YLBHI Menilai, Penerbitan Perppu Cipta Kerja Bentuk Pengkhianatan Konstitusi RI

Jum'at, 30 Desember 2022 - 23:29
Bagikan :
YLBHI Menilai, Penerbitan Perppu  Cipta Kerja  Bentuk Pengkhianatan  Konstitusi RI
Sejumlah buruh dan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Menolak (GERAM) melakukan aksi unjuk rasa di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (11/3/2020). Dalam aksinya mereka menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang dinilai mer

alfikr.id, Probolinggo- Pemerintah tiba-tiba mengumumkan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang UU Cipta Kerja yang dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 25 November 2021 melalui Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020 pada, Jumat (30/12/22) tadi.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melalui keterangan tertulisnya menyampaikan jika dalam putusan tersebut, MK memerintahkan pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan. 

Apabila dalam kurun waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen. Selain itu, MK juga memerintahkan Pemerintah untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas.

Di samping itu, MK juga memutukan bahwa menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tidak dibenarkan.

YLBHI menilai penerbitan Perppu ini jelas bentuk pembangkangan, pengkhianatan atau kudeta terhadap Konstitusi RI. Mereka menegaskan bahwa hal itu merupakan gejala yang makin menunjukkan otoritarianisme pemerintahan Joko Widodo. 

"Ini semakin menunjukkan bahwa Presiden tidak menghendaki pembahasan kebijakan yang sangat berdampak pada seluruh kehidupan bangsa," tulisnya. 

Mohammad Isnur, Ketua Umum YLBHI, menambahkan,  kebijakan itu seharusnya dilakukan secara demokratis melalui partisipasi bermakna (meaningful participation) sebagaimana diperintahkan MK.

Presiden, kata Isnur, justru menunjukkan bahwa kekuasaan ada di tangannya sendiri. Presiden seolah tidak memerlukan pembahasan di DPR, tidak perlu mendengarkan dan memberikan kesempatan publik berpartisipasi. 

"Hal ini jelas bagian dari pengkhianatan konstitusi dan melawan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis. Penerbitan Perppu ini jelas tidak memenuhi syarat," tegasnya. 

Secara regulasi penerbitan Perppu dibenarkan bila adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa, kekosongan hukum, dan proses pembuatan tidak bisa dengan proses pembentukan UU seperti biasa. 

UU Cipta Kerja sejak awal sudah ditolak banyak pihak. Isnur melihat seharusnya Presiden mengeluarkan Perppu Pembatalan UU Cipta Kerja sesaat setelah UU Cipta Kerja disahkan. Sial, saat itu Presiden justru meminta masyarakat yang menolak UU Cipta Kerja melakukan judicial review.

"Saat MK memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional, Presiden justru mengakalinya dengan menerbitkan Perppu," katanya.

Zainal Arifin, Ketua Bidang Advokasi menegaskan bahwa perintah MK jelas. Keputusannya tegas yakni pemerintah harus memperbaiki UU Cipta Kerja. “Bukan menerbitkan Perppu,” tegas Zainal. 

"Dampak perang Ukraina-Rusia dan ancaman inflasi dan stagflasi yang membayangi Indonesia adalah alasan yang mengada-ada dan tidak masuk akal dalam penerbitan Perppu ini," imbuhnya. 

Alasan kekosongan hukum, Zainal menambahkan, juga alasan yang tidak berdasar dan justru menunjukkan inkonsistensi. Dia menilai, pemerintah selalu mengklaim UU Cipta Kerja masih berlaku walau MK sudah menyatakan inkonstitusional.

"Penerbitan Perppu UU Cipta Kerja menunjukkan konsistensi ugal-ugalan dalam pembuatan kebijakan demi memfasilitasi kehendak investor dan pemodal," ungkapnya.

Hal ini, kata dia, jelas tampak dari pernyataan pemerintah saat konferensi pers bahwa penerbitan Perppu ini merupakan kebutuhan kepastian hukum bagi pengusaha. Bukan untuk kepentingan rakyat keseluruhan. 

"Penerbitan Perppu ini semakin melengkapi ugal-ugalan pemerintah dalam membuat kebijakan seperti UU Minerba, UU IKN, UU Omnibus Law Cipta Kerja, Revisi UU KPK yang melemahkan, Revisi UU Mahkamah Konstitusi, UU KUHP, dan kebijakan-kebijakan lain," katanya dalam rilis yang dikeluarkan YLBHI.

Selain itu, Penerbitan Perppu di ujung tahun, juga menunjukkan bahwa Presiden tidak menghendaki ada reaksi dan tekanan dari masyarakat dalam bentuk demonstrasi dan lainnya, karena mengetahui warga dan masyarakat sedang dalam liburan akhir tahun.

Maka, atas penerbitan Perppu tersebut YLBHI menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Mengecam penerbitan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja

2. Menuntut Presiden melaksanakan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 dengan melakukan perbaikan UU Cipta Kerja dengan syarat-syarat yang diperintahkan MK

3. Menarik kembali Perppu No. 2 Tahun 2022

4. Menyudahi kudeta dan pembangkangan terhadap Konstitusi

5. Mengembalikan semua pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan Prinsip Konstitusi, Negara Hukum yang demokratis, dan Hak Asasi Manusia.

Penulis
Abdul Razak
Editor
Adi Purnomo S

Tags :