Modus Magang di Jepang, Mahasiswa Menjadi Korban Perdagangan Orang
Rabu, 28 Juni 2023 - 04:10alfikr.id, Jakarta- Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri membongkar kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Jepang. Dari laporan Bareskrim, korban berasal dari kampus politeknik di Sumatera Barat.
Dilansir dari nasional.kompas.com, korban berjumlah dua orang berinisial ZS dan FY mahasiswa politeknik di salah satu kampus Sumatera Barat. Pelaku menjalankan aksinya dengan modus pengiriman mahasiswa magang ke Jepang.
Dittipidum Bareskrim Polri, Brigjen Pol. Djuhandhani Rahardjo Puro, mengungkapkan kedua korban melapor kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Tokyo, Jepang. Dalam laporannya, kedua korban dengan sembilan mahasiswa lainnya diutus oleh pihak kampus untuk program magang di perusahaan Jepang.
“Selama satu tahun magang, mahasiswa (korban) ini dipekerjakan bukan layaknya magang. Namun, bekerja seperti buruh,” ungkap Brigjen Djuhandhani dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (27/06/23).
Kasus TPPO, menurut Djuhandhani, bermula ketika para korban tertarik mengenyam pendidikan di kampus politeknik Sumatera Barat itu. Dia menambahkan, tersangka berinisial G yang menjabat sebagai Direktur Politeknik periode 2013-2018 itu menyampaikan keunggulan politeknik dengan iming-iming memberangkatkan mereka magang ke Jepang.
“Para korban mendaftarkan diri untuk mengikuti program magang pada tahun 2019, di mana korban mendapatkan persetujuan dari direktur baru, yakni EH. Kemudian diberangkatkan dengan menggunakan visa pelajar yang berlaku selama 1 tahun dan diperpanjang dengan visa kerja selama 6 bulan,” kata Djuhandhani, mengutip news.detik.com.
Dilansir dari makassar.antaranews.com, para mahasiswa bukan mengikuti program magang, namun menjadi pekerja buruh. Mahasiswa tersebut bekerja selama 14 jam dari pukul 08:00 sampai 22:00. Mereka juga diwajibkan bekerja selama tujuh hari tanpa libur, bahkan jam istirahat mereka hanya 10-15 menit saja. Lebih mirisnya lagi, korban tidak diperbolehkan untuk beribadah.
“Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 3 Tahun 2020 Pasal 19 berbunyi untuk pembelajaran 1 SKS dalam proses pembelajaran berupa jam, seharusnya 170 menit per minggu per semester,” jelas Djuhandhani.
Dari laporan Djuhandhani, korban mendapatkan upah sebesar 50.000 Yen atau setara Rp. 5 juta per bulan. Dari hasil gaji tersebut, korban diharuskan memberi sumbangan kepada politeknik sebesar 17.500 Yen atau Rp. 2 juta per bulan. Bahkan, dia menambahkan, korban meminta untuk dipulangkan ke Indonesia setelah kontraknya selesai.
“Bukannya membantu memulangkan mahasiswanya, korban justru diancam pihak politeknik, jika kerja sama politeknik dengan perusahaan Jepang putus. Maka korban akan di keluarkan,” terangnya, dikutip dari makassar.antaranews.com.
Berdasarkan hasil penyidikan, Djuhandhani memastikan politeknik tersebut tidak memiliki izin proses ataupun kurikulum magang di luar negeri. Selain itu, lanjutnya, politeknik juga tidak memiliki bukti kerjasama terkait program magang dengan perusahaan di Jepang.
Dilansir nasional.kompas.com, kepolisian akhirnya menetapkan EH selaku direktur politeknik periode 2018-2022 dan G selaku direktur periode 2013-2018 sebagai tersangka TPPO. Atas perbuatannya, mereka dijerat dengan Pasal 4 UU RI nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasaan TPPO juncto Pasal 11 UU RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda paling banyak sebesar Rp. 600 juta.