Petani Tembakau Paiton dan Bayang-Bayang Krisis Iklim
Senin, 25 Agustus 2025 - 20:47
alfikr.id, Probolinggo- Di Dusun Tj. Lor, Desa Karanganyar, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, hamparan sawah petani tampak masih basah, sisa dari hujan lebat yang mengguyur malam sebelumnya. Terlihat sejumlah tanaman tembakau roboh, bahkan beberapa di antaranya ada yang patah. Hal ini menyisakan kekecewaan bagi para petani. Sebab, hal ini belum pernah di alami tahun-tahun sebelumnya.
Pagi itu, Sikahar, seorang
petani, memeriksa tanaman tembakaunya yang seharusnya menungu masa panen.
Namun, beberapa pohon tembakaunya roboh, ia tak menyangka hujan lebat
turun di bulan ini. Yang ia tahu, bulan ini seharusnya musim kemarau basah.
“Setahu saya, seharusnya tidak ada hujan deras di bulan Agustus,” ujar Sikahar
saat diwawancarai, Rabu (20/08/2025).
Menurutnya, tanaman tembakau
membutuhkan banyak sinar matahari, bukan hujan. Ia khawatir penyerapan air yang
berlebihan akan menurunkan kualitas tembakau dan berdampak pada harga jual. “Mun
cuacanah pas mutemmuh ojen tak lebur kiyah ka reng tanih (Kalau cuacanya
tiba-tiba hujan, petani juga tidak senang),” keluhnya.
Cuaca tahun ini (2025), lanjut
Sikahar, berbeda dari tahun sebelumnya yang sangat mendukung pertumbuhan
tembakau. Saat itu, kualitas tembakaunya bagus dan tak ada yang roboh seperi
saat ini. Selain itu harganya bisa tembus sampai Rp70.000 per kilogram. “Tahun
kemarin (2024) lumayan, harganya hampir nyampe Rp70.000, karena cuacanya
bagus,” tabahnya.
Hal serupa dialami oleh Sumarto, namun kondisi tanaman tembakaunya lebih parah dibandingkan milik Sikahar. Menurutnya, kali ini ia bisa mengalami kerugian dua kali lipat karena kualitas tembakau menurun, banyak yang roboh, bahkan sebagian mati akibat hujan. “Mateh cong perrenah ojen (Mati gara-gara hujan),” keluhnya.

Menanggapi fenomena ini, Ketua
Asosiasi Petani Kabupaten Probolinggo (ASPEKPRO), Mudzakkir, dalam terbitan
ALFIKR tahun 2022, menyampaikan bahwa cuaca yang tidak menentu merupakan bukti
nyata dari krisis iklim yang berdampak langsung pada kerugian petani.
Menurutnya, tak sedikit petani tembakau yang mengalami penurunan kualitas hasil
panen, bahkan sampai gagal panen.
Selain itu, Ketua ASPEKPRO juga
menjelaskan bahwa kondisi ini dapat menimbulkan trauma bagi petani untuk
menanam tembakau di tahun-tahun berikutnya. Apalagi, hasil panen dari petani
yang tetap menanam tembakau pun cenderung menurun.
Mudzakkir, menilai bahwa mahalnya
harga tembakau itu merupakan salah satu bentuk dari hukum ekonomi, yakni supply
and demand (penawaran dan permintaan). Meski mahal, pada dasarnya tidak
membuat petani sejahtera. Jika dibandingkan dengan biaya produksi, kata
Mudzakkir, harga Rp50.000 bukanlah keuntungan yang besar. Selain harga bibit
yang mahal.
Tak hanya itu, Wahyu Eka Setiawan,
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur,
membenarkan bahwa krisis iklim berdampak serius terhadap petani. Temuan WALHI
menunjukkan bahwa kondisi pertanian di Jawa Timur tidak berjalan maksimal
akibat krisis iklim, yang ditandai dengan prediksi cuaca yang semakin tidak
menentu.
Sementara itu, tembakau merupakan
jenis tanaman yang tidak membutuhkan banyak air dan justru tumbuh optimal di
kondisi kering. Menurut Wahyu, jika hujan masih terus turun, tanaman tembakau
akan kelebihan kadar air, yang pada akhirnya memengaruhi kualitasnya. Cuaca
yang tidak menentu menjadi salah satu tantangan utama yang dihadapi petani dan
turut memengaruhi produktivitas hasil panen.
“Tentu ini menjadi masalah.
Artinya mereka tidak bisa memprediksi kapan harusnya tanam tembakau, kapan
tembakaunya akan maksimal. Ternyata hujan terus dan tidak bisa diprediksi.
Kadang hujan kadang panas. Ini
kan berpengaruh pada ketahanan tanamannya,” tegasnya.