Kasus Fendy Sesupi Warnai Peringatan HAM di Kalbar
Sabtu, 13 Desember 2025 - 18:03
alfikr.id, Pontianak- Peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia di Kalimantan Barat (Kalbar) diwarnai sorotan tajam terhadap penegakan hukum dan perlindungan hak masyarakat adat. Hal ini menyusul upaya penjemputan paksa terhadap pejuang lingkungan sekaligus tokoh adat Dayak Kualan Hulu, Tarsisius Fendy Sesupi, pada 9 Desember 2025.
Fendy didatangi aparat kepolisian tidak berseragam saat berada di kantor Lingkaran Advokasi dan Riset Borneo (Link-AR Borneo). Ia ditetapkan sebagai tersangka dalam dengan tuduhan pemerasan. Upaya penjemputan tersebut urung setelah melalui pembicaraan panjang. Meski demikian, Fendy tetap dijadwalkan memenuhi panggilan pemeriksaan di Polres Ketapang pada 15 Desember 2025.
Kasus yang menjerat Fendy berakar dari konflik antara masyarakat adat Dayak Kualan Hilir dengan PT Mayawan Persada (MP), perusahaan pemegang konsesi hutan tanaman industri di Kabupaten Ketapang, Kalbar. Perusahaan tersebut selama beberapa tahun terakhir kerap disorot akibat deforestasi dan konflik lahan dengan warga.
Ketegangan memuncak setalah delapan lumbung padi dan satu pondok kebun milik warga Dusun Lelayang terbakar pada September 2022. Warga menduga peristiwa tersebut berkaitan dengan aktivitas perusahaan. Pada 03 Desember 2023, masyarakat kemudian mendatangi kantor Estate Kualan PT MP untuk menuntut pertanggungjawaban.
Dalam dialog tersebut, perusahaan menyepakati penyelesaian melalui mekanisme hukum adat Dayak berupa ritual “batang adat”. Dana sebesar Rp16 juta ditransfer ke rekening Fendy selaku koordinator aksi untuk kebutuhan pelaksanaan upacara adat yang disepakati bersama itu.
Namun, saat waktu pelaksanaan upacara tiba, pihak perusahaan tidak hadir. Tidak lama setelah itu, justru Fendy menerima surat panggilan dari kepolisian terkait dugaan pemerasan, hingga namanya tercantum dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
Menukil dari insidepontianak.com, Fendy menyampaikan bahwa dana tersebut tidak digunakan untuk kepentingan pribadi, melainkan seluruhnya dialokasikan untuk keperluan ritual adat sesuai kesepakatan bersama. Ia mengklaim memiliki bukti penggunaan dana tersebut.
“Uang itu untuk ritual adat. Bukti lengkap,” katanya. Rabu (10/12/25).
Sebagai Temenggung Dusun Lelayang, Fendy menyatakan tetap memenuhi panggilan kepolisian meski menghadapi tekanan hukum. Ia menilai perjuangan mempertahankan wilayah adat sebagai tanggung jawab lintas generasi.
“Kalau saya diam, anak-anak kami nanti hidup di tanah yang tidak lagi menjadi milik mereka,” ucapnya.
Pengamat hukum Kalbar, Herman Hofi Munawar, menilai perkara yang menimpa Fendy mencerminkan pola kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang memperjuangkan hak atas wilayahnya. Menurutnya, praktik semacam ini kerap terjadi ketika kepentingan bisnis berhadapan dengan perlawanan warga.
Herman mendorong aparat penegak hukum untuk menghentikan proses hukum terhadap masyarakat adat yang mempertahankan hak wilayahnya. Ia juga menegaskan perlunya tindakan tegas dari pemerintah apabila perusahaan terbukti melakukan pelanggaran HAM.
“Jika terbukti perusahaan melanggar HAM dan hak adat, konsesi harus dicabut,” ujarnya.
Sementara itu, pihak PT MP memberikan klarifikasi. Kepala Hubungan Masyarakat PT MP, Yohanes Supriadi, menyatakan bahwa pelaporan terhadap Fendy berkaitan dengan dugaan tindak pidana dan tidak terkait upaya pembungkaman gerakan warga.
Ia menegaskan bahwa status hukum Fendy ditetapkan oleh aparat penegak hukum berdasarkan laporan yang diajukan perusahaan. “Perkara ini merupakan proses hukum pidana murni dan telah ditangani sesuai ketentuan,” ucap Yohanes, mengutip dari suarakalbar.co.id. Kamis (11/12/25).