Dampak Kerusakan Ekologi di Madura Kepulauan Dirasakan oleh Nelayan Tradisional Lokal

Rabu, 25 Januari 2023 - 16:35
Bagikan :
Dampak Kerusakan Ekologi di Madura Kepulauan Dirasakan oleh Nelayan Tradisional Lokal
Sumur eksplorasi ENC-02 di Desa Tanjung, Kecamatan Saronggi, Sumenep. (Foto: Humas PT EML)

alfikr.id, Sumenep- "Kehadiran industri migas, dan berbagai industri
ekstraktif lainnya ini turut memicu sejumlah persoalan penting di wilayah pesisir Madura
Kepulauan," tulis M. Afandi dalam buku 'catatan kolaborasi di 7 wilayah krisis  Jawa Timur sepanjang 2022' oleh Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Timur (Jatim).

Pasalnya, Selama dua dekade terakhir, hampir seluruh wilayah pesisir Madura Kepulauan telah dikapling secara sepihak (tanpa pernah mendapatkan persetujuan dari masyarakat setempat) menjadi puluhan provinsi geologi dalam bentuk blok-blok minyak
dan gas (migas) berukuran raksasa.

Sehingga, sebagian besar berdampak langsung terhadap kelompok nelayan tradisional, WALHI Jawa Timur pada tahun 2021 juga mencatat sejumlah temuan terbaru di wilayah daratan besar Pulau Madura, khususnya di Sumenep.

Di wilayah pesisir utara Sumenep, misalnya, beberapa narasumber yang ditemui oleh WALHI Jatim mengatakan bahwa, telah terjadi penurunan pasir kering hingga 2 meter di kawasan pesisir pada rentang waktu 20 tahun terakhir. " Itu memicu lenyapnya wilayah daratan pesisir hingga 150 meter," terangnya.

Selian itu, dampak lain juga dirasakan warga setempat yaitu, untuk mendapatkan hasil tangkapan yang mencukupi, nelayan tradisional setempat mengatakan bahwa mereka kini harus melaut hingga 70-100 mil dari desa.

"Akibatnya, tidak sedikit nelayan tradisional terpaksa meninggalkan profesi mereka, dan beralih menjadi buruh maupun pedagang di luar Pulau Madura, hingga menjadi buruh migran di berbagai negara," katanya.

Dampak tersebut diafirmasi oleh salah satu warga Ambunten, Kabupaten Sumenep yang tidak disebutkan namanya, dia menyampaikan jika dulu di desa itu ada 200 perahu nelayan yang beroperasi pertahunnya dengan masing-masing perahu 7 orang awak. "Namun, saat ini hanya tersisa 30-an perahu yang masih bertahan,” ungkapnya.

Selain itu perusakan terhadap mangrov juga menjadi penyebab dari kerusakan ekologi yang terjadi. Imranto, Kepala Seksi Pencegahan Pencemaran dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan Hidup, Dinas Lingkungan Hidup Sumenep, menyayangkan, perilaku tak bertanggung jawab merusak mangrove padahal dampak sosial dan ekologi lebih besar daripada ekonomi bagi masyarakat.

"Aturan mengenai perusakan lingkungan hidup ini termasuk bagi perusak mangrove sudah jelas. Hanya di negara ini penegakan hukum masih lemah," tegasnya dilansir dari Mongabay.co.id.

Imranto menambahkan, dalam enam tahun terakhir, kerusakan mangrove sekitar tiga hektar pertahun. Karena itu, pemahaman kepada konsep pembangunan berkelanjutan itu tak ada.

"Jadi, mereka hanya melihat dari sisi ekonomi, begitu menebang mangrove mikirnya hanya dari sisi ekonomi,” katanya.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mangrove kritis di Madura, pada 2018, seluas 9. 179 hektar, baik kawasan hutan maupun luar kawasan.

Rincian dari di atas ialah, Sumenep, bukan kawasan hutan 2.731 hektar dan kawasan 708 hektar; Pamekasan luar kawasan 950 hektar, dalam kawasan 767 hektar. Kemudian, Sampang, luar kawasan 459 hektar dan dalam kawasan 355 hektar, dan Bangkalan luar kawasan 639 hektar dan dalam kawasan 2.661 hektar.

Padahal, biodata laut yang bisa dimanfaatkan masyarakat di sekitar hutan mangrove adalah kerang, kepiting mangrove, ikan-ikan. Fungsi lain, mangrove mampu membendung ombak dan mencegah abrasi.

Asmuye, warga setempat membangun gubuk di pesisir pantai. Dia suka rela menjaga pantai, memperbaiki sengkedan rusak terhantam ombak.

Menurunya, di sana tak pernah ada penanam mangrove. Dia senang ada orang peduli terhadap laut, menanam mangrove di pantai itu.

"Iya seperti kata orang tua dulu, (mangrove,red) sebagai penangkis air. Jalannya air tersendat, bisa menghambat abrasi,” pungkasnya.

Penulis
Abdul Razak
Editor
Badrul Nurul Hisyam

Tags :