Ketidakadilan bagi Perempuan Penyandang Disabilitas
Senin, 30 Januari 2023 - 20:56“Saya ingin menunjukkan, ketika mereka bekerja, saya juga bekerja dan ketika mereka sekolah, saya juga sekolah.”
alfikr.id, Probolinggo - Sepenggal kalimat di atas diucapkan oleh
Eka Wulandari (33) kepada ALFIKR saat diwawancarai tahun lalu. Kisah Eka hanya
salah satu kasus yang terjadi di Indonesia. Masih banyak perempuan penyandang
disabilitas di luar sana yang mengalami diskriminasi, pelecehan, kekerasan, dan
stigmatisasi.
Dilansir dari detik.com, kasus menyedihkan terjadi
pada seorang anak perempuan difabel di Blora, Jawa Tengah yang disetubuhi ayah
kandungnya (62) selama bertahun-tahun. Korban bahkan tiga kali hamil dan dua
kali melahirkan akibat perbuatan bejat itu. Dari tiga kali hamil tersebut, satu
di antaranya keguguran. Sedangkan anak pertamanya lahir selamat, namun
meninggal saat bayi. Terakhir, korban kembali hamil dan melahirkan pada Januari
2023 ini.
“Sebenarnya tahu sejak awal. Tapi dibilang
jangan sampai diomong ke orang-orang. Kalau (korban) disayang-sayang, tapi
kalau saya dibentak-bentak. Selalu dimarahi bahkan diancam akan dibacok juga,”
terang ibu korban.
Tak hanya itu, kasus lain juga terjadi pada
perempuan penyandang tunawicara yang ingin melaporkan pelecehan seksual yang
dia alami. Namun mengalami keterbatasan karena di kantor polisi tidak tersedia
juru bahasa isyarat, sehingga penerimaan laporan menjadi terhambat.
Kasus di atas diperkuat oleh data Komnas
Perempuan sepanjang tahun 2008-2020 yang mengeluarkan catatan merah terkait
tingginya angka korban kekerasan seksual di Indonesia. Berdasarkan catatannya, kekerasan
terhadap perempuan dewasa meningkat lebih dari 700%, korban kekerasan anak
perempuan meningkat 65%, kekerasan seksual online naik 300%, dan
kelompok gangguan (disabilitas intelektual) melonjak hingga 47?lam kurun 1
(satu) tahun dari 2019-2020.
Menurut Komisioner Komnas Perempuan
Alimatul Qibtiyah, data CATAHU Komnas Perempaun memperlihatkan kenaikan 83%
kasus Kekerasan Berbasis Gender Seksual (KBGS) dari tahun 2020 sebanyak 940
kasus menjadi 1.721 kasus pada 2021. Penerima laporan KBGS terbanyak ada di
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Women Crisis Center (WCC) yakni sebanyak
170 kasus, Dinas Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak (DP3A) dan Pusat
Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) sebanyak 22 kasus,
serta Pengadilan Negeri 13 kasus.
Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan
Bahrul Fuad juga menyampaikan bahwa, perempuan dengan disabilitas
mengalami diskriminasi yang berlapis sebagai perempuan sekaligus sebagai
disabilitas.
“Kondisi ini membuat perempuan dengan
disabilitas tidak mendapatkan akses informasi dan layanan kesehatan yang baik,
bahkan banyak dari mereka yang disembunyikan oleh keluarganya,” dilansir dari
website Komnasperempuan.go.id.
Dia melanjutkan, kekerasan terhadap
perempuan disabilitas dipengaruhi oleh nilai patriarki, bahwa perempuan ideal
adalah perempuan yang cantik, tinggi, bisa masak, bisa melayani suami dan
merawat anak dengan baik. Sialnya, streotip atau pelabelan semacam ini, kata
Bahrul Fuad, tidak berlaku kepada perempuan penyandang disabilitas.
Meskipun pemerintah Indonesia telah berkomitmen
mewujudkan pembangunan yang inklusif, namun pemenuhan hak perempuan penyandang
disabilitas masih menjadi problem. Misalnya pada persoalan data penyandang
disabilitas, menurut Ketua Komisi Nasional Disabilitas (KND) Dante Rigmalia, Indonesia
masih belum memiliki data akurat tentang perempuan disabilitas.
