Pakar: 4 Dampak Resesi Global dan Cara Bagaimana Menghadapinya

Jum'at, 18 November 2022 - 02:22
Bagikan :
Pakar: 4 Dampak Resesi Global dan Cara Bagaimana Menghadapinya
Potensi resesi ekonomi global dan cara menghadapinya bagi masyarakat. [Sumber: sipsak/iStock]

alfikr.id, Probolinggo- Kemungkinan terjadinya resesi global pada tahun 2023 telah banyak diperbincangkan pemerintah dan diketahui oleh masyarakat.

Resesi global merupakan konsekuensi ekonomi yang berkepanjangan di seluruh dunia. Dilansir dari The Conversation, Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi perekonomian dunia akan gelap di tahun depan. Apalagi dari revisi ramalan IMF pertumbuhan ekonomi global 2023 menjadi 2,7%.

Revisi tersebut menunjukkan angka poin lebih rendah dari prediksi yang dikeluarkan IMF sebelumnya, yaitu 0.2 poin. Angka itu mencerminkan perhitungan dibandingkan dengan prediksi tahun ini sebesar 3,2%, atau turun dibandingkan 6% tahun lalu. 

Tak hanya data di atas, IMF juga mengeluarkan banyak himbauan yang begitu mencemaskan. Lembaga itu mengingatkan, di tengah carut-marut perekonomian global, situasi yang terburuk “belum muncul”, inflasi akan semakin melambung, serta pada tahun 2023 sebagian orang akan “merasakan resesi” dalam kondisi perekonomian yang sangat “menyakitkan”.

Sebetulnya, sejumlah praktisi dan ahli ekonomi termasuk Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva dan Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri, memprediksi bahwa Indonesia relatif aman dari ancaman resesi.

Namun, dilansir dari hasil wawancara wartawan The Conversation kepada sejumlah pakar Indonesia menyebutkan bahwa tak ada satu negara pun, termasuk Indonesia, lolos dari perlindungan ekonomi. Bukan hanya negara, masyarakat pun akan mengalami dampaknya.

Meski hanya ramalan, namun pelbagai dampak harus juga diwaspadai oleh masyarakat. Apa saja yang perlu diwaspadai? Dan, bagaimana cara menghadapinya?

Berikut kompilasi pendapat dari sejumlah pakar. Menurut pendapat pakar ekonomi.

1.Biaya hidup makin tinggi

Center for Strategic and International Studies (CSIS), Fajar B. Hirawan, menyebut tekanan inflasi akan menyerang hampir seluruh negara di dunia, tak terkecuali Indonesia. Kata dia, pastinya berdampak pada peningkatan harga-harga kebutuhan pokok. 

“Kondisi ini sebenarnya juga dipicu oleh momentum pemulihan ekonomi (pasca pandemi) yang akhirnya mendorong sisi permintaan yang peningkatannya sangat signifikan, namun tidak disertai sisi pasokan yang mencukupi, yang salah satunya diakibatkan oleh gangguan pada rantai pasok global,” terang Fajar.

Dalam Laporan proyeksi ekonomi dunia, IMF memprediksi seperti negara-negara di dunia akan mengalami pertumbuhan ekonomi negatif tahun depan. Karena, dari tiga kekuatan ekonomi terbesar di dunia (Amerika Serikat (AS), Uni Eropa (EU), dan China), juga akan mengalami kudeta ekonomi.

Menurut IMF, terdapat tiga faktor yang menjadi penyebab, pertama, Perang Rusia-Ukraina yang menimbulkan kenaikan harga energi dan pangan, kedua, krisis biaya hidup akibat imbas dari konflik tersebut, dan ketiga, kebijakan lockdown China yang mengakibatkan terganggunya alur perdagangan internasional.

Terganggunya logistik dan krisis energi, Muhamad Iksan dari Universitas Paramadina, dan Krisna Gupta dari Center of Indonesian Policies Studien (CIPS), telah mewanti-wanti bahwa harga barang sehari-hari yang dibeli konsumen akan naik. Bahkan, sebagian masyarakat telah merasakan dampaknya.

