Yang Ganjil dari Banjir Rob Kraksaan Utara

Selasa, 06 Juni 2023 - 03:17
Bagikan :
Yang Ganjil dari Banjir Rob Kraksaan Utara
Beberapa anak sedang asyik bermain di tengah banjir rob di depan Masjid Al Musthofa, (13/06/2022). [Zulfikar/alfikr.id]

alfikr.id, Probolinggo- HARI Lingkungan Hidup Sedunia tahun ini mengingatkan saya akan pengalaman tahun lalu. Saat itu deadline penerbitan majalah ALFIKR edisi 35 semakin dekat. Di tengah kondisi redaksi yang ngos-ngosan, mau tak mau kami mesti berlari lebih kencang dari biasanya. 

Ada satu rubrik yang masih kosong. Kami bingung hendak mengisi rubrik Rana itu dengan apa. Akhirnya celetukan salah seorang kawan untuk mendokumentasikan banjir rob di pesisir Probolinggo, membuyarkan kebingungan kami. 

Saya dan dua kawan berangkat menuju Desa Kalibuntu, Kecamatan Kraksaan, Kabupaten Probolingo. Kalibuntu adalah salah satu desa yang sudah “akrab” dengan banjir rob. “Bisa dua kali dalam sebulan,” begitu kata Hendrik, salah seorang pemuda desa yang menemani kami. “Itu ‘tamu’nya sudah datang,” lanjutnya. “Tamu” adalah kode bagi masyarakat Kalibuntu untuk menunjukkan banjir rob telah datang.

Saat mulai berjalan menyusuri desa, pemandangan ganjil menyambut kami. Belasan anak-anak seusia anak Sekolah Dasar (SD) itu tengah berlari, berkejar-kejaran, dan tertawa riang. Di jalan raya di sisi barat Masjid Al Musthofa itu berubah bak wahana wisata air. 

Mereka berenang. Bermain-main di tengah genangan air rob. Ketinggian air yang sejengkal di bawah lutut saya—dengan tinggi 175 cm—itu cukup membuat mereka bahagia bukan kepalang. Tak ada raut wajah yang menyiratkan kekhawatiran. Polos, seperti anak-anak pada umumnya.

Belasan anak-anak seusia anak Sekolah Dasar (SD) sedang berenang di tengah genangan air rob, (13/06/2022). [Zulfikar/[alfikr.id].

Anak-anak itu rupanya agak rikuh melihat kami mencangking kamera. Untuk melunturkan kekikukan mereka, saya berusaha tersenyum menyapa. Saat merasa suasana cukup pulih, tanpa aba-aba, kami bertiga mengabadikan momen tersebut.

Setelah jepret sana-sini, saya berjalan menuju barat. Celana pendek di atas lutut pun mulai basah. Di tengah perjalanan dari Dusun Penambangan menuju Dusun Krajan gerombolan anak-anak dengan menenteng bambu terlihat dari kejauhan. Saya menepi mencari posisi. Canon 750D itu kembali memainkan perannya. 

“Ayo, Cak, foto,” ucapan tanpa khawatir itu keluar dari salah seorang rombongan itu. 

“Viralkan ya, Cak,” imbuh anak lainnya.

Tak ingin kehilangan momentum. Saya sempatkan bertanya pada mereka. Anak-anak itu berasal dari Dusun Karangbong. Sebuah dusun di Desa Kalibuntu yang berbatasan langsung dengan muara. 

“Emang gak sekolah?” 

“Libur, Cak. Banjir,” jawabnya sembari tertawa tanpa beban. 

Mereka pun melanjutkan keseruannya. Lagi-lagi, momentum itu saya abadikan. Bahala yang melanda pesisir di probolinggo ini bukan sesuatu yang mengejutkan lagi. Di sebuah jembatan kecil, saya dan dua kawan sejenak berhenti. Di sebrang, beberapa orang tua berkumpul. 

“Dari mana, Mas. Mau kasi bantuan, ya?” tanya salah seorang ibu. 

Pertanyaan menyesakkan dada itu kembali menegaskan bahwa banjir rob bukan lagi masalah anyar. 

“Dari dulu cuma difoto-foto terus. Tapi banjirnya semakin meninggi.”

Jlebb. Ungkapan tedas ibu yang lain membuat saya mati kutu. Pelan-pelan saya mendekati mereka. Kami memperkenalkan diri. Hendrik, menjelaskan kepada mereka identitas dan maksud kedatangan kami. Saya kemudian berpamitan untuk “kurang ajar” mengabadikan penderitaan mereka. 

“Oh, mahasiswa. Saya kira dari dinas, Mas,” sambungnya. “Iya mas. Nggak apa-apa. Dari dulu soalnya foto-foto sampai viral. Tapi nggak ada perubahan,” ungkapnya. Kalimat itu terus menghantui saya—bahkan saat catatan ini saya tulis.