“Selain itu, perempuan penyandang
disabilitas secara statistik lebih rentan mengalami kekerasan, pelecehan,
diskriminasi, dan isolasi. Selain mendapatkan stigma dari masyarakat, perempuan
disabilitas juga mengalami hambatan dalam pemenuhan pelayanan kesehatan dan
pendidikan,” kata Dante saat webinar “KSLxChange41: Mendobrak Bias dan
Mewujudkan Kesetaraan Gender” pada (8/2/2022).
Isolasi: bentuk kekerasan pada perempuan disabilitas
Ruang isolasi seperti panti rehabilitas dan
rumah sakit jiwa merupakan tempat penyiksaan berbasis gender bagi perempuan
disabilitas. Komnas Perempuan menyebut ruang layanan kesehatan mental dengan
mengisolasi terlihat sebagai “tempat-tempat serupa tahanan.” Di antaranya:
terjadi isolasi dari masyarakat, pengurungan, penghukuman dengan isolasi di sel
khusus bila melakukan kesalahan. Terlebih keluarga dan lingkungan komunitas
terdekat merupakan hambatan besar dalam pemulihan perempuan penyandang
disabiitas khususnya psikososial. Antara lain meninggalkan mereka di panti-panti
rehabilitasi.
Sialnya, dari pantauan Komnas Perempuan
juga menemukan terdapat perempuan disabilitas psikososial telah mampu
beradaptasi secara sosial, terpaksa masih menetap seumur hidup di panti-panti
rehabilitasi karena keluarganya mengabaikan mereka dan ditambah pihak panti
kehilangan kontak keluarga.
Sebagai seorang penyintas, mereka—perempuan penyandang disabilitas psikososial—menjadi seorang tanpa keluarga sekaligus kehilangan sebagian sejarah hidupnya. Dia juga kehilangan peluang masa depan yang lebih baik khususnya mengembangkan diri, berkeluarga, bekerja dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial.
Dikutip dari Majalah ALFIKR edisi 34
berjudul “Alarm di Pesisir Probolinggo”, Rainy Hutabarat Komisioner Komnas
Perempuan (2020-2024) sekaligus Pengampu Tim Kajian Disabilitas Komnas
Perempuan, menyampaikan bahwa banyak perempuan disabilitas di Indonesia hidup
dalam keluarga miskin. Faktor kemiskinan akan berdampak pada pola pengasuhan
dan pendidikan. Misalnya saja, banyak perempuan disabilitas psikososial di
pedesaan atau pelosok yang dipasung dengan kondisi terlantar, tanpa pengobatan
atau perawatan.
“Kondisi ini terkait dengan pandangan
keluarga bahwa disabilitas merupakan aib, gangguan bagi masyarakat sekitar, dan
hidupnya ‘sudah selesai’ tak punya masa depan,” tuturnya di Majalah ALFIKR.
Selain itu, menurut Rainy Hutabarat, data
pilah kependudukan berdasarkan jenis, kondisi disabilitas dan jenis kelamin
juga sulit diperoleh. Di tingkat kabupaten atau kota pun, data terpilah
tersebut belum tersedia. Padahal, advokasi hak-hak penyandang disabilitas
membutuhkan basis data terutama berdasarkan kajian. Upaya mencari data terpilah
juga menjadi ruang advokasi saat melakukan penelitian.
Minimnya akses pendidikan
Ketersediaan akses pendidikan bagi
penyandang disabilitas terutama perempuan masih menjadi persoalan yang belum
tertuntaskan. Pendidikan inklusif pun bagi penyandang disabilitas masih jauh
dari harapan. Seperti yang disampaikan oleh Ketua Umum Perkumpulan Penyandang
Disabilitas Indonesia, Gufroni Sakaril, tantangan utama di segi pendidikan
adalah tingkat partisipasi sekolah yang masih rendah.
“Tingkat partisipasi sekolah penyandang
disabilitas yang rendah ini menjadi persoalan bagi bangsa kita. Kalau mereka
tidak mendapatkan pendidikan yang baik, maka tentu saja ke depannya akan sangat
sulit bagi mereka untuk bisa mandiri dan mendapat pekerjaan,” ujar Gugroni
dalam diskusi Peringatan Hari Penyandang Disabilitas Internasioanl pada Rabu (1/12/2021).
Dikutip dari laporan BPS, bahwa
penelantaran pendidikan bagi perempuan penyandang disabilitas kerap terjadi.
