selama 4 hari panas di sini, tapi ada hujannya juga,” ujarnya.

Setiap melaut, Sadiman paling sedikit membawa pulang ikan sejumlah 20 atau 30 kilogram. Sedangkan paling banyaknya ikan, 1, 4, hingga 5 kwintal. Dalam menjual ikan, sebut dia, per kilo di hargai 20.000 ribu. 

“Tergantung bagus dan tidaknya ikan, ada ikan teri dan ikan kecil” ucapnya. Lalu, pemasukan uang Sadiman, bergantung dari hasil tangkapan ketika melaut. “Ya kalau 30 kilogram, tinggal di kali 20 begitu. Karena rezeki seseorang tidak ada  yang sama,” tandasnya.

Melihat kondisi musim sekarang ini, bagi dia, penghasilan ikan sedikit berkurang. Salah satu musababnya, ialah keadaan hawa cuaca tidak bisa ditebak. Apalagi, hujan telah lama tak membasahi tanah Paiton. Di samping itu, ia menilai, perubahan itu juga disebabkan karena berdekatan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). 

“Tenaga uap ini panas dan kurang menguntungkan nelayan,” jelasnya.  

Akan tetapi meskipun begitu, Sadiman tetap bekerja untuk mencukupi biaya hidup keluarga. Bahkan dia rela, keliling mencari ikan yang banyak mulai dari Kecamatan Bhinor hingga Pajarakan. Berangkatnya, tutur dia, sedari selesai salat subuh dan pulang sampai sore hari. 

“Setiap hari begitu, kecuali badan tidak enak dan sakit,” terangnya.

Merujuk pada penelitian tahun 2018, Mariam Ulfa dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, berjudul “Persepsi Masyarakat Nelayan dalam Menghadapi Perubahan Iklim”  itu disebutkan terjadinya perubahan iklim berdampak pada nelayan. Sebagian dampak yang dirasakan, ialah para nelayan tidak dapat memprediksi musim yang akan terjadi saat melaut.

Bahkan, menurut pengkajian di atas, tak hanya mempengaruhi kondisi cuaca. Adanya perubahan iklim juga berdampak terhadap berkurangnya sumber daya perikanan. Sehingga dari hal tersebut, pekerja nelayan harus berlayar lebih jauh untuk menghasilkan ikan yang sesuai dengan kebutuhan.

Arbain menyampaikan, berharap pihak pemerintah terlibat dalam hal penanganan ini. Khususnya mengenai situasi dan kondisi cuaca yang tidak menentu. 

“Bisa dilihat, perahu sekarang banyak yang menganggur,” terangnya. Begitupun Samadin menambahkan, per hari ini, Dinas Perikanan dan Kelautan mulai jarang memantau kondisi laut. “Kalau dulu cukup ketat, baik dari perizinan dan lain sebagainya,” pungkasnya.

Penulis
Khoirul Anam
Editor
Zulfikar

Tags :