PP Nomor 26 Tahun 2023: Dapat Mengancam Keberlangsungan Hidup Nelayan Tradisional

Kamis, 01 Juni 2023 - 08:28
Bagikan :
PP Nomor 26 Tahun 2023: Dapat Mengancam Keberlangsungan Hidup Nelayan Tradisional
Ilustrasi - Nelayan sedang menjala ikan. [ANTARA/HO-Dokumentasi KKP]

alfikr.id, Jakarta- Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 yang resmi diundangkan pada tanggal 15 Mei 2023 menuai kritik dari berbagai pihak salah satunya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), karena telah memberikan izin kepada sejumlah pihak untuk mengeruk pasir laut dan mengendalikan hasil sedimentasi laut.

Selain itu, peraturan tersebut dinilai membuka ruang bagi perusahan untuk mengekspor pasir laut ke luar negeri jika kebutuhan didalam negeri terpenuhi.

Menurut Manajer Kampaye Pesisir dan Laut Walhi, Parid Ridwanuddin, mengatakan bahwa PP tersebut akan berisiko mengurangi pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia. Sebab, sedimen pasir yang dikeruk dapat merusak ekosistem pantai dan menimbulkan abrasi.

“Jadi, saya kira PP Nomor 26 Tahun 2023 Pasal 9 ayat 2 (d) ini sangat mengancam pulau-pulau kecil terutama di Indonesia. Karena Indonesia negara kepulauan, termasuk juga wilayah pesisirnya,” kata Parid kepada BBC Indonesia pada Selasa (30/05/23).

Senada dengan Parid, menurut Direktur Eksekutif Daerah Walhi Kepri dan Riau, Boy Jerry Even, meungkapkan resminya PP tersebut memperlihatkan Presiden Joko Widodo abai terhadap aspirasi kelompok nelayan dan keselamatan wilayah pesisir dan pulau kecil.

“Kami tegas menolak PP tersebut dan meminta Joko Widodo segera membatalkan peraturan tersebut,” ungkapnya kepada Liputan6.com. Selasa, (30/05/23).

Dengan diudangkan PP tersebut, Even menambahkan bahwa belajar dari pengalaman masa lalu, masifnya tambang pasir laut berdampak buruk terhadap kerusakan wilayah pesisir dan pulau kecil sekaligus terganggunya keberlajutan nafkah hidup nelayan tradisional.

Dalam catatan Walhi meyebutkan, ada sekitar 20 pulau-pulau kecil di sekitar Riau, Maluku, dan kepulauan lainnya yang sudah tenggelam. “Kurang lebih ada 20 hilang. Nah, ke depan itu ada 115 pulau kecil yang terancam tenggelam di wilayah perairan Indonesia, di wilayah perairan dalam,” tambahnya.

Sedangkan menurut Juru bicara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Wahyu Muryadi  membantah bahwa peraturan baru ini tidak akan akan menimbulkan kerusakan pada ekosistem perairan, justru pemerintah ingin menyehatkan kembali daerah pesisir.

“Sesuai dengan amanat dari UU laut, maka KKP harus melakukan pengambilan, pengelolan terhadap sedimentasi itu supaya kembali dipulihkan, sehingga laut kita menjadi sehat,” ujarnya, dikutip dari bbc.com.

Boy Jerry Even menambahkan, pada bulan Maret 2022 yang lalu, ada seorang nelayan Rupat telah mengirimi surat kepada Presiden Joko Widodo. Di dalam surat tersebut, nelayan meminta Presiden untuk mencabut satu IUP Pasir Laut di perairan bagian utara pulau tersebut.

Namun, surat tersebut tidak di tindak lanjuti oleh Presiden, sehingga  hal tersebut menjadi salah satu bukti bahwa Jokowi tidak membuka telinganya dengan baik untuk mendengarkan suara dan tuntutan rakyat.

“Kami akan konferensi pers dan meminta seluruh elemen masyarakat yang merasa dirugikan oleh PP ini untuk menggunakan langkah konstitusinya, serta hak menyampaikan pendapatnya,” imbuhnya.

Parid juga menilai, apabila pemerintah berniat menegakkan proses demokrasi, maka sebelum PP itu diterbitkan, sudah seharusnya pemerintah mengajak berbagai elemen masyarakat untuk berdiskusi. Ia mencontohkan banyaknya aturan yang tidak demokratis, seperti saat pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

“Jadi kacau sekali klaimnya, yang dari awal kita melihat banyak aturan-aturan yang diproduksi pemerintah bisa kita sebut tidak demokratis secara formal masyarakat tidak bisa diajak berdiskusi,” ungkapnya mengutip dari ccnindonesia.com pada Rabu (31/05/23).

Di sisi lain, menukil dari tempo.com, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan meyakini kebijakan baru ini yang diperbolehkan pengerukan dan mengekspor pasir laut tidak akan merusak lingkungan.

“Tidak merusak lingkungan. Karena semua sekarang ada GPS (global positioning system) segala macam, kita pastikan tidak merusak lingkungan pekerjaannya,” katanya saat ditemui usai acara peluncuran Indonesia Carbon Capture and Storage Center (ICCSC) di Jakarta, Selasa, (30/05/23).

Penulis
Ahmad Rifa'i
Editor
Zulfikar

Tags :