Mandalika, Putri yang Hanyut Tanpa Cinta

Jum'at, 03 Mei 2019 - 16:46
Bagikan :
Mandalika, Putri yang Hanyut Tanpa Cinta
Monumen Putri Mandalika NTB (Sumber Foto: SLBN pembina mataram blogger)

MATARAM, ALFIKR.CO - Cerita tentang asal usul budaya “Bau Nyale” (menangkap cacing laut), Nusa Tenggara Barat (NTB) dapat ditemukan di lontar Tekapan Mayangsari, yang mengisahkan perjalanan hidup seorang anak manusia yang dilematis memilih jalan hidupnya. Ia adalah seorang puteri raja bernama Mayang Sari. Buah hati dari Raja Joyo Supono dengan seorang permaisuri Dinde Bungi, dari kerajaan Pane.  

Konon, sang putri memiliki paras yang selaras dengan namanya, yakni putri Mayangsari. Sebuah nama yang menandakan keelokan paras sang putri. Sehingga mengundang decak dan kagum bagi orang yang melihatnya. Akhirnya, satu persatu perjaka datang, bertandang kerumahnya hanya dengan satu tujun yang sama. Yakni, berharap agar mendapat tempat dihati putri.

Diantara perjaka yang bertandang kerumahnya adalah sepupunya sendiri. Yakni, Raden Lipurno dan Bruno, putera Raden Bambang dari kerajaan Beru. Kedua pangeran ini sudah sama-sama kadung terpesona oleh ke-elokan paras ayu, yang konon, penuh hiasan kesopanan tingkah laku dan punya keindahan tutur kata. Paduan paras yang sempurna, ciptaan dari Yang Maha Kuasa.

Anugerah itu menjadikan Mayangsari alias Mandalika sebagai putri yang memiliki segalanya. Membuat setiap perjaka merasa punya peluang untuk mempersuntingnya. Mereka merelakan nyawa bahkan segala yang dimiliknya rela dipertaruhkan. Namun, walaupun jadi rebutan setiap perjaka, ia tetap memiliki kuasa memilih mana yang ia suka dan cocok sebagai pasangan.

Raden Purno dan Bruno diam-diam sama-sama menuai janji untuk terus berjuang sampai titik darah penghabisan demi mendapatkan sang pujaan hati. Hal ini membuat hati sang putri gelisah. Karena dalam pepatah, tidak mungkin dalam satu rumah ada dua cinta. Dan, bila tetap tidak ada kesepakatan diantara keduanya, tentu yang ditempuh jalan terakhir. Yakni adu kesaktian! Dengan ketentuan, siapa yang tidak mempan dengan senjata tajam, dialah jagoan yang berhak untuk mempersunting sang putri.

Pada suatu malam yang sunyi, senyap, putri Mandalika melarikan diri menuju pantai selatan, Lombok. Kemudian naik kebatu angkus (batu yang orang tidak mendatanginya ketika air pasang). Diatas batu yang tegak berpijak ke bumi, dihadapan raja dan permaisuri beserta rakyat yang ikut serta dalam rombongan, Putri Mandalika menceburkan diri ke lautan seraya berkata: “kalian akan menemuiku dalam wujud yang berbeda, sehingga dapat menikmati tubuhku bersama-sama”.

Ketika sang putri telah hanyut bersama gulungan ombak, baginda raja beserta rakyat hanya bisa berteriak dan kebingungan sembari menunggu ditepi laut berharap Putri Mandalika kembali bersama buih-buih ombak yang menepi ke bibir pantai. Tapi sayang, hingga fajar menyingsing, ia tak kunjung kembali.

Dari kejauhan, di tengah laut, muncul sesuatu yang aneh, semacam bintik-bintik api yang menaburkan cahaya. Mereka mengira sang putri telah kembali. Rakyat sang putri serentak berteriak: “Putri saya nyala...nyala......” Ternyata, nyala itu terpancar dari cacing laut yang berkerumun, bergulung-gulung membentuk semacam bola api. Cacing itu dianggapnya sebagai penjelmaan rambut putri Mandalika yang terurai berumbai itu.

Penulis
M. Arwin
Editor
Putro Hadi

Tags :