Kasus Trio Petani Pakel: Mata Rantai Kriminalisasi Belum Terputus
Selasa, 18 Juli 2023 - 16:31alfikr.id, Banyuwangi - Agenda persidangan Trio Petani Pakel ialah pemeriksaan saksi-saksi, Senin, (17/07/2023), di Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi. Sidang ke 8 itu, diskors sampai kembali akan digelar pada 24 Juli 2024 dengan rencana yang sama yaitu pemeriksaan saksi.
Sesuai kesepakatan, sidang minggu depan akan dilaksanakan secara offline, setelah sebelumnya dilakukan secara Hybrid (online-offline) atau sidang selang-seling. Sidang itu dihadiri oleh beberapa keluarga dan warga, mereka menyimak serta memperhatikan secara serius atas berjalannya proses persidangan.
Tetapi, di balik itu semua mereka sangat berharap trio petani Pakel yang dikriminalisasi, dengan tuduhan menyebarkan berita bohong dapat segera bebas, agar bisa kembali berkumpul bersama keluarga dan seluruh anggota Rukun Tani Sumberejo Pakel.
Tuduhan penyebaran berita bohong yang menjerat trio petani Pakel itu berlandaskan Pasal 14 dan 15 Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun. Namun, berdasarkan rilis dari walhijatim.org, penggunaan pasal-pasal tersebut sudah tidak relevan.
WALHI Jatim menyebutkan senyatanya, peraturan tersebut dibuat untuk situasi tertentu seperti, persoalan keberlanjutan sebuah negara atau kondisi yang tak terkendali. Sedangkan kasus tiga orang petani Pakel, disangka menyiarkan berita bohong. Padahal, kondisi saat ini tengah terjadi konflik agraria.
Namun, cukup mengherankan, WALHI Jatim melanjutkan, ketika pihak berwajib seperti polisi hingga jaksa, mengatakan bahwa keonaran dan chaos merupakan aksi warga untuk memperoleh hak atas tanahnya. Misalnya, aksi demontrasi sampai mempertahankan lahan yang diambil paksa oleh Hak Guna Usaha (HGU).
Bagi WALHI Jatim, hal itu bukan membahayakan NKRI, justru makin masuk kepada kategori memusnahkan perkebunan secara semena-mena, sangat jelas bertentangan dengan konstitusi. "Sehingga pasal yang dituduhkan kepada warga, lebih membahayakan perkebunan bukan NKRI, lantas hukum dan aparatnya dibelokkan untuk membela siapa?" tulisnya.
Mulanya, kriminalisasi dan konflik agraria di Pakel ialah wujud pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Mengutip pada catatan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), menyampaikan tentang pemidanaan terhadap trio Pakel merupakan bentuk pelanggaran HAM.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), secara khusus telah menyusun Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Nomor 7. Peraturan itu berisi tentang panduan bagi pengemban kewajiban dalam menghormati, melindungi dan memenuhi HAM yang berkaitan dengan konflik dengan konflik tanah dan sumber daya alam.
Sementara pada paragraf 216, menegaskan sistem pemidanaan secara tidak sah atau tidak proporsional terhadap masyarakat setempat ataupun pihak luar yang menyatakan penolakan kepada praktik pemberian Hak Guna Usaha, merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Oleh karena itu, Kriminalisasi terhadap Trio Pakel, yakni Mulyadi, Suwarno dan Untung, merupakan suatu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan Negara. Kriminalisasi dan itu bukan kasus pertama. Sejak tahun 2020-2021, warga anggota Rukun Tani Sumberejo Pakel setidaknya 13 warga mengalami tindak kekerasan. Praktik pembungkaman terhadap masyarakat masih terjadi, hingga hari ini.
"Jelas warga Pakel dalam memperebutkan hak atas tanahnya, dilindungi UUD NKRI 1945 Pasal 33 dan 28, UUPA No 5 Tahun 1960 dan UU HAM No 39/1999, sekaligus sesuai mandat The Universal Declaration Of Human Right, bahwa setiap orang berhak untuk bersuara, menyampaikan protes, hidup yang layak dan tidak diganggu dalam menjalani kehidupan," tegas WALHI Jatim.
Semuanya itu, tidak akan pernah terpenuhi, mereka menambahkan, ketika konflik agraria masih memanas. Bahkan, ini harus menjadi perhatian penuh bagi Majelis Hakim PN Banyuwangi, tatkala memimpin sidang kasus trio petani Pakel.
Terlebih, penilaian kasusnya terus naik akibat adanya kejahatan terhadap warga serta ketidakberpihakan institusi negara dalam menyelesaikan konflik Agraria. "Jika sengketa ini, tidak dijadikan prioritas oleh Negara melalui Kementerian Tata Ruang dan Agraria/Badan Pertanahan Indonesia (ATR/BPN), khususnya kasus Pakel," ujarnya.
"Hal ini pun , menimbulkan pertanyaan mendasar, lalu kapan mata rantai kriminalisasi ini terputus?" imbuh WALHI Jatim mempertanyakan.