Tercatat pada tahun 2020 sebanyak 20,51% penyandang disabilitas tidak pernah
mengenyam pendidikan. 29,35% tidak tamat Sekolah Dasar (SD) dan 26,32% tamat
SD. Sementara sebesar 9,97% pernah mengenyam SMP, dan SMA 10,47%, serta
Perguruan Tinggi sebanyak 3,38%.
Menurut liputan di Majalah ALFIKR di Rubrik
An-nisa berjudul “Kerentanan Berlapis Perempuan Penyandang Disabilitas”,
penyebab penelantaran tersebut antara lain, pertama, keluarga kurang
memahami bagaimana mengasuh anak dengan disabilitas; kedua, kondisi
ekonomi keluarga yang sulit; ketiga, akses pendidikan inklusi tidak
tersedia di lingkungan terdekat; keempat, masyarakat masih tergolong
tidak ramah terhadap perempuan disabilitas dan menstigma sebagai gangguan bagi
lingkungan.
Ketimpangan akses pekerjaan
Kesetaraan dan kesempatan bekerja bagi penyandang
disabilitas perempuan masih menjadi persoalan di Indonesia, jumlah pekerja
perempuan disabilitas yang bekerja sebagai buruh masih tergolong minim.
Rendahnya partisipasi pekerja perempuan penyandang disabilitas, kata Hindun
Anisah, seringkali dikaitkan dengan pendidikan, keahlian, dan kurangnya
literasi digital. Buntutnya, ketimpangan antara pekerja perempuan dan laki-laki
penyandang disabilitas semakin berjarak.
“Masih ada jarak antara penyandang
disabilitas laki-laki dan perempuan di dunia kerja. Partisipasi perempuan
penyandang disabilitas ternyata masih rendah dibandingkan laki-laki,” kata Staf
Khusus Menteri Ketenagakerjaan, Hindun Anisah pada (8/3/2022).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per
Agustus 2021, menunjukkan bahwa penduduk usia kerja penyangga disabilitas
sejumlah 16,94 juta orang. Proporsi jumlah perempuan disabilitas lebih besar
daripada laki-laki yaitu 9,32 juta atau 55%. Sementara penyandang disabilitas
laki-laki usia kerja berjumlah 7,62 juta atau 45%.
Data di atas menunjukkan bahwa penyandang
disabilitas yang bekerja hanya 7,04 juta orang saja. Menurut BPS 2021, jumlah
perempuan disabilitas pekerja hanya 42,7% atau 3,1 juta orang. Sementara
laki-laki sebesar 57,3% atau sekitar 4,29 juta orang. Data itu memperlihatkan
bahwa perempuan penyandang disabilitas sebagai pekerja lebih sedikit daripada
laki-laki, padahal jumlah perempuan disabilitas lebih besar.
Country Director International Labor
Organization (ILO), Michiko Miyamoto juga mengamini data di atas. Kata dia,
secara global dan juga di Indonesia, partisipasi penyandang disabilitas
perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.
“Jadi secara global, kita memiliki
partisipasi penyandang disabilitas perempuan 40% dibandingkan dengan laki-laki
72%. Jadi kita terus-menerus memiliki selisih antara 20% hingga 25%,” kata
Michiko.
Problem hukum penyandang disabilitas
Di dalam Konvensi Hak-hak Penyandang
Disabilitas CRPD (Convention on the Rights of Person With Disabilities) Pasal
5 menyebutkan “Negara menjamin kesetaraan perlindungan hukum bagi setiap orang
dan melarang segala bentuk diskriminasi atas dasar disabilitas.” Di dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (Undang-Undang
Disabilitas) juga menyebutkan bahwa “hak keadilan dan perlindungan hukum untuk
penyandang disabilitas meliputi hak atas perlindungan dan segala tekanan,
kekerasan, penganiayaan, diskriminasi, dan/atau perampasan atau pengambilalihan
hak milik.”
Namun, penyandang disabilitas di Indonesia
masih banyak mengalami stigma dan menganggap mereka sebagai kaum yang lemah dan
tidak bisa berbuat apa-apa. Penyandang disabilitas sering kali menjadi korban
tindak pidana, terutama korbannya adalah perempuan. Kebanyakan dari mereka
mendapat diskriminasi dan pelecehan seksual hingga pemerkosaan.
