KH. Moh. Zuhri Zaini: Menjaga Keikhlasan dan Bijak dalam Menyampaikan Kebenaran
Kamis, 09 Januari 2025 - 04:20
alfikr.id, Probolinggo- Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid, KH. Moh.
Zuhri Zaini, menjelaskan bahwa amal ibadah yang secara lahiriah terlihat baik
dan saleh masih bisa menjadi tidak diterima oleh Allah. Bahkan jika amal
tersebut sah secara fikih karena telah memenuhi syarat, rukun, dan sunahnya,
terdapat aspek batiniah yang dapat merusaknya. Salah satu perusak amal yang
paling berbahaya adalah riya, kebalikan dari ikhlas.
Hal ini disampaikan Kiai Zuhri dalam Kuliah Tasawuf ke-12 di Musala Riyadus
Sholihin, Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur, Kamis
(26/12/2024).
Menurut Kiai Zuhri, ikhlas berarti beramal semata-mata karena Allah.
Sebaliknya, riya adalah beramal dengan tujuan selain Allah, seperti demi
mendapatkan pujian atau pengakuan dari orang lain. Beliau menambahkan, amal
yang dilakukan dengan tujuan tersebut menjadi rusak di mata Allah, meskipun
secara lahiriah terlihat baik.
Kiai Zuhri mencontohkan, ketikan kita melaksanakan ibadah haji atau salat
berjamaah pasti terlihat oleh banyak orang. Akibatnya, hal ini bisa menimbulkan
pujian dari orang lain. Namun, jika pujian itu menjadi tujuan utama, agar
dianggap sebagai ahli ibadah, ustaz, atau kiai, maka amal tersebut bisa menjadi
tidak diterima.
Tak hanya itu, dalam tausiahnya, Kiai Zuhri juga menyoroti hubungan antara
keikhlasan dan kompensasi duniawi. Beliau menjelaskan bahwa menerima
penghargaan berupa uang atau fasilitas atas suatu amal tidaklah salah, selama
niat utamanya tetap karena Allah. Contohnya, seorang khatib Jumat yang menerima
amplop sebagai bentuk penghargaan atau panitia zakat yang mengambil bagian dari
hasil zakat.
Namun, beliau menekankan pentingnya mendahulukan orang-orang yang
membutuhkan. “Tidak etis jika seseorang yang sudah berkecukupan tetap mengambil
bagian dari zakat, meskipun itu diperbolehkan secara syariat,” dawuh beliau.
Lebih jauh, Kiai Zuhri menjelaskan profesi guru atau pejabat sebagai bentuk
pengabdian. Berbeda dengan petani atau pedagang yang memang bekerja untuk
mencari nafkah, guru dan pejabat idealnya mengutamakan pengabdian kepada
masyarakat. Namun, beliau mengingatkan bahwa godaan duniawi sering kali menguji
keikhlasan seseorang dalam menjalani profesi tersebut.
“Sekarang itu sebetulnya godaan keikhlasan kita. Kita harus tetap karena
Allah. Apakah tidak boleh orang yang ikhlas menerima uang? Tergantung kalau
tujuannya bukan itu, sebaiknya jangan diterima sekalipun itu tetap boleh,”
dawuh Kiai Zuhri.
Politik dan Ibadah: Hubungan yang Tak Terpisahkan
Dalam tausiahnya, Kiai Zuhri juga menyampaikan peran politik dalam agama.
Nabi Muhammad SAW, menurut beliau, tidak hanya memimpin dalam aspek ibadah
murni, tetapi juga dalam politik yang menunjang kehidupan masyarakat.
“Politik bisa menjadi ibadah jika niat dan tujuannya benar. Kekuasaan
penting untuk menegakkan kebenaran. Tanpa penguasa, kebenaran sulit terwujud,”
jelasnya.
Sebagai kepala negara Madinah, Nabi Muhammad SAW menata masyarakat,
menegakkan keadilan, memimpin peperangan, dan mendamaikan konflik. Menurut Kiai
Zuhri, inilah bukti bahwa politik dapat menjadi sarana ibadah jika dijalankan
dengan tujuan mulia.
Namun, Kiai Zuhri menegaskan bahwa kewenangan ulama berbeda dengan
penguasa. Ulama hanya memberi fatwa dan nasihat, sementara penguasa memiliki
otoritas untuk mengambil tindakan, termasuk pemberian hukuman.
Mengawasi Penguasa dengan Bijak
Mengutip hadis Nabi Muhammad, Kiai Zuhri menjelaskan pentingnya peran
masyarakat dalam mengubah kemungkaran, baik melalui tindakan, ucapan, maupun
hati. Namun, beliau mengingatkan bahwa rakyat biasa tidak selalu memiliki
wewenang untuk mengkritik penguasa secara langsung.
“Jika memiliki keberanian, mengingatkan penguasa adalah hal yang utama.
Namun, jika tidak mampu, itu tetap bisa dimaklumi,” jelasnya.
Kiai Zuhri juga menceritakan bahwa ulama pada masa lampau sering mendatangi
penguasa untuk memberi nasihat, bukan untuk meminta sesuatu. Dalam konteks
modern, peran ini dijalankan oleh DPR. Namun, DPR sendiri membutuhkan
pengawasan dari rakyat.
Terkait demonstrasi, beliau berpendapat bahwa aksi ini sebenarnya tidak
ideal karena dapat mempermalukan penguasa. “Demo memang diizinkan undang-undang
negara, tetapi sebaiknya dihindari. Lebih baik menyampaikan aspirasi langsung
dengan hati-hati. Kalau pejabat atau penguasa melakukan kesalahan, temui mereka
secara langsung dan ingatkan dengan baik-baik. Itulah yang dilakukan oleh para
ulama dulu, tanpa melibatkan keramaian,” jelas Kiai Zuhri.
Untuk memperkuat pandangannya, Kiai Zuhri mengutip kisah Nabi Muhammad SAW
ketika menghadapi seorang a’rabi (orang desa) yang kencing di Masjid Nabawi.
Saat para sahabat hendak melarang, Nabi meminta mereka membiarkan orang
tersebut menyelesaikan urusannya. Setelah itu, Nabi dengan lembut menjelaskan
bahwa masjid bukan tempat untuk buang air. Sikap bijaksana Nabi membuat orang
tersebut tidak tersinggung dan menerima nasihat dengan baik.
Menurut Kiai Zuhri, pendekatan ini dapat menjadi teladan dalam menyampaikan
kritik atau nasihat, termasuk kepada penguasa. Demonstrasi, meskipun sering
dilakukan karena penguasa tidak mendengar aspirasi rakyat, sebaiknya tetap
menjadi opsi terakhir.
“Demo itu sebetulnya tidak baik, tapi kadang-kadang terpaksa karena
penguasanya tidak mengubris, kadang-kadang begitu sebetulnya DPR itu tugasnya
mengawasi mengontrol penguasa," tegasnya.