Menurut mereka, saat ini masyarakat Indonesia masih berjibaku dengan naiknya harga pangan sejak awal tahun, serta kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang berlaku pada awal September. Ini bahkan mendorong inflasi Indonesia sampai hampir menyentuh 6% bulan lalu.

2. Pendapatan tak sebanding dengan pengeluaran

Bhima Yudhistira Adhinegara dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), khawatir melihat pendapatan masyarakat yang sulit untuk menyeimbangkan kenaikan harga yang akan terjadi. Alih-alih menaikkan upah untuk meringankan beban kenaikan biaya hidup. Bisnis pun akan ikut mengerem pengeluaran dan mungkin melakukan efisensi, terutama dari sisi kebijakan persoanalia.

“Bisa kayak jam kerja dikurangi, gaji dipotong, ujungnya bisa ke PHK (pemutusan hubungan kerja),” ungkap Bhima, dilansir dari The Conversation.

3. Sulitnya mencari pekerjaan

Terimbasnya bisnis dan potensi PHK, menurut Bhima, persaingan untuk mendapatkan pekerjaan akan semakin berat.

Di samping itu, kata Krisna, bisnis kontraksi akibat kekurangan investasi telah dirasakan oleh sebagian sektor teknologi, karena pendapatan eksternal yang langka. Contohnya, sejumlah e-commerce dan perusahaan berbasis digital khususnya di Indonesia seperti Shopee, JD.ID, LinkAja, TaniHub, dan Zenius, akhir-akhir ini banyak memangkas karyawannya.

“Kontraksi produksi mungkin juga terjadi, yang mungkin akan melatih ke pekerja lepas,” terang Krisna.

4. Meningkatnya Suku bunga

Demi mengatur tingkat inflasi, bank sentral di pelbagai negara biasanya menaikkan suku bunga. Buntutnya, jika suku bunga tinggi, maka orang akan cenderung menahan konsumsi. Sehingga laju kenaikan harga bisa diredam.

“Jadi acuan suku bunga secara global meningkat, terutama di negara maju, memicu penyesuaian suku bunga di Indonesia. Nanti ujungnya adalah bunga pinjaman atau kredit yang disesuaikan dengan suku bunga acuan yang naik,” terang Bhima.

Jaga Konsumsi

Konsumsi dalam negeri, menurut para ahli, akan tetap menjadi sentral di Indonesia dalam menjaga pertumbuhan ekonomi, di tengah perdagangan dan kondisi ekonomi internasional.

Syaratnya, masyarakat perlu mengatur dan mengendalikan keranjang belanjanya, agar dapat mengurangi dampak resesi global yang telah dipaparkan di atas.

“Masyarakat harus lebih bijak lagi dalam berkonsumsi. Sektor konsumsi rumah tangga sebagai penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia memang tidak perlu kita pertanyakan lagi. Namun di masa-masa harga yang bersandar naik, masyarakat perlu lebih berhati-hati (waspada dan antisipatif) dan membuat prioritas kebutuhan yang perlu dipenuhi,” saran Fajar.

Seirama, Bhima pun menekan agar masyarakat lebih mengendalikan pembelian barang-barang yang bersifat sekunder dan tersier. Dia dan Krisna menyarankan rakyat berpikir dua kali sebelum mengambil pinjaman, khususnya barang-barang konsumtif.

Di samping itu, kata Bhima, penting bagi masyarakat melakukan langkah antisipasi dengan mencari pendapatan sampingan.

“Jangan sembarang mengandalkan pendapatan dari sumber utama,” tegas Bhima.

Bukan hanya itu, Bhima juga menyarankan rakyat untuk menyisihkan dana darurat minimal 10?ri pendapatan negara.

Selain itu, Iksan terdorong oleh pentingnya menyiapkan tabungan atau kas untuk pengeluaran mendadak yang lebih tinggi dari biaya hidup yang biasa dikeluarkan.

Iksan juga menyarankan agar masyarakat tidak panik, tetap menjalani hidup meskipun rumit, dan tidak melupakan pentingnya penyembuhan.

“Rumusan saya tentang krisis, dia datang tiba-tiba dan biasanya juga pergi dengan cepat,” terang Iksan.

Penulis
Adi Purnomo S
Editor
Imam Sarwani

Tags :