Jelang Pemilu 2024, Mahfud MD: Politik Uang Sulit Dihindari
Kamis, 20 Oktober 2022 - 18:49alfikr.id, Jakarta-Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD meyakini bahwa Pemilu 2024 akan diselenggarakan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Akan tetapi, dirinya merasa ragu jika Pemilu tersebut akan terselenggara dengan substantif.
"Bahwa akan terjadi politik uang dan sebagainya, itu masih sangat sulit dihindari," kata Mahfud saat berdiskusi dengan Rocky Gerung di kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, yang ditayangkan di channel YouTube RGTV Channel ID, Senin (17/10/2022).
Lantaran sulit menghindari politik uang, Mahfud, pun ragu Pemilu 2024 bisa sukses secara substantif sesuai UUD 1945. Pasalnya, pilihan rakyat akan terpengaruh oleh uang yang disodorkan oleh kontestan pemilu.
"Kalau itu iya, bahwa pemilu akan diikuti oleh rakyat yang banyak bisa dibujuk oleh uang," ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Mahfud menjelaskan, politik uang sulit dihindari karena pendapatan rakyat Indonesia masih kecil. Penjelasannya ini mengacu pada pernyataan mantan Wakil Presiden Boediono saat dikukuhkan sebagai guru besar Universitas Gajah Mada (UGM).
"Pak Budiono mengatakan, jangan harap dong pemilu kita menjadi substantif kalau pendapatan per kapita belum mencapai 5.500 (dolar AS). Itu pasti jual beli (suara) lah, kata Pak Budiono," ujar Mahfud.
Untuk diketahui, Data CEIC menyebut pendapatan per kapita Indonesia pada tahun 2021 adalah sebesar 4.349,17 dolar AS. Dengan mengacu pada pernyataan Budiono itu, Mahfud meyakini Pemilu 2024 bakal diwarnai politik uang, tapi praktik itu bakal terus berkurang seiring berjalannya waktu dan terus naiknya pendapatan per kapita Indonesia.
Mahfud menyebut, berdasarkan perhitungan McKinsey, sebuah biro konsultansi manajemen global, pendapatan per kapita Indonesia akan mencapai 23.900 dolar AS pada 2045.
Tergantung Elite-elite Politik
Menurut Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies Nyarwi Ahmad, apa yang disampaikan oleh Menko Polhukam itu cukup masuk akal. Terlebih di tengah laju inflasi dan tekanan ekonomi global saat ini.
"Godaan pemilih untuk menerima politik uang memang cukup tinggi," ujar Nyarwi Ahmad dalam siaran tertulis yang dikutip alfikr.id, Kamis (20/10/2022).
Menurut Nyarwi, hal tersebut tergantung pada kecenderung perilaku elite-elite politik atau kandidat yang maju dalam Pemilu 2024.
"Jika mereka makin tertarik menggunakan politik uang untuk memobilisasi pemilih dan semakin tinggi tingkat permisifitas pemilih tersebut pada politik uang, maka eskalasi politik uang dalam pemilu bisa makin meningkat," kata Nyarwi.
Ia menambahkan, indikasi adanya trend politik uang sudah sering disebutkan oleh banyak pihak yang muncul dalam pemilu sebelumnya.
"Namun, belum ada data yang sangat valid yang menunjukkan bahwa preferensi mayoritas pemilih pada partai maupun kandidat, sepenuhnya ditentukan oleh politik uang sebagai faktor utama yang menentukan pilihan mereka," ujarnya.
Dosen Komunikasi Politik FISIPOL UGM itu mengatakan, dalam arena pemilu hal tersebut tidak ada jaminannya.
"Mereka yang menjalankan politik uang secara masif dan intensif dalam jumlah besar secara otomatis keluar sebagai pemenang, atau mendapatkan kursi di jabatan publik," kata Nyarwi.
Selain itu, permisifitas pemilih pada politik uang di setiap daerah pun berbeda-beda. Pemilih di sejumlah daerah tertentu bisa saja memimiliki permisifitas yang tinggi pada politik uang. "Di tempat lainnya, tingkat permisifitas semacam itu bisa saja lebih rendah," ujar Nyarwi.
Nyarwi mengatakan bahwa para kandidat dan pimpinan parpol menyadari kondisi semacam itu. Oleh karena itu, politik uang dapat terus menghantui pemilu di Indonesia jika para elite yang menjadi kandidat bertarung dalam pemilu masih terus mengandalkan politik uang.
"Trend ini juga bisa terus berkembang jika permisifitas pemilih pada politik uang masih sangat besar, dan angka inflasi dan tekanan ekonomi yang ada menyulitkan kehidupan mayoritas pemilih," jelas Nyarwi.
Nyarwi pun mengatakan, peluang untuk menurunkan kadar politik uang dalam setiap pemilu tentu selalu ada.
"Pengawasan praktik-praktik politik uang diintensifkan, penegakan hukum atas terjadinya praktik-praktik politik uang dijalankan lebih maksimal, dan tingkat penolakan masyarakat pada politik uang makin masif," jelas Nyarwi.
Nyarwi menambahkan, menghilangkan perilaku politik uang dalam pemilu tentu saja tidak cukup hanya dengan pengawasan dan penegakan hukum pada mereka yang menjalankan atau yang menerima politik saja.
"Langkah tersebut hanya mampu mengerem laju politik uang pada sisi hilirnya saja. Yang terpenting adalah pada di sisi hulunya, yaitu hal-hal yang mendorong eskalasi praktik-praktik politik uang, baik yang bersumber dari aktornya, maupun dari faktor strukturalnya," ujar Nyarwi.