Tiga Tahun Jokowi-Ma’ruf: Kepolisian Kian Istimewa dan Kebebasan Sipil Kian Buruk
Kamis, 20 Oktober 2022 - 18:49alfikr.id, Jakarta-Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengungkapkan, reformasi kepolisian masuk dalam daftar catatan kinerja tiga tahun pemerintahan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin.
Menurut Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti, belakangan ini, kepolisian menjadi sorotan utama karena kinerjanya menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Janji Presiden untuk melakukan reformasi Polri demi meningkatkan kepercayaan publik, bagi Fatia, dianggap gagal total terealisasi.
“Jalan reformasi Polri yang mendesak tak kunjung ditunaikan oleh pemerintahan Presiden Jokowi,” kata Fatia.
Padahal tindakan anggota Kepolisian berupa kekerasan dan pelanggaran telah berimplikasi pada kerugian di masyarakat. Fatia melihat anggota di lapangan kerap melakukan pelanggaran seperti penggunaan senjata api dan salah tangkap.
“Sayangnya perbaikan hanya menyoroti citra semata, bukan kinerja. Keresahan masyarakat harus dijawab lewat perbaikan struktural di tubuh Polri dalam kerangka reformasi Polri,” tegasnya.
Fatia menilai sudah terlalu lama polisi mendapat hak istimewa (privilage) tanpa ada pengawasan dan evaluasi, hingga banyak kasus besar terjadi belakangan ini.
"Karena sudah terlalu lama pihak polisi ini mendapat privilage atau kekuasaan tanpa adanya pengawasan dan evaluasi, yang pada akhirnya menyebabkan kasus-kasus besar yang terjadi hari ini, tentu saja diakibatkan karena minimnya pengawasan tersebut," ujar Fatia dalam konferensi pers daring, Kamis (20/10/2022).
Dia menyebut, kasus Kanjuruhan dan Ferdy Sambo jadi contoh jelas bahwa pemerintah perlu segera mereformasi kepolisian. "Salah satunya dengan melakukan revisi Undang-Undang Kepolisian yang sudah berlaku lebih dari 20 tahun," ujarnya.
Menyempitnya Ruang Kebebasan Sipil
Dalam tiga tahun pemerintahan Jokowi-Maru'f, dia juga melihat kebebasan sipil yang semakin memburuk. Menurut Fatia, banyak ruang ekspresi yang dibatasi, dan pengawasan di ruang publik atau digital terus terjadi oleh kepolisian.
“Eskalasi menyempitnya ruang kebebasan sipil terus terjadi ditunjukkan dengan penggunaan UU ITE hingga kriminalisasi oleh pejabat negara,” terangnya.
Fatia menegaskan, Presiden semacam merestui situasi yang terus memburuk. Represi terus menerus dilanjutkan terhadap mereka yang kritis baik dalam ranah publik ataupun digital, bahkan aktornya tidak hanya berasal dari aparat. Begitupun serangan dan kriminalisasi terhadap Pembela HAM, lanjutnya, semakin membuat mereka dalam kerentanan.
"Tentu saja menyebabkan, memperlihatkan rasa takut, dan juga masyarakat punya ruang yang sangat minim untuk dapat menyuarakan secara bebas kritiknya terhadap pemerintah," kata dia.
Selain kebebasan sipil yang terus tergerus, Fatia menyebutkan, Presiden Jokowi berperan besar dalam membuat demokrasi ambruk dengan melakukan pembiaran terhadap berkembangnya wacana 3 periode dan perpanjangan masa jabatan dengan berlindung dibalik dalih demokrasi.
“Proses pemilihan kepala daerah pun yang seharusnya dijalankan dengan demokratis, justru dilangsungkan dengan sewenang-wenang. Adapun penyusunan regulasi yang dilanjutkan secara serampangan dengan mengabaikan meaningful participation,” tegas Fatia.