Prahara di Atas Tanah Pakel

Minggu, 22 Januari 2023 - 22:45
Bagikan :
Prahara di Atas Tanah Pakel
Warga Pakel Banyuwangi saat berjuang merebut lahannya [alfikr/Abdul Haq]

alfikr.id, Banyuwangi- Akta berjudul ‘Soerat Idjin Memboeka Tanah’ itu masih terbaca jelas. Dokumen yang diterbitkan tahun 1929 tersebut berisi perijinan membuka tanah untuk warga Pakel yang dikeluarkan oleh Asisten Residen/Bupati Banyuwangi. “Lahan seluas 4000 bahu yang tertuang dalam akta 1929 itu diperuntukkan untuk warga yang diwakilkan oleh tujuh orang,” ungkap salah satu tokoh Masyarakat Pakel, Suwarno.

96 tahun lalu, perjuangan warga telah dimulai. Mewakili 2956 warga, Doelgani, Karso, Senen (Desa Sumberejo Pakel), Ngalimun (Desa Gombolirang), Martosengari, Radjie, dan Etek (Desa Jajag) mengajukan permohonan pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran yang terletak di Desa Pakel kepada pemerintah kolonial Belanda. “Permohonan itu tahun 1925,” imbuh Suwarno. 

Empat tahun berselang, permohonan warga dikabulkan. Bermodal akta yang dikeluarkan pada tanggal 11 Januari 1929, warga mulai membuka hutan sekitar 300 bahu dari total perizinan seluas 4000 bahu selama tiga bulan pasca terbitnya izin. Namun, dalam perjalanannya, akta pembukaan lahan itu tidak sampai kepada Doelgani cs. Pasalnya, dirampas oleh Asisten Wedono Kabat. 

Perampasan itu, membuat Doelgani Cs menghadap Asisten Wedono dan berhasil mendapatkan kembali surat izin tersebut. Pembukaan hutan pun kembali dilanjutkan oleh warga. Sial, perjuangan warga menemui hambatan. Asisten Wedono Kabat yang baru beserta petinggi Desa Sumberejo Pakel datang menghampiri dan menghalang-halangi pembabatan. Peristiwa itu sempat berujung kasus pengikatan tangan warga. Tak lama setelah itu, 170 warga termasuk Doelgani cs ditangkap dengan tuduhan aksi berbau komunis. 

Seiring berjalannya waktu, estafet perjuangan kembali dilanjutkan. Di awal kemerdekaan, Doelgani cs kembali mengajukan permohonan baru untuk bercocok tanam di hutan Sengkan Kandang dan Keseran kepada Bupati Banyuwangi. Akan tetapi, surat itu tak kunjung mendapatkan jawaban hingga tahun 1960-an. Tanpa diduga akhir September 1965 meletus tragedi kemanusiaan.

Imbasnya, perjuangan warga meredup. Stigma anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) kerap kali diterima oleh mereka yang menuntut hak atas tanah. Kejadian itu membuat warga tak berani menduduki lahan meski telah mendapat hak kelola hutan dalam Akta 1929. “Dulu warga banyak yang takut karena saat itu  ramai PKI zaman Orde Baru itu,” ungkap Suwarno pada AL-FIKR saat ditemui di rumahnya.

Dalam situasi itu, diam-diam perusahaan perkebunan PT. Bumi Sari mengklaim lahan hak warga Sumberejo Pakel yang tertulis dalam akta 1929. Padahal, dalam Surat Keterangan (SK)  yang diterbitkan oleh Kementrian Dalam Negeri, Nomor SK.35/HGU/DA/85 tentang Hak Guna Usaha (HGU) jelas disebutkan jika PT. Bumi Sari tidak memiliki HGU di Desa Pakel. PT Bumi Sari hanya mengantongi HGU di Songgon dan Kluncing. 

