Dari Rumah ke Pesantren: Belajar Bangun di Sepertiga Malam
Rabu, 23 Juli 2025 - 09:16
“Bruk… bruk… prak… prak… bangun, tahajud.”
alfikr.id, Probolinggo- Suara itu menggema pelan tapi tegas di antara barisan ranjang dan lampu-lampu redup kamar santri. Seorang pengurus pondok bersarung, berbaju putih, menggenggam rotan di tangannya. Ia berjalan perlahan, mengelilingi kamar-kamar yang masih gelap. Satu per satu kasur diketuk, menyusupkan isyarat bahwa malam telah usai dan saatnya menyambut sepertiga malam.
Ramzy Bayhaqi membuka mata, sedikit terkejut. Ia mengusap wajahnya, lalu duduk sembari membetulkan pakaian yang semalam dipakai tidur. Masih kusut. Masih lekat dengan rasa kantuk yang berat. Tapi ia tahu, inilah saatnya. Saat di mana seluruh santri Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, harus bangun dan bersiap melaksanakan tahajud.
“Iya, Ustadz. Kami sudah bangun,” ucap Ramzy dengan suara pelan, berusaha terdengar mantap meski matanya masih setengah terpejam.
Ramzy baru dua minggu menjadi santri. Umurnya baru 13 tahun dan baru duduk di kelas satu Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kehidupan pondok jelas berbeda dengan rumahnya yang nyaman di mana ia bisa bangun pukul enam pagi. Di sini, hari dimulai sejak pukul tiga dini hari.
“Saya belum terbiasa bangun malam. Ini pertama kalinya saya bangun jam tiga, sejak tinggal di pesantren,” katanya jujur.
Namun, waktu subuh di pesantren bukan hanya sekadar waktu. Ini adalah momen pembiasaan. Setiap hari, para santri diajak bangun sebelum fajar, untuk menunaikan tahajud, berdzikir, berdoa, wiridan, hingga salawatan. Aktivitas dini hari itu bukan sekadar rutinitas ibadah, melainkan fondasi awal pembentukan mental, disiplin, dan kesadaran spiritual.
Mula-mula Ramzy merasa kaget. Tapi perlahan, ia mulai menyesuaikan diri. Ia mulai belajar untuk tidak mengeluh, meskipun mata masih berat. Bahkan, ia kini terbiasa mendoakan orang tuanya setiap selesai salat.
“Ya Allah, berikanlah panjang umur, limpahkan rezeki, dan kesehatan bagi mereka yang di rumah,” begitu doanya lirih, dalam satu wawancara dengan ALFIKR.
Berbeda dengan Ramzy yang masih dalam tahap beradaptasi, Robit Abdul Rosyid justru tampak lebih mantap menapaki kehidupan dini hari. Ia juga santri baru, namun menyambut tahajud dengan antusias. Baginya, bangun malam bukan beban, melainkan latihan jiwa.
“Enak, bisa langsung lanjut salat Subuh,” ucapnya ringan.
Ketika kebanyakan santri masih tenggelam dalam mimpi, Robit sudah duduk bersila di atas sajadah. Ia mengambil air wudu, lalu menunaikan tahajud dengan khusyuk. Di tengah keheningan dini hari yang sunyi, ia memanjatkan doa-doa pribadi.
“Ya Allah, semoga orang tuaku panjang umur dan diberi kesuksesan,” katanya kepada ALFIKR.
Kegiatan pagi di Nurul Jadid berlangsung hingga pukul tujuh pagi. Namun, suasana justru dimulai jauh sebelum itu. Di saat langit masih gelap, ketika jangkrik belum berhenti bersuara, ketika lampu-lampu asrama masih gelap, para santri sudah menggeliat dari tempat tidur, mengenakan sarung, dan bersiap-siap untuk menyambut pagi dengan cara yang paling sederhana yaitu, salat dan berdoa.
Di pesantren, pagi tak selalu dimulai saat matahari terbit. Bagi Ramzy, Robit, dan ribuan santri lainnya, belajar bangun lebih awal dari kebanyakan orang, bukan hanya bisa membentuk pribadi yang taat, tapi juga kuat.