Misalnya, di Daerah Istimewa Yogyakarta
kasus kekerasan terhadap penyandang disabilitas masih tinggi. Hal ini
disampaikan oleh Sentra Advokasi Perempuan Penyandang Disabilitas dan Anak
(SAPDA).
“Tahun ini ada 15 kasus yang kita advokasi,
itu belum yang tidak dilaporkan, atau yang diadvokasi oleh lembaga disabilitas
lain,” kata Devisi Women Disabilitas Crisis Center SAPDA Yogyakarta, Sri Lestari
pada 2017 kepada detikcom.
Mayoritas, kata Sri Lestari, kasus yang
dilaporkan adalah pelecehan seksual disusul perlakuan diskriminasi berupa
kurangnya pemenuhan hak serta aksesibilitas penyandang disabilitas. Lanjut Sri,
maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas karena belum
ada regulasi khusus yang mengatur sanksi terhadap pelaku.
"Memang sudah ada UU 8/2016 tentang
Penyandang Disabilitas, tapi belum ada pasal yang khusus mengatur sanksi bagi
pelaku, terutama korban perempuan dan anak disabilitas. Masih diikutkan dalam
(pasal pidana) KDRT (kekerasan dalam rumah tangga)," jelasnya.
Bahkan, Dosen Hukum FH UGM Naiul Amany
menyampaikan, meskipun pemerintah sudah mengesahkan peraturan tentang
hak disabilitas sejak 2011 dan memiliki UU No 8 tahun 2016 tentang Penyandang
Disabiitas. “Tapi masalah di lapangan kan kompleks, seperti memulihkan korban,
terjadinya eksploitasi seksual, ini belum ada UU itu,” terangnya, dilansir dari
Gatra.com.
Angin segar pun tiba takkala UU Tindak
Pidana Penghapusan Kekerasan Seksual (TPPKS) yang telah disahkan oleh
pemerintah untuk menjawab persoalan di atas. UU tersebut telah mengatur tentang
pentingnya pencegahan, perlindungan, pemulihan, pemantauan, hukum acara pidana,
dan ketentuan pidana. Namun, menurut Agus Hasan Hidayat (Direktur Eksekutif
YAPESDI Indonesia Down Syndrome Care) UU TPPKS masih belum mengakomodasi hak
difabel mental dan intelektual.
“Pada pasal 16, hanya menerangkan difabel
sensorik dan difabel fisik memiiki kekuatan yang sama dengan nondifabel.
Sementara, difabel mental dan intelektual tidak dimasukan dalam UU tersebut,”
paparnya ketika Diskusi Legislasi dalam Perspektif Disabiitas bertajuk “RUU
TPPKS: Penguatan Jaminan Pelindungan Penyandang Disabilitas dari Tindak
Kekerasan Seksual” pada (28/9/2021).
Di samping itu, dikutip dari tulisan Fatum
Ade—Yayasan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) berjudul
“Keadilan untuk Penyandang Disabiitas di Ruang Pengadilan”, bahwa pemerintah
masih belum memenuhi akomodasi yang layak bagi perempuan disabilitas dalam
proses peradilan. Akomodasi layak adalah penyesuaian yang tepat untuk menjamin
akses pada layanan, sarana, sumber daya, dan proses untuk memastikan
terpenuhinya semua hak asasi dan kebebasan fundamental bagi penyandang
disabilitas atas dasar kesetaraan. Hal itu sudah diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 (PP 39/2020) tantang Akomodasi yang layak untuk
Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.
Misalnya, Annelies Mellema—nama
samaran—(33) tahun, perempuan penyandang disabilitas daksa asal Yogyakarta. Dia
mengalami kekerasan rumah tangga hingga belasan tahun, bahkan kebingungan untuk
membawa kasus tersebut kepengadilan.
“Saya bukannya tidak mau bercerai. Tetapi,
saya tak pernah tahu di mana kantor pengadian dan bagaimana mengurus penceraian
untuk perempuan seperti saya ini. Saya tak punya bayangan tentang kantor
polisi, apalagi pengadilan. Cerai itu sangat asing bagi saya, terlebih karena
saya pengguna kursi roda. Pengadilan adalah lembaga yang tidak dapat diakses
oleh para penyandang disabilitas,” kata Annelies Mellema.