Buntunya perjuangan warga kembali menemukan jalan keluar di tahun 1993. Suwarno mengatakan saat itu warga masuk di kawasan Perhutani. Selang beberapa tahun, intimidasi dialami warga Pakel. Stigma desa janda menjadi buntut dari tragedi penangkapan pria dewasa Pakel di tahun 1999. (Baca: Tujuh Belasan Di Balik Hutan)  

Perjuangan warga merebut haknya bukan tanpa dasar. PerwakilanTim Advokasi Gerakan Rakyat untuk Daulat Agraria (Tekad Garuda) mengatakan, akta  1929 menjadi salah satu bukti penguat warga yang sah secara hukum. “Dasar hukum warga dalam kasus ini adalah Acta Van Verwizing. Itu masih berlaku. Ketika kita berpijak pada UU Pokok Agraria, harusnya itu segera disertifikasikan,” jelas Heri Kurniawan.

 Di samping itu, lanjutnya, keberadaan Surat Keputusan (SK) Bupati Banyuwangi Nomor:188/402/KEP/429.011/2015 tentang Berita Tapal Batas (BATB) yang kemudian diperkuat dengan SK Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Banyuwangi yang menegaskan bahwa Pakel tidak termasuk dalam HGU PT Bumi Sari juga menjadi dasar hukum perjuangan warga. 

Dari data tersebut, ia menilai sebenarnya PT Bumi Sari telah melakukan tindak pidana penyerobotan terhadap lahan yang harusnya merupakan hak warga. “Karena mereka tidak punya dasar apapun untuk menguasai wilayah Pakel,” imbuh pria yang akrab disapa Wawa. 

Kepala Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Banyuwangi, Darmagalih Widihasta menganggap konflik yang terjadi di Desa Pakel merupakan konflik Perhutanan. “Bukan dengan PT. Bumisari,” ujarnya. Ketika disinggung soal surat yang dikeluarkan BPN tanggal 14 Februari 2018, ia membenarkan. “BPN pernah mengeluarkan HGU PT Bumi Sari namun lokasinya tidak terletak di Pakel,” tegasnya saat ditemui di kantornya.

PT Bumi Sari adalah perusahaan perkebunan swasta yang memiliki konsesi lahan di wilayah Songgon dan Kluncing. Perusahaan yang menanam komoditas kopi, cengkeh, dan kakao ini dimiliki oleh Djohan Sugondo. Pihak PT Bumi Sari tak merespon pelbagai upaya konfirmasi yang diajukan AL-FIKR.  

Klaim perusahaan terhadap lahan Pakel tidak hanya dilakukan oleh PT Bumi Sari. Dilansir dari Indoprogress.com, catatan Wahyu Eka Setyawan menyebutkan bahwa perusahaan perkebunan milik negara, Perhutani KPH Banyuwangi Barat juga menguasai lahan di wilayah Pakel seluas 716,5 ha dari total luas lahan desa Pakel seluas 1.309,7 ha. Selain itu, PT Bumi Sari juga mengklaim menguasai 271,6 ha. Sedangkan warga Pakel hanya berhak mengelola 321,6 ha dengan jumlah penduduk kurang lebih 2.760 jiwa. 

Kepala Sub Seksi (KSS) Perhutani KPH Banyuwangi Barat, Nova Alexsandra melihat konflik yang terjadi di Pakel merupakan alat politik untuk meraup suara. “Sejak awal reformasi memang sering dimanfaatkan sebagai alat politik. Warga diiming-imingi bahwa ini (lahan, red) bisa dihak miliki,” ungkapnya. 

Padahal, kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, menurutnya, harus dipertahankan keberadaannya. Nova juga menjelaskan jika memang warga meminta untuk mengelola lahan yang masuk dalam kawasan Perhutani bisa menggunakan sistem tukar guling. Pengelolaan hutan telah diatur dalam PP Nomor 72 tahun 2010, sehingga, Nova melanjutkan, Perhutani hanya menjalankan tugas untuk mengelola hutan di Jawa dan Madura. 

