Kriminalisasi Warga Pakel, Herlambang: Warisan Watak Kolonial yang Bertahan Sampai Sekarang
Minggu, 05 Februari 2023 - 00:44alfikr.id, Pakel- Kenangan pahit masih kental dalam ingatan Mulyadi, Kepala Desa Pakel. Ia melihat teman-temannya dilempar ke truk layaknya hewan. Injakan sepatu lars aparat sesekali mendarat di tubuh. Pondok-pondok warga di ladang dibakar. Bahkan, musala sekalipun.
“Kejadian itu melebihi tragedi 1965, aneh dan sangat ironis,” kata Mulyadi. Lebih-lebih ketika warga dituduh merambah kayu jati. “Padahal pohon jati gak pernah tumbuh di wilayah Pakel,” imbuhnya.
Kekerasan yang dialami warga
Pakel dalam upaya memperjuangkan
haknya juga diceritakan oleh Suwarno. Ia adalah satu dari beberapa orang yang melarikan diri selama berbulan-bulan. Rumahnya digrebek. Pintunya ditendang. Barang-barang dijarah.
“Ya aparat pelakunya. Ada Brimob, Polisi, Banser juga ikut.” Suwarno tak menyangka Banser ikut menangkapi warga, meski ia pernah menjadi bagian dari Badan Otonom Nahdlatul Ulama itu. “Lama kelamaan saya berhenti jadi Banser,” lantang dengan nada kesal.
Cerita di atas hanya sebagian kecil dari berbagai tindakan represif oleh aparat keamanan terhadap warga Pakel, Banyuwangi.
Kini tindakan itu kembali dialami oleh warga, pada Jumat, 20 Januari 2023, warga Pakel dikagetkan dengan datangnya surat panggilan dari Polisi Daerah (Polda) Jawa Timur (Jatim). Surat panggilan tersebut menetapkan 3 warga Pakel, yakni: Mulyadi (Kepala Desa), Suwarno (Petani), dan Untung (Petani) sebagai tersangka.
Mereka dikenakan Pasal 14 dan atau 15 Undang-undang nomor 1 Tahun 1946. Sebagaimana diketahui, surat panggilan tersebut meminta 3 warga Pakel di atas untuk datang ke Polda Jatim, pada Kamis, 19 Januari 2023, tapi surat panggilan tersebut baru diterima warga pada Jumat, 20 Januari 2023.
Padahal, tenggang waktu dan tata cara pemanggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) KUHAP secara umum diatur dalam Pasal 227 dan Pasal 228 KUHAP yang berbunyi.
"Semua jenis pemberitahuan atau panggilan oleh pihak yang berwenang dalam semua tingkat pemeriksaan kepada terdakwa, saksi atau ahli disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan, ditempat tinggal mereka atau di tempat kediaman mereka terakhir."
Terkait kasus kriminalisasi warga Pakel, Pakar Hukum Pidana, Ahmad Sofian mengatakan, bahwa secara historis, keonaran yang dimaksudkan dalam UU nomor 1 Tahun 1946 ini lebih diterjemahkan sebagai kegelisahan rakyat, mengguncangkan hati penduduk.
Jika dilihat Sofian menambahkan, semangat dari UU tersebut karena di era euforia kemerdekaan, ada kelompok-kelompok yang tidak senang dengan kemerdekaan itu.
Kelompok itu menyebar selebaran yang dilarang dikarenakan takut ada perpecahan. "Jadi UU ini, dalam konteks historis, ya seperti itu, bukan konteks sekarang, jadi dengan demikian, Pasal 14 dan 15 UU ini tidak bisa dipakai dalam kasus warga Pakel,” ungkapnya.
Dosen Hukum Binus University itu juga menambahkan, subjek delik dalam UU ini dirumuskan secara materil. Oleh sebab itu, baru bisa diterapkan jika timbul keonaran.
"Timbulnya keonaran itu karena adanya berita bohong. Jadi ada hubungan kausal antara menerbitkan berita bohong dengan timbulnya keonaran. Dan harus di cek, itu benar atau tidak berita bohong,” pungkasnya.
Senada dengan Herlambang P Wiratraman, Pakar Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Dia menyampaikan jika konflik antara warga Pakel dengan pihak PT. Bumi Sari merupakan bentuk dari warisan watak kolonial yang bertahan sampai hari ini.
"Politik hukum agraria kita memang tidak sungguh-sungguh diupayakan untuk selesai, terutama ketika berhadapan pada kasus-kasus perampasan hak-hak tanah rakyat, yang terjadi pada masa kekuasaan Orde Baru,” tegasnya.
Terkait hal tersebut, Herlambang, yang juga menjabat sebagai Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum UGM itu, mendesak agar kasus kriminalisasi yang dialami oleh warga Pakel harus dihentikan.
Pasalnya, proses penegakan hukum itu tidak boleh mengenal diskriminasi, "Dia (penegak hukum, red) harus adil. Keadilan itu maknanya tidak hanya sekedar siapa yang melapor duluan kemudian diproses," terangnya.
Adil artinya kata Herlambang, polisi bekerja tidak hanya sekedar memenuhi unsur pasal-pasal, tetapi juga harus membaca konteks bekerjanya pasal-pasal tersebut.
Apabila kasus ini diteruskan akan menyiksa warga masyarakat, dan tentu berbuah ketidakadilan itu sendiri. Padahal kita ini mendaku keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia, prinsip kelima di Pancasila.
"Rasa-rasanya apabila kriminalisasi berjalan terus, prinsip kelima Pancasila itu akan hilang maknanya bagi warga Pakel.” tegas Herlambang.
Untuk melawan kriminalisasi tersebut, tim hukum yang tergabung dalam Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria dan Sumber Daya Alam (Tekad Garuda) bersama warga Pakel tengah melakukan upaya hukum Pra Peradilan.
Jauhar Kurniawan, anggota Tekad Garuda menyampaikan, jika Ia menganggap terdapat sejumlah pelanggaran serta kejanggalan dalam proses pemanggilan dan penetapan tersangka terhadap warga Pakel.
"Maka untuk mencari keadilan dan dalam rangka mewujudkan keadilan agraria di Jawa Timur, khususnya untuk kaum tani dan masyarakat marjinal, kami menempuh upaya hukum Pra Peradilan pada Senin, 30 Januari 2023, yang kami daftarkan di PN Banyuwangi.” ungkapnya saat jumpa pers pada, Rabu (01/02/23).