Pembagian Kursi Parlemen Kurang Proporsional

Kamis, 29 Desember 2022 - 17:39
Bagikan :
Pembagian Kursi Parlemen Kurang Proporsional
Rapat paripurna DPR yang digelar di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/5/2020). [Sumber/kompas]

alfikr.id, Jakarta- Pembagian 290 parlemen untuk masing-masing daerah pemilihan di Pulau Jawa dan luar Jawa dikhawatirkan dapat menimbulkan dikotomi yang bisa merusak proses politik. 

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berharap jumlah kursi di tiap-tiap daerah pemilihan ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk karena dinilai mampu menjamin kesetaraan nilai suara.

Karena itu, Anggota KPU, Idham Holik, mengungkapkan, KPU masih menyusun daerah pemilihan (dapil) bersama empat tim ahli penyusunan dapil, yakni Ramlan Surbakti, Ahsanul Minan, Didik Suproyanto, dan Sidik Pramono. Dalam rapat pertama yang berlangsung pada Senin (26/12/22), tim ahli memberikan pandangan teoretis dan strategis tentang penataan dapil untuk DPR dan DPRD provinsi. Namun, dalam rapat pertama, belum ada keputusan yang diambil.

"Aspek keadilan jumlah penduduk dan wilayah jadi pertimbangan dalam perumusan regulasi teknis penataan daerah pemilihan,” kata Idham di Jakarta, Selasa (27/12/2022) lalu.

Menurut rencana, rancangan dapil yang saat ini disusun oleh KPU akan dipresentasikan secara detail saat rapat konsultasi dengan DPR. KPU juga masih menyelesaikan perumusan regulasi penataan dapil DPR dan DPRD provinsi yang kewenangannya dikembalikan ke KPU.

Menukil dari kompas.id, Mahkamah Konstitusi, telah mengembalikan kewenangan penyusunan dapil dan penentuan alokasi kursi untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD provinsi kepada KPU, pada Selasa, (20/12/22) kemarin.

Sebelumnya, alokasi kursi dan dapil DPR dan DPRD provinsi sudah tertera di lampiran Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang disusun pemerintah bersama DPR.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK memberikan batasan dalam mengevaluasi penerapan prinsip penentuan dapil, KPU tidak hanya sekadar mempertimbangkan tinggi rendahnya ”harga” kursi dari aspek jumlah suara, namun juga mempertimbangkan aspek strategis lainnya.

Seperti, tingginya nilai sebuah kursi yang ditanggung peserta pemilu. Dengan demikian, proporsionalitas kursi dapil, terutama antara dapil di Pulau Jawa dan dapil di Luar Jawa, tetap dapat dijaga secara proporsional.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Nasdem Saan Mustopa mengatakan, KPU hendaknya dilakukan secara menyeluruh dalam penyusunan dapil. 

Hal itu untuk memastikan Saan menambahkan, seluruh dapil yang akan berlaku pada Pemilihan Umum 2024 mengacu pada prinsip-prinsip pembentukan dapil yang diatur dalam UU Pemilu. ”Kalau mau menata dapil tidak usah tanggung-tanggung, tetap mengacu prinsip pembentukan dapil,” ujarnya.

Menurut Saan, pembentukan dapil dan alokasi kursi mesti dilakukan secara proporsional dengan menerapkan prinsip keadilan representasi. Oleh sebab itu, pembagian alokasi kursi mestinya tetap menggunakan sistem kuota berdasarkan jumlah penduduk di setiap provinsi, tanpa membedakan lokasi geografis.

Dengan demikian, penentuan alokasi kursi di dapil tidak perlu membaginya dalam Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Seluruh kursi yang diatur sebanyak 580 kursi hendaknya didistribusi secara profesional ke 38 provinsi dengan tetap mengikuti jumlah minimal tiga kursi di setiap provinsi. Sebab, seluruh penduduk Indonesia di mana pun berada memiliki hak dan suara yang sama.

"Jangan dibuat dikotomi antara dapil Jawa dan luar Jawa karena pada akhirnya bisa masuk dalam proses politik yang tidak sehat. Tetap gunakan sistem kuota, tinggal prinsip representasi diperbaiki,” katanya.

Jika menganut sistem kuota berdasarkan jumlah penduduk, kata Saan, ia memperkirakan wilayah dapil tidak banyak berubah. Hanya kursi di beberapa dapil kemungkinan bergeser, ada yang bertambah dan berkurang, bahkan yang kursinya bertambah bisa menambah dapil baru karena mengikuti ketentuan maksimal 10 kursi di satu dapil.

