Sampah di Jawa Timur, WALHI Jatim: Perlu Langkah Progresif

Rabu, 22 Februari 2023 - 17:01
Bagikan :
Sampah di Jawa Timur, WALHI Jatim: Perlu Langkah Progresif
Petugas membersihkan sampah di sepanjang pantai Kenjeran, Senin 13 September 2021. [Suarasurabaya.net/Totok]

alfikr.id, Surabaya-Sabtu dan Minggu tanggal 18-19 Februari lalu, tim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur (Jatim) dan anggota SLH Saunggalih Universitas Yudharta Pasuruan menelusuri pesisir Kenjeran, Surabaya. Perjalanan mereka menemukan satu hal menarik, yakni Surabaya sudah kehilangan pantai berpasirnya. Permukaan air laut telah naik dan mulai merangsek ke daratan. 

"Wisata pantai pun, jika biasanya bermain pasir, kini hanya duduk dipinggiran tanggul, sembari ‘jajan’ atau makan. Itu artinya apa kawan? Ancaman perubahan iklim semakin nyata," kata Lucky Wahyu Wardhana, Pengkampanye Isu Urban WALHI Jatim. 

Di beberapa titik mereka menemukan sampah berceceran dan bertumpuk. “Seakan-akan menjadi tempat sampah,” kata Lucky dalam keterangan tertulis. Pemandangan itu mereka juga temukan di Pantai Ria Kenjeran, sebuah destinasi wisata keluarga di Surabaya. "Sampah-sampah tersebut seakan-akan adalah sebuah instalasi yang wajib hukumnya," imbuhnya.

Produk yang mendominasi tumpukan sampah di Pesisir Kenjeran, Surabaya. [Dokumentasi WALHI Jatim]

Lucky menceritakan saat di sebuah titik tumpukan sampah, mereka mencoba untuk membongkar sampah-sampah itu. Mereka menemukan aneka sampah kemasan, mulai dari mie instan instan populer seperti produk andalan “Indomie” dari Indofood dan “Mie Sedap” dari Wingsfood, sampai merek deterjen andalan bermerk “Rinso” dari Unilever, “Kapal api” dari Santos, “Nutrisari” dari Nutrifood serta produk-produk lainnya. Sampah kemasan itu masih tampak bagus. 

“Setelah kami cek produksinya ternyata merupakan produk tahun 2014-2016. Ternyata dalam kurun waktu 6-7 tahun bungkus produk yang terbuat dari plastik tersebut tidak mengalami perubahan signifikan," ungkap Lucky.

Tanggung Jawab Produsen

Temuan tersebut membuktikan bahwa dalam kurun waktu 20 tahun sampah kemasan itu tidak mudah terurai. Bahkan bisa juga 50 tahun. Selain itu, temuan tersebut menguatkan argumen, mengapa produsen juga harus bertanggung jawab, karena keberadaan sampah hasil dari aktivitas produksi mereka. 

"Jika mereka tidak memproduksi bungkusan seperti itu, mungkin juga tidak akan ada sampah," terangnya.

Menurut Luky, tak tidak adil juga jika kita selalu menyalahkan individu, sebab terdapat banyak faktor yang melatarbelakangi seseorang terpaksa mengkonsumsinya. "Ini bukan soal perilaku saja tetapi bagaimana konsumsi masif sejatinya didorong oleh keberadaan produksi produk," jelasnya.

Di Jawa Timur merujuk dari data timbulan sampah KLHK 2022 (SIPN) Jawa Timur dalam setahun telah memproduksi sekitar 1,487,812.44 ton dengan rata-rata harian 4,076 ton. Pada situs KLHK tercatat hanya 10 Kabupaten/kota di antaranya  Kabupaten Pacitan, Lumajang, Mojokerto, Jombang, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Pamekasan, Kota Malang dan Madiun. Sementara yang lainnya tidak tercatat. Kota Surabaya saja produksi sampahnya setiap hari dapat mencapai 1.500 sampai 1.900 ton per hari. 

"Tentu, rata-rata timbulan sampah baik tahunan maupun harian kemungkinan bisa lebih dari 4 juta ton per tahun dan lebih dari 11 ribu ton per harinya," terang Lucky.

Data timbulan sampah di Provinsi Jawa Timur tahun 2022. [WALHI Jatim]

Bahkan, Lucky mengungkapkan, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) hingga Tempat Pembuangan Sementara (TPS) yang kelebihan kapasitas di beberapa wilayah dikabarkan menganggu kehidupan warga sekitar. Sebagai contoh seperti yang dialami oleh warga Tlekung dan Junrejo Kota Batu, lalu ada warga Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan, terakhir warga di sekitar TPA Segawe Tulungagung juga mengalami nasib serupa. 

"Mereka yang terganggu oleh bau sampah sempat melakukan protes mengenai keberadaan TPA yang menyisakan bau tak sedap dan ancaman-ancaman lainnya,” ungkapnya. 

Dalam mengatasi masalah tersebut, Lucky menerangkan, banyak tawaran dan langkah yang dapat diupayakan bersama. Sebagian orang beranggapan untuk menyelesaikan problem sampah adalah perubahan perilaku dengan menerapkan gaya hidup zero waste.

Di samping itu, ada juga yang beranggapan persoalan sampah dapat dicapai dengan membuat inovasi seperti keberadaan bank sampah hingga energi seperti waste to energy.

Namun, Lucky menilai langkah-langkah itu tak cukup. “Bahkan kami juga tidak sepakat dengan waste to energy. Meskipun mereka menjelaskan bahwa itu ramah lingkungan dengan metode gasifikasi dll,” tegas Lucky. 

Pasalnya, dia menjelaskan mengharapkan sampah yang sejak awal tidak terpilah lalu dijadikan sumber energi adalah kesia-sian belaka. Sebab residu masih banyak, menumpuk dan menumpuk. 

"Belum lagi dampak dari aktivitas tersebut, seperti emisi yang dihasilkan. Jika toh nanti berjalan pun, sampah tidak akan berkurang, akan bertambah terus dan bertambah karena logika dari waste to energy adalah supply dan demand," ungkapnya.

Lucky mengatakan ada banyak hal yang bisa dilakukan, tanpa mengerdilkan yang diupayakan orang lain. Langkah sekecil apapun merupakan wujud kepedulian dan usaha untuk menyelamatkan bumi. Tetapi yang patut digarisbawahi, dia menegaskan, adalah problem sampah bukan soal kesalahan individu seperti dalam ungkapan logika etika antrophocene. 

"Problem sampah adalah multifaktor dan interseksional. Dari produksi konsumsi, sampai persoalan kemiskinan," jelasnya. 

Itu sebabnya, Lucky berharap pemerintah dapat membuat regulasi melampaui pengurangan single use plastic, tetapi juga bagaimana mereka mengintervensi produsen untuk bertanggung jawab atas sampah.

"Kita harus mulai memikirkan model ekonomi yang sirkular atau berkelanjutan. Terakhir, menjadi sangat penting untuk mendorong kolaborasi dengan komunitas untuk mendorong tata kelola sampah yang tepat sasaran yang peka terhadap kondisi sosial ekonomi," pungkasnya. 

Penulis
Zulfikar
Editor
Abdul Razak

Tags :