***

DADA sesak tiba-tiba. “Apa yang bisa saya lakukan?” adalah kalimat yang seketika muncul sepersekian detik setelah mendengar pernyataan ibu-ibu itu. Saya melanjutkan berjalan. Langkah kaki kali ini terasa semakin berat. 

Pernyataan dan pertanyaan itu menjadi bebannya. Padahal sebelumnya, saya sudah cukup dibebankan dengan pengetahuan bahwa kondisi pesisir Probolinggo tengah dilanda bahaya. 

Lamunan demi lamunan dalam melangkah, tetiba buyar seketika. Empat anak-anak tengah asyik bermain kembali saya lihat. Anak-anak tanpa dosa itu pun dengan kepolosannya berlarian di tengah air bah yang telah mencapai dadanya. 

Sesekali berenang. Bergaya bak perenang handal Asian Games. Mulai dari freestyle, renang dada, kupu-kupu, hingga renang gaya punggung seperti perenang legendaris, Elsa Manora Nasution. 

Hanya saja, anak-anak itu berenang di tengah air rob  bersama apungan sampah. Namun itu bukan masalah yang mereka pusingkan. Di Dusun Krajan, menjadi titik favorit anak-anak.

Pelbagai alat berenang mereka kenakan. Bukan. Bukan seperti yang anda bayangkan. Anak-anak yang kampung halamannya terancam tenggelam itu bukan mengenakan kacamata renang, pull boys, atau bahkan kaki katak. 

Mereka memanfaatkan apapun yang dapat menopang badannya mengapung. Bambu, kayu balok, hingga box yang biasa dibawa bapaknya menampung ikan, tak luput menjadi alat pelengkap keseruan-keseruan. 

Baju dan celana renang yang mereka kenakan pun adalah pakaian sehari-hari yang mungkin sehari sebelumnya mereka gunakan untuk bermain layang-layang. 

“Awas, cak,” teriakan itu membuyarkan lamunanku. 

Empat anak itu berbaris. Sepertinya mereka hendak berlomba. Saya mencari tempat untuk mengambil gambar. Kamera yang sedari tadi menggantung di punggung bersiap mengambil momen balapan yang tak disiarkan di stasiun televisi manapun. Namun, sebelum menekan tombol jepret, saya meminta kawan untuk menjadi wasit. 

Empat orang anak tengah asyik berenang menggunakan bambu sebagai alat apung berupa bambu, (13/06/2022), [Abdul Haq/alfikr.id]

Kawan saya itu pun rasa-rasanya bukan tenang saja. Dalam hatinya bergejolak. Dadanya ngilu melihat fakta itu. Dengan sarung menggantung selutut, ia seolah-olah ingin ikut dan tenggelam dalam kebahagiaan anak-anak itu. Namun, ia takpandai menyembunyikan wajah ketidaktegaannya. 

“Siap-siap. Satu, dua, tiga.” 

Empat “perenang” itu pun berlomba dengan gaya yang berbeda. Sebelum menyentuh garis finish yang disepakati, tetiba salah seorang anak teriak.

“Yah, curanggg,” teriaknya saat melihat salah saeorang kawannya berlari bukan berenang. 

***

SEBUAH potret haru dan menyesakkan dada yang tampak dalam tawa dan bahagia anak-anak itu kian membuat saya tak sudah-sudah bergumam dalam hati kecil, “Kemana negara?”

Di sisi selatan tempat anak-anak itu berenang, bapak-emak mereka sibuk mencari cara agar luapan tak menggenang hingga ke dalam rumah. Meski beberapa rumah terlihat dengan pondasi yang tinggi. Mereka kelesah. Mereka berharap banjir segera siuh. 

“Ini kan pondasinya tinggi. Tapi air tetap masuk,” ucap Hendrik, sembari menunjuk rumah tetangganya. 

Bagi mereka yang memiliki uang lebih, meninggikan pondasi adalah pilihan realistis. Namun, sejauh mata saya memandang rumah-rumah tak berpondasi tinggi terlihat lebih mendominasi. 

Realitas itu kembali menegaskan bahwa masyarakat kampung-kampung pesisir merupakan salah satu elemen masyarakat yang tak aman ekonominya. Mereka adalah salah satu masyarakat rentan. 

Tanpa sadar, saat tengah beristirahat dan meneguk air suguhan Hendrik, saya melihat tiga jendela rumahnya telah rata dengan lantai. Tiga jendela berwarna biru itu seperti berubah fungsi menjadi pintu.