Selain itu, Wakil Ketua Komisi II DPR Yanuar Prihatin menilai, KPU lebih baik menggunakan dapil dan alokasi kursi yang sudah ada. Ia khawatir jika terlalu memaksakan untuk mengubah dapil hasilnya kurang optimal. Sebab, waktu yang tersisa hingga tahapan pendapilan berakhir pada 9 Februari 2023 sangat pendek. 

"Kalau ada satu dapil yang diubah, akan berdampak pada dapil yang lain. Sementara waktu untuk mendiskusikannya sangat mepet,” tuturnya.

Menurut Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa ini, penyusunan ulang dapil sebaiknya dilakukan setelah Pemilu 2024 usai. Pasalnya, akan ada waktu yang panjang untuk mendiskusikannya dengan berbagai pertimbangan. 

Jika penyusunan dapil kata Yanuar, dilakukan di tengah tahapan yang sedang berlangsung, setiap pihak kemungkinan mengutamakan kepentingan Partai Politik (parpol) dan dapilnya masing-masing. Terlebih, setiap parpol dan bakal calon anggota legislatif sudah mempersiapkan pendapilan sebelum putusan MK keluar.

Kurang proporsional

Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay mengatakan, pembagian kursi idealnya dilakukan berdasarkan jumlah penduduk.

Pembagian yang diawali dengan membedakan dapil di Jawa dan luar Jawa justru bisa menyimpang dan akan melanggengkan situasi yang tidak proporsional karena sudah ada pembeda sejak awal. "Bahkan, pembedaan itu bisa menunjukkan kekuatan parpol yang kuat di Jawa dan luar Jawa," tuturnya.

Namun, dia menambahkan, KPU bisa saja membuat exercise dengan membuat dua model, yakni membagi Jawa dan luar Jawa serta model kuota berdasarkan jumlah penduduk. "Dari situ kelihatan mana yang lebih proporsional,” pungkasnya.

Hadar menghimbau, KPU harus bekerja mandiri dan tidak ada intervensi dari peserta pemilu dalam menyusun dapil. KPU bekerja bersama tim ahli untuk menyusun dapil hingga nantinya masuk proses konsultasi dengan DPR. Hal ini sejalan dengan putusan MK yang menutup ruang dari peserta pemilu dalam penyusunan dapil. ”Baru saat konsultasi di DPR, parpol bisa masuk,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Algoritma Research and Consulting Aditya Perdana mengatakan, pembentukan dapil idealnya dilakukan secara ilmiah, tetapi pada prosesnya tidak bisa dilepaskan oleh kepentingan politik. Sebab, penyusunan ulang dapil berpotensi mengurangi atau menambah jumlah kursi di satu dapil, bahkan bisa mengubah wilayah dapil yang sudah ada karena dilakukan penyesuaian sehingga berdampak pada kepentingan peserta pemilu.

Oleh sebab itu, penyusunan dapil yang kini menjadi kewenangan KPU harus ”dijaga” dari kepentingan-kepentingan politik. Apalagi, ada proses politik yang harus dilalui yakni rapat dengar pendapat dengan DPR untuk menyusun Peraturan KPU tentang pendapilan.

Kondisi tersebut, menurut Aditya, memerlukan independensi dan netralitas dari KPU sebagai pihak yang akan menyusun dapil. Keberadaan tim ahli yang ditunjuk KPU pun memainkan peran penting untuk menjaga penyusunan dapil agar tidak terpengaruh intervensi politik. Mereka menjaga ”tameng” untuk memastikan penyusunan dapil sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam UU.

Dalam konteks tersebut, menurutnya, keberadaan tim ahli penyusunan dapil seharusnya dipertahankan hingga proses pembuatan dapil tuntas. Mereka perlu dilibatkan sejak perancangan dapil, termasuk mengikuti RDP dengan DPR sehingga argumen-argumen ilmiah dalam pendapilan bisa bertahan dari tekanan politik.

”Saran saya, tim ahli tetap mendampingi KPU sampai PKPU pendapilan disahkan sehingga saat berdiskusi dengan DPR atau parpol, mereka bisa memberikan arumen teknis sehingga usulan KPU bisa dipertahankan,” kata Aditya.


Penulis
Abdul Razak
Editor
Zulfikar

Tags :