Namun, bagi Wawa, jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, warga Pakel sebenarnya berhak menguasai dan mengelola lahan perhutanan ataupun perkebunan yang berada di sekitar mereka. “Tapi kenyataannya sampai hari ini mereka tidak bisa mengelola,” jelasnya.

Padahal, jika merujuk pada UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria disebutkan bahwa ada sistem reforma agraria. Wawa menjelaskan, petani-petani di Indonesia sebagian besar merupakan petani tak bertanah termasuk yang dialami petani Pakel (Lihat: Infografis). Sementara itu lahan di Indonesia justru dikuasai oleh perusahaan perkebunan dan tambang. 

Hal itu diamini oleh Kepala Desa Pakel, Mulyadi. Ia mengatakan, profesi mayoritas warga Pakel adalah buruh tani. Sedangkan lahan pertanian hanya dimiliki oleh segelintir orang itupun tak sampai satu hektar. “Kalau lahan untuk pertanian itu rata rata tidak punya (lahan, red). Dikuasai (perkebunan, red) semua,” kata Mulyadi. 

Keberadaan PT Bumi Sari dan Perhutani juga dirasa tidak berpengaruh terhadap ekomomi warga. Menurut Mulyadi, sebelum recklaiming dilakukan oleh warga, untuk bekerja di PT Bumi Sari cukup susah bahkan kerap kali memberhentikan warga yang telah menjadi buruh perkebunan. “Dulu bilangnya gak ada kerjaan. Setelah pendudukan oleh warga, baru (Bumi Sari, red) banyak merekrut tenaga,” imbuhnya. 

Kondisi tersebut telah lama dirasakan oleh warga Pakel. Hidup di tengah melimpahnya sumber daya alam tak merubah apapun. Kesulitan akses warga terhadap hutan, membuat Mulyadi merasa kasihan. Ia berharap, pemerintah daerah untuk turun tangan dan menyelesaikan konflik yang telah berlarut. “Lebih memikirkan kesejahteraan masyarakat,” harapnya

 “Dulunya kehidupan kami sejahtera, lahan juga ada yang mau digarap bahkan cukup untuk menghidupi keluarganya, cukup untuk menyekolahkan anaknya, bahkan tidak ada yang bekerja keluar, justru kami mendatangkan pekerja dari luar. Tapi sekarang, kehidupan kami melarat sehingga banyak yang merantau keluar kota,” lanjutnya.

Ficky Septa Linda anggota Komisi 1 DPRD Banyuwangi menuturkan, jika urusan tanah harus kembali ke data. Ia berdalih bahwa pemerintah bukan Lembaga peradilan. “Saya rasa posisi kita ini hanya bisa mengawal,” tandasnya tanpa menjelaskan pola pengawalan yang dimaksud. 

Jika masyarakat memiliki bukti otentik dan sejarah yang kuat, Ficky menyarankan untuk diselesaikan melalui jalur hukum. Pasalnya, klaim PT Bumi Sari dengan HGU, menurutnya, juga mesti diuji. “Jika ingin membuktikan kebenaran keduanya maka harus buktikan dengan datang ke pengadilan, itu akan lebih baik dan lebih jelas,” ujarnya. 

Anggota Fraksi PDIP ini mengatakan, kesejahteraan dan kehidupan masyarakat seharusnya dipikirkan oleh perusahaan, baik swasta maupun negeri. Misalkan, ada lahan dikuasai oleh perkebunan, lanjutnya, tetapi masyarakat tidak mendapatkan dampak positif. “Harusnya kan dapat. Apa? Yaitu pengelolaan,” tegasnya. 

Sumber: Majalah ALFIKR edisi 34 

Penulis: Abdur Razak 

Penulis
Abdul Razak
Editor
Badrul Nurul Hisyam

Tags :