Proyek Masa Lampau Negara: Guru Sejarah di Persimpangan Jalan

Sabtu, 27 Desember 2025 - 21:28
Bagikan :
Proyek Masa Lampau Negara: Guru Sejarah di Persimpangan Jalan
Menteri Kebudayaan Fadli Zon memberi sambutan saat peluncuraan buku sejarah indonesia, di Plaza Insan Berprestasi, Kompleks Kemendikdasmen, Jakarta, 14 Desember 2025. [Sumber foto: Tempo.co]

Dalam buku Erasing History, filsuf politik Amerika Serikat, Jason Stanley menunjukan bahwa penghapusan sejarah oleh rezim otoriter kerap dilakukan melalui skema yang tampak legal, terutama melalui penulisan sejarah resmi agar mendapat legitimasi dari peristiwa di masa lampau.

Cara pandang Stanley tentang sejarah kian relevan dengan kondisi di Indonesia. Upaya penyusunan Sejarah Nasional Indonesia (SNI) terbaru di bawah naungan Menteri Kebudayaan (Menbud), memantik diskusi publik. Terutama dari kalangan guru sejarah dan pegiat pendidikan.

Melansir dari laman Tempo.co, Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI), menolak penulisan ulang sejarah tersebut dengan beberapa alasan.  Seperti, adanya upaya rekayasa masa lalu, penggunaan sejarah sebagai alat legitimasi politik, ancaman munculnya kekuasaan totalitarianisme, dan penghianatan terhadap kerakyatan. Karena, pemerintah mengklaim diri sebagai satu-satunya otoritas yang berhak menafsirkan peristiwa di masa lalu.

Tyo Prakoso, guru Sejarah SMAN 11 Bekasi, menilai penulisan ulang sejarah nasional masih kental dengan kepentingan politik. Ia mengutip Asvi Warman Adam, yang menyebut upaya tersebut  kerap menjadi arena pertarungan antara kepentingan kekuasaan dan sejarah sebagai disiplin ilmu.

“Di titik itu guru sejarah ada di persimpangan jalan. Di satu sisi ada sejarah resmi yang punya kepentingan dan di sisi lain ada tanggung jawab profesionalitas dan pedagogik di ruang kelas,” paparnya, dalam sesi diskusi bertajuk  Bedah CP Mapel Sejarah & Relevansinya Dengan Buku Sejarah Indonesia yang Baru, (19/12/25).

Kendati ada potensi profesionalitas guru tergerus oleh kepentingan kekuasaan, tak lantas membuat Tyo pesimis. Ia menegaskan kalau guru sejarah memiliki landasan untuk bersikap kritis melalui Capaian Pembelajaran (CP) yang tertuang dalam Keputusan Kepala BSKAP Nomor 46 Tahun 2025.

“Nah, jadi CP itu panduan manual kita sebagai guru sejarah di ruang kelas. Memerintahkan kita untuk melakukan pembelajaran sejarah menggunakan pendekan saintifik dan kritis. Artinya apa? harusnya guru itu otonom secara pedagogis di ruang kelas,” tegasnya.

CP sejarah menempatkan historical thinking sebagai inti pembelajaran. Siswa tidak hanya dituntut mengetahui peristiwa, tetapi juga mampu menelusuri sumber, mengkritik data, memahami konteks, dan menafsirkan sejarah dari berbagai perspektif.

Bahkan, Tyo menilik poin penting dari CP tersebut, terutama soal keluasan guru untuk mengajar di kelas yang tidak ditetapkan secara rinci dan kaku kaku. CP hanya memberi kerangka kronologis besar dari Hindu-Buddha, Islam, kolonialisme, hingga reformasi tanpa merinci peristiwa atau tokoh tertentu. Keterbukaan ini memberi ruang bagi guru menyesuaikan materi dengan konteks lokal.

“Guru di Bekasi bisa bicara sejarah Bekasi, guru di Banjar bicara sejarah Banjar. Tidak semua harus Diponegoro,” ujar Tyo.

Bagi dia, inilah celah penting agar sejarah tidak terlepas dari kehidupan siswa. Oleh sebab itu, guru sejarah tidak usah takut akan terkooptasi oleh narasi kekuasaan, karena ada anjuran untuk melangsungkan pembelajaran secara kritis di dalam CP.

Artinya, guru bisa mengajak murid untuk mengoreksi, bahkan mengkritik buku SNI Fadli Zon yang akan dipelajari oleh siswa di sekolah,” pungkasnya.

Penulis
Alghajali
Editor
Ahmad Rifa'i

Tags :