Bukti adanya land subsidence (penurunan tanah) di Desa Kalibuntu yakni ketinggian jendela dan pintu kini sejajar, (14/06/2022). [Abdul Haq/alfikr.id].
Hendrik bercerita, dia rela mendatangkan pasir-batu (sirtu) sebanyak dua truk dan dua mobil bak terbuka. Sekira setengah meter lantai rumah hendrik ditinggikan.

“Biar air gak masuk,” begitu harapnya.

Strategi Hendrik itu semakin memperkuat temuan Heri Andreas, bahwa tersangka utama banjir rob adalah land subsidence alias amblesan tanah.

Tak bermaksud menggurui, di sela obrolan dengan Hendrik, saya berusaha menyampaikan temuan peneliti geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB).

Di Majalah ALFIKR edisi 34, Heri mengungkapkan hasil analisisnya menggunakan citra satelit bahwa di pesisir Probolinggo telah mengalami land subsidence sekitar 2-3 cm per tahun.

Bahkan Heri menegaskan, “Tetapi kalau dilihat di lapangan sepertinya lebih dari 3 cm penurunannya,” kata Heri seperti dikutip Majalah ALFIKR.  

Sebenarnya saya sudah melihat ada dua rumah di Dusun Penambangan dengan ketinggian lantai yang berbeda. 

“Iya. Itu juga lantainya ditimbun. Makanya rumah di sebelahnya pendek. Karena memang belum ditinggikan,” ucap hendrik mematahkan kebingungan saya. 

Dalam hati saya bertanya-tanya. Akankah narasi land subsidence mendapatkan tempat di kemudian hari. Namun rasa-rasanya pertanyaan itu mudah saya bantah. Saya cenderung pesimis, negara melihat itu sebagai masalah. Lebih-lebih menjelang Pemilu 2024. Bahkan untuk sekadar menjadi bahan gincu politik pun tampaknya tidak. 

Entah bagaimana kehidupan kampung-kampung pesisir di satu-dua tahun ke depan. Saya membayangkan, akankah anak-anak yang riang gembira itu kelak melihat luapan air laut itu dengan kegirangan atau justru kepedihan. Saya tak berani memastikan. 

Namun harapan harus terus mendapatkan tempat dalam hati dan kepala. Meski secara historis, tak sedikit rumah-rumah yang kini berubah menjadi genangan-genangan permanen. Cerita yang ungkapkan salah seorang warga bahwa dulunya, sekira 500 lebih Kepala Keluarga (KK) dipaksa pindah oleh banjir rob. Masjid kampung pun sudah tiga kali pindah.

Masjid kampung di lokasi kedua yang kini telah  tak digunakan, (14/06/2022). [Abdul Haq/alfikr.id]

Jangan-jangan nanti saat dewasa anak-anak itu ingin kembali menjadi anak-anak agar menikmati banjir dengan bahagia. Sekali lagi tak ada keberanian saya memprediksi itu.

Hanya saja saya percaya dengan perkataan pengamat sosio-ekologi bencana, Gilbert White, “banjir adalah kehendak tuhan tetapi kerugian akibat banjir adalah karena ulah manusia.”

Sebelum berpamitan, saya melihat dalam raut wajah Hendrik sebuah judul lagu gubahan Senartogok: Bertahan adalah bentuk cinta paling liar. Hendrik menunjukkan cinta saat mendiami rumah neneknya itu.

Melihat harapan dari wajah pemuda yang baru menikah itu, beban terasa ringan. Genggaman tangan salamnya semacam memberi isyarat, bahwa kita mesti bergandeng tangan dalam melawan keadaan untuk masa depan. 

Mirisnya negara seolah-olah menganggap banjir sebagai kejadian sambil lalu. Saat hendak pulang, di balai desa saya melihat cukup banyak pejabat negara hanya ketawa-ketiwi. Perahu karet markir takberguna setelah dokumentasi sebagai laporan selesai dilakukan.

Padahal di Dusun Karangbong, saya bersirobok dengan nenek berusia senja duduk menunggu air surut di sebuah gubuk. Barangkali tindakan kurang ajar mereka itu berangkat dari saking seringnya banjir rob melanda. 

Melihat itu, saya merasa ikhtiar untuk mengusir “tamu” rutinan itu masih akan menemui aral yang tak sepele. Alih-alih memperbaiki kualitas lingkungan hidup, pemerintah justru terus melego pesisir Probolinggo. Di titik ini, mereka menunjukkan kebebalannya. Mereka sama sekali tak menganggap bahwa itu adalah masalah. 

Dengan tindakan dan pola yang ditunjukkan negara itu muskil rasanya saat dewasa nanti kebahagiaan anak-anak itu tak dirasakan oleh anak-anaknya. 

Ah. Sudahlah. Genggaman tangan Hendrik membuyarkan semua pesimisme itu. Semoga. 

Penulis
Abdul Haq
Editor
Arwin

Tags :