Zainal Arifin; Dekolonisasi RKUHP Bukan Sekadar Mengganti Isu Tapi Juga Paradigma di Dalamnya
Selasa, 27 Desember 2022 - 18:03alfikr.id, Depok- Mata Najwa mempertemukan dua pakar hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Edward Omar Sharif Hiariej (Eddy) dan Zainal Arifin Mochtar (Uceng) dalam duel pikiran dengan tajuk “Debat RKUHP: Merdeka Bersuara”
Debat tersebut berlangsung di Aula Djokosoetono, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Rabu (11/8/22) lalu.
Kegiatan tersebut berfokus pada pasal-pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam draf RKUHP 2022.
Uceng yang merupakan Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM menilai, pasal penghinaan dalam draf RKUHP 2022 berbahaya dan mengancam demokrasi.
Sedangkan Eddy yang merupakan Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM sekaligus Wakil Menteri Hukum dan HAM menilai pasal penghinaan draf RKUHP bukan penghalang untuk disahkan karena tak mengacam demokrasi.
Sepanjang debat dua pendekar hukum ini saling adu argumen berdasarkan paradigma keilmuan, historis, hingga praktik hukum yang tumbuh dan hidup di masyarakat.
Uceng berpendapat, draf KUHP cenderung memprioritaskan perlindungan terhadap negara alih-alih warga negara. Hal ini misalnya, tampak dari Bab Pertama Buku Dua KUHP yang langsung menyasar kejahatan terhadap negara.
“Kelihatan sekali pembuat UU ini ingin membuat perlindungan terhadap negara,” ujar Uceng.
Padahal, kata dia, Undang-undang dasar yang belakangan dibuat lebih mengedepankan aspek perlindungan terhadap warga negara dari pada kekuasaan negara.
“Kenapa kebanyakan undang-undang dasar yang belakangan dibuat itu pasti mulainya dengan hak asasi manusia dulu bukan kekuasaan dulu?, karena memang ada penghargaan lebih terhadap manusianya bukan negaranya,” terang Uceng.
Eddy merespons pendapat Uceng dengan mengatakan bahwa hukum pidana memang secara natural memprioritaskan perlindungan terhadap kepentingan negara daripada warga negara.
“Itulah nature-nya hukum pidana tidak akan mungkin mensederajatkan antara negara dan warga negara. Dilain sisi, yang paling pertama dilindungi [dalam hukum pidana] kepentingan negara, kepentingan masyarakat, kepentingan individu,” ujar Eddy.
Selain itu, menurut Uceng, KUHP lama beserta logikanya selalu menempatkan negara di atas warga negara. Hal ini tak lepas dari konteks KUHP sebagai alat pemerintah kolonial untuk menundukan warga jajahannya.
Ia menilai, pasal-pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam RKUHP menunjukan paradigma kolonial tersebut belum bisa dilepaskan para penyusunnya.
“Dekolonisasi KUHP bukan sekadar mengganti isu tapi juga paradigma di dalamnya,” ujar Uceng.
Berbanding terbalik dari Uceng, Eddy berpendapat, RKUHP yang siap disahkan pemerintah dan DPR merupakan bentuk dekolonisasi dari aturan pemerintah kolonial di KUHP yang berlaku sekarang.
“Karena KUHP sekarang hanya memandang hukum pidana sebagai hukum lex talionis, hukum balas dendam. Artinya yang diutamakan adalah pidana penjara dan orang terhukum memang dikapitalisasi untuk kepentingan kolonial,” ujar Eddy.
Hal itu berbeda dengan konsep pidana dan pemidanaan yang terdapat dalam Buku Satu RKHUP yang meskipun penjara masih menjadi pidana pokok namun bukan yang utama.
“Itu dikatakan hakim wajib menerapkan pidana yang lebih ringan,” kata Eddy.