Banyak Karyawan di-PHK, UU Cipta Kerja Tak Berpihak Pada Pekerja
Kamis, 27 Oktober 2022 - 07:57alfikr.id, Probolinggo- Dua hari setelah melahirkan bayi pertamanya, Dinda (bukan nama sebenarnya,red) mendapat kabar bahwa dia akan di-PHK. Padahal, perempuan berusia 25 tahun itu tengah mengambil cuti hamil selama tiga bulan.
“Pas PHK itu H+2 setelah melahirkan, jadi agak syok karena kondisinya lagi capek habis melahirkan, jadi move on-nya agak lama,” kata Dinda kepada BBC News Indonesia.
Dinda saat itu bekerja di sebuah perusahaan perintis (start up) yang berbasis di Jakarta. Dia telah berstatus sebagai karyawan tetap dengan masa kerja lebih dari tiga tahun.
Dia adalah satu dari ratusan karyawan lainnya yang turut di-PHK secara bersamaan karena perusahaan melakukan “efisiensi”.
“Aku nggak pernah membayangkan kalau aku akan jadi korban PHK. Sejujurnya, kalau lihat kasus PHK dulu mikirnya itu enggak mungkin terjadi sama aku," tutur Dinda yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi.
Dinda sempat menduga kondisinya yang sedang tidak produktif, cuti hamil menjadi salah satu alasan dia turut di-PHK. Apalagi, Dinda merasa kinerjanya baik selama bekerja di perusahaan itu.
“Sebenarnya sudah ada feeling, karena kalau perusahaan lagi efisiensi, yang cuti melahirkan bakal kena juga, kan mereka lagi hemat budget. Mereka perusahaan harus membayar orang-orang yang istilahnya nggak produktif lah,” terang Dinda.
Dari kejadian itu, Dinda menyadari kalau kinerja baik dan kemampuan yang mumpuni tidak cukup sebagai jaminan untuk mempertahankan pekerjaan.
Namun persoalannya tidak berhenti di situ. Perusahaan, yang menginformasikan pemecatan itu hanya dua hari sebelum eksekusi, berdalih merugi.
Atas dalih itu, perusahaan pun berniat hanya membayarkan pesangon setengah dari jumlah yang semestinya.
Alasan itu memang dimungkinkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Persoalannya, alasan merugi hanya klaim sepihak perusahaan tanpa menyodorkan bukti kepada para karyawan.
Menurut Dinda, banyak yang mempertanyakan hal itu namun perusahaan tidak memberi jawaban yang jelas.
Saat itu, perusahaan juga menawarkan opsi lain berupa kesepakatan damai dengan jumlah kompensasi sedikit lebih besar dari pesangon yang telah dikurangi setengahnya itu.
Tetapi, karyawan yang memilih opsi damai ini harus menandatangani surat yang menyatakan pengunduran diri secara sukarela yang dapat menutup peluang gugatan hukum.
Dinda sendiri memilih opsi kedua karena merasa tidak mau membuang waktu dan energi. Sebab, perusahaan bersikukuh merugi sehingga tidak mungkin memberi pesangon secara penuh kalaupun dia menunggu di-PHK.
Nasib serupa dialami Rio (bukan nama sebenarnya,red). Saat itu dia juga bekerja di salah satu perusahaan asing di Jakarta.
Pada awal September lalu, perwakilan perusahaan tiba-tiba memanggil para karyawan dan mengumumkan pemecatan yang akan dilaksanakan pada hari itu juga.
Rio, yang juga merupakan karyawan tetap dan telah bekerja selama lima tahun di perusahaan itu sontak kaget. Sebab, Rio merupakan tulang punggung keluarga. Pekerjaan itu adalah sumber nafkah utamanya.
“Karyawan kalau mengundurkan diri saja ada one month notice. Ini nggak, jadi jelas lah saya syok, apalagi masa pandemi begini, pekerjaan nggak ada, saya punya bayi, saya punya cicilan rumah yang besar dengan tenor belasan tahun juga,” tutur Rio.
