Dampak Peniadaan Tenaga Honorer: Kinerja ASN Terganggu
Jum'at, 23 Agustus 2024 - 06:35alfikr.id, Probolingo- Kebijakan pemerintah pusat menghapus tenaga honorer dikhawatirkan akan
mengganggu kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN), termasuk di bidang pendidikan.
Sebetulnya sejak 2023 kemarin, pemerintah telah meniadakan keberadaan tenaga
honorer. Hal tersebut, diatur dalam pasal 66 Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun
2023 tentang ASN dan pada pasal itu pula disebutkan penghapusan paling lambat
bulan Desember 2024.
Laporan dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) tahun 2023, jumlah tenaga
honorer di Indonesia sebanyak 2,3 juta pegawai. Sedangkan data Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara (KemenPANRB) 2023 dijelaskan, total tenaga
honorer mencapai 2.355.092 orang. Sejumlah 731.254 merupakan guru honorer dan
Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) guru instansi daerah mencakup
296.084 orang.
Data itu menunjukkan ketergantungan sekolah pada guru honorer. Kepala
Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Imam Zanatul Haeri,
menyatakan, Indonesia membutuhkan sekitar 1,3 juta guru setiap tahun untuk
mencapai target optimal. "Namun guru ASN belum mencapai angka
tersebut," ucapnya, dikutip dari tempo.co.
Perihal peniadaan tenaga honorer, dia mengutarakan, kecewa terhadap
kebijakan pemerintah tersebut. Padahal, seleksi untuk memperhatikan guru
honorer supaya tetap melakukan kegiatan belajar mengajar sudah tercantum
sebagaimana dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Nomor 63 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana Bantuan
Operasional Suatu Pendidikan.
Bagi dia, seharusnya terdapat penambahan jatah seleksi program PPPK, bukan
malah dipangkas. “Kebijakan ini menyebabkan berkurangnya tenaga pendidik yang
berakibat kelas-kelas kosong,” ujarnya.
Melansir dari jurnaltinta.com, Abdullah Azwar Anas selaku Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPANRB) menjelaskan,
status PPPK sekarang hanya ada dua, yakni PPPK paruh waktu dan penuh waktu.
“Pengangkatan pegawai honorer menjadi PPPK bergantung pada kesiapan anggaran
pemerintah daerah (Pemda),” ungkapnya.
Pemda, kata dia, yang memiliki anggaran sudah mencukupi dapat mengangkat
tenaga honorer menjadi PPPK penuh. Begitupun sebaliknya, bagi Pemda yang tidak
memenuhi anggarannya mereka dapat mengangkat PPPK paruh waktu.
Pemerintah berupaya menghindari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap
pegawai honorer melalui peralihan dari honorer menjadi PPPK. MenPANRB juga
meminta kepada Pemda supaya tidak lagi menerima pegawai selain menggunakan
mekanisme CPNS dan PPPK. “Kecuali dengan izin khusus dan kebutuhan yang telah
ditentukan,” lanjut dia, bahwa penerimaan ASN telah dimulai dengan tahapan awal
untuk sekolah kedinasan. “Seleksi CPNS tahun 2024 akan diperketat untuk
mengantisipasi kecurangan.”
Sementara menurut Sukowinarto, dia menyebutkan, jumlah tenaga honorer di
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jember terhitung sebanyak 11.644 orang. Sekitar
5.000 orang berupa guru dan 1.400 orang sebagai tenaga kesehatan. Sedangkan
tenaga ASN, berjumlah 12.854 orang.
Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) dia
menambahkan, berdasarkan analisis jabatan dan beban kerja, total kebutuhan
pegawai di Jember mencapai 21.000 orang. Selama ini, sebut dia, jumlah guru dan
tenaga kesehatan yang ASN masih belum mencukupi. “Makanya pengangkatan tenaga
honorer untuk memenuhi kebutuhan tenaga di bidang itu,” ujarnya, dilansir dari
Radarjember.id.
Dia pun berharap, pihak pemerintah untuk dapat mempertimbangkan lagi
mengenai keputusan penghapusan tenaga honorer. “Apabila ambisi pemerintah pusat
berlanjut bisa jadi sejumlah layanan akan terganggu, seperti pelayanan
pendidikan dan kesehatan,” tambahnya.
Sama halnya dengan Lumajang. Menurut Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD)
Kabupaten Lumajang, Ahmad Taufik, dia menyayangkan mengenai keputusan tersebut.
Peniadaan pegawai non-ASN seperti guru honorer, kata dia, para peserta didik
mulai Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) terancam tidak
belajar.
“Selama ini mayoritas sekolah membutuhkan banyak guru honorer demi
lancarnya proses pembelajaran,” jelasnya, dikutip dari Kompas.com. Terbukti,
beberapa waktu lalu mulai dipangkasnya honor guru yang semula 500 ribu setiap
bulan menjadi 250 ribu per bulan. Bahkan, sejak tanggal 1 Juli 2024 tunjangan
tersebut resmi sepenuhnya diberhentikan.
Saat ini, dia menuturkan, terdapat 8.000 tenaga guru honorer tidak menerima
tunjangan sebab penghapusan itu. Sehingga dampaknya banyak guru honorer
meninggalkan profesinya. “Padahal tenaga honorer memiliki etos kerja yang
sangat baik, malahan sebagian sampai bisa melebihi kinerja PNS sendiri,”
katanya, “Perlu ada pengkajian ulang terkait kebijakan ini.”
Menurut Edi Subkhan selaku pengamat pendidikan Universitas Negeri Semarang
(Unnes), mengutip dari NU Online, dia
menilai kebijakan itu tidak berperikemanusiaan. Pasalnya, jika mencontoh kepada
perusahaan yang bersifat profit, sebut dia, kalau mau PHK diberitahukan ketika
jauh-jauh hari. Jadi, karyawan paham dan dapat mempersiapkan mental serta
ekonominya. “Ini institusi pendidikan kok malah tidak manusiawi,” tegasnya.
Namun di sisi lain, dalam pengangkatan guru honorer dari sekolah selama ini
relatif problematis. Dia menunjukkan bahwa beberapa kasus ketika proses seleksi
tidak sesuai dan cenderung nepotis karena kedekatan dengan kepala sekolah.
“Akibatnya banyak guru yang tidak memiliki kualifikasi sesuai standar, meskipun
ada yang berkualifikasi tinggi namun hal ini kasuistik,” ujarnya.
Pengamat pendidikan, Cecep Darmawan menganggap, soal program peniadaan guru
honorer dia turut prihatin dan ini sangat diskriminatif. Penyebabnya, kebijakan
itu memiliki kelemahan yang signifikan. “Terutama pemerintah sendiri belum
mendata para guru honorer secara menyeluruh. Sehingga terdapat yang sudah
terdaftar dan ada yang belum terdaftar,” jelasnya, dinukil dari
mediaindonesia.com.
Pemberhentian dari pemerintah tidak jelas ujung pangkalnya. “Itu
merendahkan profesi guru,” tuturnya. Dia menegaskan, pemerintah harus
bertanggung jawab bila mengeluarkan guru honorer. Sebab, ini sangat tidak adil
antara yang bersangkutan dan pihak sekolah. “Saya harap pemerintah membatalkan
kebijakan ini dan mengangkat guru honorer menjadi ASN,” pungkasnya..