Proyek Masa Lampau Negara: Guru Sejarah di Persimpangan Jalan
Sabtu, 27 Desember 2025 - 21:28
Dalam buku Erasing History, filsuf politik Amerika Serikat, Jason Stanley menunjukan bahwa penghapusan sejarah oleh rezim otoriter kerap dilakukan melalui skema yang tampak legal, terutama melalui penulisan sejarah resmi agar mendapat legitimasi dari peristiwa di masa lampau.
Cara
pandang Stanley tentang sejarah kian relevan dengan kondisi di Indonesia. Upaya
penyusunan Sejarah Nasional Indonesia (SNI) terbaru di bawah naungan Menteri
Kebudayaan (Menbud), memantik diskusi publik. Terutama
dari kalangan guru sejarah dan pegiat pendidikan.
Melansir
dari laman Tempo.co, Aliansi Keterbukaan
Sejarah Indonesia (AKSI), menolak
penulisan ulang sejarah tersebut dengan beberapa alasan. Seperti, adanya upaya rekayasa masa lalu, penggunaan sejarah
sebagai alat legitimasi politik, ancaman munculnya kekuasaan totalitarianisme,
dan penghianatan terhadap kerakyatan.
Karena, pemerintah mengklaim diri sebagai satu-satunya
otoritas yang berhak menafsirkan peristiwa di masa lalu.
Tyo Prakoso, guru Sejarah SMAN
11 Bekasi, menilai penulisan ulang sejarah nasional masih kental dengan kepentingan
politik. Ia mengutip Asvi Warman Adam, yang menyebut upaya tersebut kerap
menjadi arena pertarungan antara kepentingan kekuasaan dan sejarah sebagai
disiplin ilmu.
“Di
titik itu guru sejarah ada di persimpangan jalan. Di satu sisi ada sejarah
resmi yang punya kepentingan dan di sisi lain ada tanggung jawab
profesionalitas dan pedagogik di ruang kelas,” paparnya, dalam sesi diskusi bertajuk Bedah
CP Mapel Sejarah & Relevansinya Dengan Buku Sejarah Indonesia yang Baru, (19/12/25).
Kendati
ada potensi profesionalitas guru tergerus oleh kepentingan kekuasaan, tak
lantas membuat Tyo pesimis. Ia menegaskan kalau guru sejarah memiliki landasan untuk
bersikap kritis melalui Capaian Pembelajaran (CP) yang tertuang dalam Keputusan
Kepala BSKAP Nomor 46 Tahun 2025.
“Nah,
jadi CP itu panduan manual kita sebagai guru sejarah di ruang kelas.
Memerintahkan kita untuk melakukan pembelajaran sejarah menggunakan pendekan
saintifik dan kritis. Artinya apa? harusnya guru itu otonom secara pedagogis di
ruang kelas,” tegasnya.
CP
sejarah menempatkan historical thinking
sebagai inti pembelajaran. Siswa tidak hanya dituntut mengetahui peristiwa,
tetapi juga mampu menelusuri sumber, mengkritik data, memahami konteks, dan
menafsirkan sejarah dari berbagai perspektif.
Bahkan, Tyo menilik poin penting dari CP tersebut, terutama soal keluasan guru untuk mengajar di kelas yang tidak ditetapkan secara rinci dan kaku kaku. CP hanya
memberi kerangka kronologis besar dari Hindu-Buddha, Islam, kolonialisme, hingga
reformasi tanpa merinci peristiwa atau tokoh tertentu. Keterbukaan ini memberi
ruang bagi guru menyesuaikan materi dengan konteks lokal.
“Guru
di Bekasi bisa bicara sejarah Bekasi, guru di Banjar bicara sejarah Banjar.
Tidak semua harus Diponegoro,” ujar Tyo.
Bagi
dia, inilah celah penting agar sejarah tidak terlepas dari kehidupan siswa. Oleh sebab itu, guru sejarah tidak usah
takut akan terkooptasi oleh narasi kekuasaan, karena ada anjuran untuk
melangsungkan pembelajaran secara kritis di dalam CP.
“Artinya, guru bisa mengajak murid untuk mengoreksi, bahkan mengkritik buku SNI Fadli Zon yang akan dipelajari oleh siswa di sekolah,” pungkasnya.