Dalam proses PHK, Rio merasa tidak ada ruang negosiasi. Perwakilan perusahaan langsung datang didampingi oleh dua orang pengacara, dengan dokumen dan surat-surat yang telah disiapkan dan meminta mereka untuk segera menandatanganinya.
Pesangon yang akan dibayarkan pun hanya berjumlah setengah dari yang semestinya. Dalihnya adalah perusahaan sedang merugi. Namun, perusahaan tidak menyodorkan bukti apa pun.
“Mereka bilang saat itu waktunya musyawarah, tetapi menurut saya itu bukan musyawarah. Kami merasa dalam posisi lemah. Mereka punya dua lawyer, sedangkan kami tidak ada lawyer, nggak ada uang juga untuk sewa lawyer,” ujarnya.
Rio dan beberapa rekannya menolak menandatangani kesepakatan yang disodorkan. Dia berargumen bahwa proses PHK yang dilakukan oleh perusahaan tidak patut dan melanggar prosedur yang diatur dalam undang-undang.
Demi menghindari gugatan hukum, perusahaan akhirnya bersedia berunding dan membayarkan pesangon dengan nilai yang lebih baik dari penawaran sebelumnya.
Sama seperti Dinda, Rio merasa tidak lagi merasa aman dengan kariernya. Jaminan soal kepastian kerja itu terasa hilang baginya.
Belasan tahun pengalamannya di dunia profesional, ditambah gelar S2, hingga kinerja yang baik ternyata juga tidak cukup sebagai jaminan.
“Artinya saya sendiri sebagai karyawan merasa nggak pasti, walaupun kinerja sudah baik, alhamdulillah sudah (bergelar pendidikan) Master, tapi walaupun begitu tetap saja saya dieksekusi,” serunya.
Dinda dan Rio merupakan sekian dari karyawan di PKH akibat dari Kondisi ekonomi global yang sedang tidak stabil dan diperparah oleh terbitnya UU Cipta Kerja.
Pasalnya, Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan dua tahun lalu disebut oleh sejumlah pengamat dapat memperburuk situasi. Karena lebih tidak berpihak kepada para pekerja dan mempermudah PHK.
Menurut catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) per Mei 2022, lebih dari 17.000 buruh di Indonesia di-PHK massal sejak Undang-Undang Cipta Kerja disahkan pada Oktober 2020.
Ketua YLBHI Muhammad Isnur menduga jumlah sebenarnya jauh lebih besar mengingat gelombang PHK massal masih terjadi sampai baru-baru ini dan tidak semua pekerja melaporkan PHK sepihak yang mereka alami.
Jika ditelisik lebih jauh, YLBHI mengatakan alasan PHK berkaitan dengan situasi pandemi dan ketidakpastian ekonomi global. Namun undang-undang dinilai memperburuk situasi, karena lebih tidak berpihak pada para pekerja.
Namun dari aduan yang masuk itu, bentuk pelanggaran terbanyak yang tercatat adalah PHK sepihak tanpa tahapan yang layak.
“Jadi situasinya saat ini memang dobel. Memang banyak sekali PHK yang dilakukan sepihak oleh perusahaan. Sebelumnya juga sudah banyak, tapi sekarang tambah banyak karena Undang-Undang Cipta Kerja melegitimasi itu,” kata Isnur.
Menanggapi hal tersebut, Pakar hukum ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Nabiyla Risfa Izatti, menjelaskan ada sejumlah klausul yang memang membuka kesempatan adanya PHK sepihak bahkan mempermudah PHK dalam UU Ciptaker.
Misal, Pasal 151 ayat 2 dalam UU Ciptaker yang menyebutkan bahwa apabila PHK tidak dapat dihindari, alasan PHK diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja.
Ketentuan itu berbeda dengan pasal 151 ayat 2 di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa apabila PHK tidak dapat dihindari, maka pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja atau pekerja.
"Jadi judulnya PHK diberitakan, sehingga narasi yang muncul memungkinkan adanya PHK sepihak," jelas Nabiyla.
Itu pula yang telah dialami oleh Dinda, Rio, serta belasan ribu pekerja lainnya yang mengadu ke YLBHI.
