Cerita Sastra Pramoedya

Sabtu, 13 Juli 2024 - 09:26
Bagikan :
Cerita Sastra Pramoedya
Buku Pramoedya Ananta Toer Luruh Dalam Ideologi. [Sumber Foto: komunitasbambu]

Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai”

alfikr.id, Probolinggo- Sejatinya, karya sastra merupakan sebuah perlawanan dalam bentuk kehidupan terhadap keadaan yang tidak memihak pada keadilan kebenaran serta pada rakyat miskin atau tertindas.

Salah satu sastrawan terkemuka, diantaranya Pramoedya Ananta Toer. Pergulatan dengan sastra ia hadapi saat dihadapkan pada pilihan-pilihan yang membuatnya tetap bertambah dengan idealisme menjadi seorang. Yakni bertambah dengan kondisi ekonomi yang tidak menjamin kehidupan sehari-harinya sebagai seorang penulis. Akibatnya, rumah tangganya berakhir dengan penceraian dan diusir dari rumah oleh mertuanya.

Buku yang semula disertai Savitri Scherer ini memulai perjalanan Pramoedya dengan ringkasan kehidupannya yang tampak seperti dalam cerita pendeknya yang ia tulis dalam judul Dia yang Menyerah.

Sebagai putra sulung tokoh institusi Budi Utomo, prestasi Pramoedya tidak begitu cemerlang di sekolahnya, tiga kali tidak naik kelas di sekolah dasar. Dan untuk itu, ayahnya, Pak Mastoer mendedikasikan waktu khusus untuk membinanya. Perca-perca pengalaman masa kecilnya terjahit dalam kumpulan cerita pendeknya Tjerit Dari Blora (TDB) (TOER 1952h) (hal 11).

Ajib Rosidi, dalam pengantarnya di buku ini menulis, sebagai orang yang mempercayakan hidupnya hanya kepada keterampilan menulis, Pramoedya terpaksa tidak hanya menulis fiksi, melainkan menulis tir apa saja, walaupun masih terbatas tentang hal yang bertalian dengan sastra dan kebudayaan. Hal ini terbukti dengan menyusun sebuah proposal untuk pengajaran sastra Indonesia, yang diterbitkan di lentera mulai 18 April hingga 2 Mei di bawah tajuk Sekali Lagi Pengajaran Sastra”.

Pramoedya menyarankan sarjana dan peneliti untuk mempromosikan identitas nasional dengan menggunakan tradisi dan budaya mereka sebagai sumber. Begitu pula untuk menciptakan novel yang revolusioner, agar paranovelis harus mengingat 3 si”: Situasi, Posisi, Kondisi. Hal (133).

Pertarungannya dengan keterlibatan politik walaupun tidak senang berorganisasi mengantarkannya pada pengasingan di Pulau Buru. Selama 14 tahun ia mendekam di balik jeruji. Penjara rupanya cukup akrab dengan kehidupan Pramoedya, dalam tiga periode (zaman Belanda, Orde Lama dan Orde Baru) ia selalu sempat mencicipi penjara dengan alasan yang beragam, berawal dari keterlibatannya dalam pasukan perjuangan kemerdekaan pada zaman penjajahan Belanda masalah bukunya Hoa Kiai di Indonesia” yang merupakan pembelaan terhadap nasib kaum Tionghoa di Indonesia tetapi tidak disukai pemerintah Orde Lama, sampai akibat tuduhan terlibat dalam gerakan 30 September 1965 oleh rezim Orde Baru yang dijalani tanpa melewati proses peradilan.

Sisi lain yang membuat Pramoedya sebagai sastrawan terkemuka adalah penyajian tulisannya yang tak lepas dari sosial budaya dan politik pada waktu itu, dapat kita lihat dalam salah satu novelnya, Gadis Pantai. Iya mampu menggambarkan Gadis Pantai sebagai seorang yang buta huruf dan tak berpendidikan maupun menyeimbangkan hidupnya dengan suaminya yang berasal dari golongan bangsawan.

Novel Gadis Pantai mencirikan budaya Jawa pada saat itu, novel yang memadukan posisi Pramoedya sebagai sumber pada situasi dan kondisi. Novel yang tidak selesai ini juga memberikan gambaran mengenai konflik pada era tersebut antara kelas birokrasi tuan tanah feodal dan orang-orang desa yang memiliki "kesadaran" baru.

Sepertinya Pramoedya tidak akan pernah merasa puas menulis karya sastra, di Pulau buru saat ia menjadi tahanan pada tahun 1965. Lahirnya karya masterpiece Pramoedya “Tetralogi Buruh” (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca). Bumi Manusia yang memiliki kesamaan tema dan genre dengan gadis pantai, cerita yang dilatarbelakangi oleh periode yang sama, berkisar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Hanya saja bumi manusia disajikan dari sudut pandang yang berlawanan dengan Gadis Pantai. Saat Gadis Pantai tampil sebagai sentral yang buta huruf dan berasal dari rakyat jelata, pahlawan dalam Bumi Manusia adalah seorang bangsawan, seorang yang berpendidikan dan anak bupati Blora. (Hal 141).

Buku ini menyajikan pergulatan Pramoedya dengan sastra yang memang menjadi obsesinya. Buku ini sedikit menarasikan dengan ringkasan karya tulis Pramoedya seperti Gadis Pantai dan Bumi Manusia, hanya saja kurang lengkap jika pembaca belum pernah membaca karya Pramoedya yang lain, baik dari cerita pendeknya semisal Dia Yang Menyerah atau Sunyi Senyap di Siang yang Hidup.

Judul Buku: Pramoedya Ananta Toer Luruh Dalam Ideologi, Penulis: Savitri Scherer

Penerbit: Komunitas Bambu Cetakan: Januari, 2012, Tebal: XVII + 187 halaman

ISBN: 978-602-9402-02-5, Presensi: Bagus Supriandi

Sumber: Majalah ALFIKR edisi 22

Penulis
Ibrahim La Haris
Editor
Zulfikar

Tags :