3 Agenda Pembahasan PBNU pada Muktamar Internasional Fiqih Peradaban di Surabaya

Kamis, 26 Januari 2023 - 02:53
Bagikan :
3 Agenda Pembahasan PBNU pada Muktamar Internasional Fiqih Peradaban di Surabaya
Logo Muktamar Internasional Fiqih Peradaban. [Foto/NU Online]

alfikr.id, Jakarta- Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akan menggelar Muktamar Internasional Fiqih Peradaban pada Senin (6/2/2023) di Surabaya, Jawa Timur. Acara ini merupakan puncak dari rangkaian pada Halaqoh Fiqih Peradaban yang telah digelar secara berturut-turut pelbagai wilayah di Indonesia sejak Agustus 2022 hingga pertengahan Januari 2023 pekan lalu.

Menurut Ahmad Syarif Munawi, selaku Panitia Pelaksana Muktamar Internasional Fiqih Peradaban, kegiatan ini akan membahas tentang pentingnya melahirkan terobosan baru terkait fiqih di tengah realitas saat ini yang juga serba baru.

“Ini mau menegaskan kepada dunia internasional tentang pentingnya melahirkan fiqih baru beserta usul fiqihnya,” katanya kepada NU Online pada Rabu (25/1/2023).

Kata Ahmad Syarif Munawi, terdapat tiga pembahasan yang nanti akan dibahas dalam forum tersebut. Pertama, para ulama akan membahas tentang pandangan fiqih baru tentang relasi hukum fiqih dengan bentuk negara bangsa modern.

“Ini kelanjutan dari beberapa hal yang sudah diputuskan pada periode sebelumnya. Seperti Munas tahun 2019 di Banjar yang membahas istilah kafir agar tidak digunakan dalam kehidupan berbangsa negara dan melahirkan istilah fiqih baru, yaitu muwathin, warga negara. Bukan lagi identitas berdasarkan sentimen keagamaan, terlepas dari apapun agamanya,” terangnya.

Forum itu bukan hanya membahas pandangan fiqih baru tentang relasi hukum fiqih. Namun, dalam pembahsan pertama ini juga akan membahas perihal reformulasi pandangan fiqih terkait hasil konsep negara bangsa modern. Contohnya, Pancasila yang disahkan sebagai ideologi dan dasar negara.

“Negara bangsa adalah bentuk baru yang harus dicarikan legalitas hukum keagamaannya dalam fiqih baru,” kata Wakil Sekretaris Jenderal PBNU itu.

Pembahasan yang kedua yaitu tentang pola hubungan Muslim dengan non-Muslim. Dahulu, kebannyakan narasi yang muncul pasti tentang permusuhan dan persinggungan. Oleh karena itu, pandangan hubungan social keduanya perlu direkontekstualisasi ulang agar hidup bersama dalam satu peradaban besar dunia bisa tercapai.

“Ini kita mencari jalan agar kita sama-sama, tidak lagi ada narasi-narasi yang sifatnya mengarah pada kebencian terhadap orang-orang yang berbeda dengan kita,” ucapnya.

Ketiga, tentang Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menjadi salah satu kunci kesepakatan dalam menghentikan Perang Dunia ke-II. Piagam PBB tersebut menjadi rujukan otoritatif dan sesuai dengan syariat Islam.

“PBB itu organisasi besar. Apakah keputusan dan produk-produk hukum yang dikeluarkannya bisa jadi acuan yang sah rujukan hukum syariat Islam? Ini yang nanti akan dibicarakan oleh para ulama yang hadir,” pungkasnya.

Sumber: NU Online

Penulis
Adi Purnomo S
Editor
Zulfikar

Tags :