Fleksibilitas pasar kerja yang didorong oleh UU Ciptaker, menurut dia, juga justru membuat pekerja dalam posisi makin rentan. Selain itu, bagaimana UU itu menempatkan pekerja pada hubungan kerja yang tidak layak.
"Di dalam kondisi pasar kerja yang sudah insecure ini, fleksibilitas itu justru merugikan pekerja karena semakin banyak yang ada dalam hubungan kerja kontrak, outsource, bahkan kemitraan," jelas dia.
Tetapi, staf khusus Menteri Tenaga Kerja, Dita Indah Sari, membantah tudingan bahwa UU Ciptaker mempermudah PHK.
Menukil dari BBC News Indonesia, Dita mengatakan bahwa PHK pada prinsipnya adalah jalan terakhir dan wajib diberitahu secara tertulis oleh perusahaan 14 hari sebelum dilaksanakan.
"Jika pekerja tidak setuju, mereka juga berhak menjawab lalu dirundingkan," tutur Dita.
Namun menurut Nabiyla, memang ada pasal yang menyebutkan bahwa pekerja boleh menolak PHK melalui mekanisme bipartit, mediasi, atau penyelesaian perselisihan hubungan industri, tetapi realitanya tidak semudah itu.
“Narasinya seakan-akan enggak tahu bahwa kondisinya sangat timpang di lapangan. Pemerintah bilang boleh kok menolak, tetapi kenyataannya tidak seperti itu. Seakan-akan melupakan ada posisi yang sangat timpang antara perusahaan dan pekerja,” jelas dia.
Hal lain yang memicu ketidakpastian hukum yang merugikan pekerja, kata Nabiyla, ialah masih adanya celah hukum dalam Undang-Undang Cipta Kerja maupun aturan turunannya.
Situasi yang menimpa Dinda dan Rio adalah salah satu contoh, di mana perusahaan mengeklaim merugi sehingga hanya akan membayarkan pesangon setengah dari yang seharusnya.
“Tetapi tidak dijelaskan bagaimana mekanisme pembuktian kerugian itu sendiri. Dan saya sendiri sampai sekarang tidak tahu bagaimana membuktikan kerugian itu sendiri, secara normatif dalam UU Ciptaker dan aturan pelaksananya tidak jelas,” kata Nabiyla.
Klaim merugi itu memang bisa disengketakan, namun relasi kuasa yang timpang membuat pekerja merasa tidak berdaya untuk membawanya ke ranah hukum.
“Kalau kita bicara sengketa ke PPHI pun memberatkan kan dari sisi pekerja, waktunya panjang, tidak semua punya waktu, resource, dana untuk itu sehingga ujung-ujungnya lebih menguntungkan perusahaan dan lebih merugikan pekerja,” tutur dia.
Terkait hal ini, staf khusus Menaker Dita Indah Sari mengatakan data kerugian semestinya bisa menjadi bukti untuk menuntut pengusaha agar membayar pesangon sesuai aturan dalam proses mediasi.
Dita juga mengakui bahwa masih ada perusahaan-perusahaan yang tidak mematuhi prosedur dan melakukan PHK sepihak, namun dia mengeklaim beberapa kasus seperti itu telah ditindak agar ada efek jera.
Di tengah situasi yang menghimpit dan regulasi yang lebih tidak berpihak itu, Nabiyla mengatakan salah satu upaya yang bisa dilakukan pekerja untuk mempertahankan hak adalah dengan berserikat.
Kalaupun tidak memiliki serikat, pekerja setidaknya bisa berunding secara kolektif.
“Akan sulit bagi pekerja individual melawan kuasa perusahaan. Satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah bersatu dengan kekuatan yang lain, karena kekuatan kita ada di situ. Kalau tidak, sulit sekali,” kata dia.
Sayangnya, tren berserikat bagi pekerja di Indonesia dia sebut masih sangat rendah. Data terakhir pada 2012 menunjukkan baru sekitar 6% pekerja di Indonesia yang menjadi anggota serikat.
Di sisi lain banyak pula pekerja yang tidak memahami hak-haknya, sehingga ketika PHK terjadi, banyak yang memilih pasrah tanpa perlawanan.