Peran Penting Pendidikan dalam Mencegah Radikalisme dan Ideologi Kekerasan
Selasa, 04 Oktober 2022 - 04:17alfikr.id, Probolinggo - Pemerintah Indonesia dalam menangani kasus
terorisme seringkali mengandalkan pendekatan keamanan. Contohnya, dengan banyak
melaksanakan penangkapan kepada terduga kelompok terorisme.
Namun, insiden bom bunuh diri masih terus
terjadi meskipun penangkapan telah banyak dilakukan. Hal ini disebabkan lantaran
terdapat keinginan balas dendam pelaku atas anggotanya yang telah ditangkap.
Menukil dari The Conversation, terbukti bahwa pendekatan keamanan hanya efektif dalam merespon insiden terkini, namun tidak menyentuh persoalan dan masih kurang efektif sebagai solusi jangka panjang.
Selain itu, persoalan terorisme secara global telah berkembang, sehingga tidak hanya terbatas pada pendekatan keamanan saja, melainkan juga harus melibatkan sektor pendidikan. Karena, pendidikan yang berkualitas dapat melahirkan kondisi yang membuat radikalisme sulit tumbuh dan berkembang, serta bisa membangun ketahanan dalam mencegah anak menyerap ideologi tersebut.
The Conversation
menganjurkan tiga cara agar sistem pendidikan di Indonesia bisa mencegah
munculnya radikalisme.
1.
Bangun kurikulum berpikir kritis
Kurikulum berpikir kritis dapat membangun
kemampuan anak dalam menyelesaikan masalah dan melihat segala sesuatu dengan
cara pandangan yang berbeda dan beragam—terutama masalah terkait identitas,
keberagaman, dan ideologi yang muncul seiring mereka tumbuh dewasa.
Menurut studi yang dilakukan di Hong Kong
pada 2019, berpikir kritis dapat menurunkan sikap etnosentrisme—anggapan bahwa budaya
dan cara pandang mereka adalah yang terbaik—di antara para partisipan. Kemampuan
berpikir kritis dalam konteks radikalisme, diharapkan membuat anak lebih skeptis
terhadap penyelesain berbagai persoalan dan konflik melalui cara-cara
kekerasan.
Indonesia telah mengeluarkan Peraturan
Presiden (Perpres) No. 7 Tahun 2021, yang berupaya memasukkan muatan berpikir
kritis pada lingkup pendidikan sebagai startegi pencegahan ekstremisme dan ideologi
kekerasan.
Langkah tersebut patut diapresiasi lantaran
telah memuat kurikulum berpikir kritis sejak Sekolah Dasar (SD) sampai
pendidikan tinggi. Strategi ini sejalan dengan anjuran praktik global agar
mengajarkan berpikir kritis sedini mungkin sesuai dengan perkembangan kognitif
anak.
2.
Gencarkan pendidikan literasi media
Beberapa kelompok terorisme umumnya
mengunakan kewajiban agama sebagai propaganda untuk mendapakan dukungan. Tidak
hanya itu, masalah sosial seperti kemiskinan dan ketimpangan juga dimanfaatkan
sebagai pesan untuk memikat orang bergabung
Untuk menangkal itu, sistem pendidikan dapat
menyediakan muatan literasi media agar anak memiliki kemampuan dalam memilih
dan megevaluasi informasi yang dikonsumsi, serta melatih anak didik untuk
melakukan verifikasi sumber informasi. Sehingga dapat menilai validitas dan
keaslian suatu informasi saat mengonsumsinya dari berbagai platform media.
3.
Bangun ruang yang aman bagi anak untuk berdiskusi dan berpendapat
Dua rekomendasi di atas dapat terlaksana jika
anak didik mendapatkan ruang terbuka dan lingkungan yang aman. Seperti
sekolah, dapat menerapkan praktik pembelajaran yang membantu anak didik untuk
memahami berbagai topik ataupun materi yang kompleks dan tabu—dari agama,
identitas, hingga tradisi—secara lebih terbuka.
Dengan
iklim belajar seperti ini, anak akan semakin terlatih untuk menghormati proses
diskusi dan berani mempertanyakan kembali berbagai asumsi, prasangka, dan bias.
Salah satu praktik yang dapat
diterapkan yaitu dengan membangun ruang diskusi di kelas, dan menceritakan
pengalaman pribadi anak mengenai berbagai topik menantang.