Sejarah Kampung Pesisir di Pulau Solor

Senin, 17 Oktober 2022 - 18:59
Bagikan :
Sejarah Kampung Pesisir di Pulau Solor
Kampung Lamakera, [foto: alfikr/Zulfikar]

alfikr.id, Flores Timur- Bertolak dari Paiton, Probolinggo menggunakan kendaraan sepeda motor menuju Pulau Solor, kami melewati sembilan pelabuhan. Di Pelabuhan Lamakera, pelabuhan terakhir dari perjalanan kami.

Penumpang ramai ramai turun, sedangkan lima orang awak kapal KM Rahmat Solor sibuk menurunkan satu persatu sepeda motor. Tujuan kami adalah sebuah perkampungan di ujung timur Pulau Solor. 

Tak seperti Jawa, jalanan di Lamakera lengang. Apa yang menarik selama perjalanan dari Jawa ke Pulau Solor adalah kami dimanjakan oleh pemandangan khas wilayah timur Nusantara: terhampar gugusan pulau-pulau kecil, laut di bawah kaki gunung dan alam yang masih perawan.

Kami menarik tuas gas sepeda motor menuju kediaman Kepala Desa Motonwutun, desa yang menjadi tujuan akhir kami.

Desa Motonwutun merupakan satu dari dua desa hasil pemekaran dari Kampung Lamakera, Pulau Solor, Kecamatan Solor Timur, Kabupaten Flores Timur. 

Meski secara administrasi Kampung Lamakera sudah mekar selain Desa Motonwutun adalah Desa Watobuku, tapi nama Kampung Lamakera masih melekat dan selalu dilafalkan untuk menyebut dua desa tersebut.

Kampung Lamakera untuk menyebut dua desa itu terletak di ujung timur Pulau Solor, daerah yang arus lautnya merupakan pertemuan antara Selat Solor dan Laut Timor itu berhadapan langsung dengan Samudra Hindia.

Masyarakat Lamakera menggantungkan hidupnya pada hasil laut karena pulau ini berbatu, gersang, dan tandus. Oleh karena itu, melaut adalah sumber mata pencarian mereka, yang mana hasil tangkapan berupa ikan dan kerang kemudian akan dijual ke Pasar Adonara. 

Kepala Desa Motonwutun, Hamka K Songge, yang bercerita tentang bagaiamana sejarah Kampung Lamakera.

Menurut penuturannya, sebelum dinamai perkampungan Lamakera, daerah yang berada di pesisir pantai ini dikenal dengan sebutan Kampung Tanah Werang, dengan kekuasaan berada di tangan dua orang perempuan bernama Manadatona dan Abangke Waamang.

Konon, lanjut Hamka, suatu hari kedua perempuan tersebut kedatangan dua orang tamu perempuan dengan nama Kialeramari dan Juangmiti, berasal dari Suku Songge, Kabupaten Sika.

Tujuan keduanya adalah untuk meminta sebidak tanah kepada Manadatona dan Abangke Waamang. Untuk dapat menetap di Pulau Solor. 

Permintaan tersebut disetujui dengan syarat yang tidak masuk akal yaitu mempersembahkan ikan berkepala paus dan berekor ikan todak kepada sang empunya tanah. 

Selama tujuh hari di lautan  Juangmeti tidak menemukan ikan yang dimaksud sampai batas yang ditentukan. Juangmiti  akhirnya dinyatakan gagal memenuhi permintaan itu.

persyaratan itu gagal diwujudkan, namun Madatona dan Abangke Waamang tetap memberikan sebidak tanah karena melihat kesungguhan usaha tamunya. 

Maka keesokan harinya digelarlah jamuan adat Naju Baja sebagai bukti penyerahan tanah yang berlangsung meriah. Sembari berikrar bahwa tamu diterima oleh penguasa Pulau Solor dengan cara yang mulia.

Pelbagai jenis makanan mulai dari jagung titi, ikan bakar, lawar kering dan tuak disajikan dalam pesta itu.

Semua sajian makanan dalam jamuan tersebut ditempatkan di wadah yang terbuat dari daun lontar, “Kelak dari jamuan tersebut nama Lamakera berasal,” jelas Hamka.

Tak ada yang tahu dari mana asal-muasal penduduk Lamakera, namun masyarakat Lamakera meyakini nenek moyangnya adalah bangsa pendatang. Itulah mengapa masyarakat Lamakera selalu ramah dan terbuka kepada siapa pun.

Sikap terbuka warga Kampung Lamakera tumbuh dari keragaman yang terawat sejak kehidupan mulai berdenyut di kampung itu.

Maka jangan heran jika bertandang ke sana, hampir setiap sudut di Kampung Lamakera, berdiri rumah adat.

Penulis
Zulfikar
Editor
Abdul Razak

Tags :