29 Aksi Massa Jadi Korban Tindakan Represif Aparat Kepolisian
Kamis, 27 Juli 2023 - 07:56alfikr.id, Jambi- Aparat kepolisian Polda dan Polres Muaro Jambi membubarkan secara paksa
warga yang menduduki dan memblokir jalan masuk PT Fajar Pematang Indah Lestari
(FPIL) di Dusun Pematang Bedaro, Desa Teluk Raya, Kecamatan Kumpeh Ulu,
Kabupaten Muaro Jambi. Pada Kamis (20/07/23).
Pembubaran secara paksa hingga tindakan represif yang dilakukan oleh aparat kepolisian itu mengakibatkan 29 korban diantaranya anak-anak dan perempuan, ada sebagian korban terluka
bahkan ada sampai masuk intensive care unit (ICU).
Tindakan tersebut, menurut Direktorat Intelijen dan Keamanan Polda Jambi, Kombes Pol Ronalzie Agus, berawal dari konflik agraria antara warga dengan PT FPIL sehingga memicu munculnya tindak pidana dan pemaksaan.
“Mereka mau bubar dengan syarat yang sulit, yakni membebaskan lima orang yang sedang menjalankan proses hukum dan memberikan akses seluas-luasnya keperusahaan. Nah, ini yang
tidak bisa kami penuhi,” jelas Kombes Pol Ronalzie
Agus, dilansir jamberita.com.
Abdullah, Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (WALHI) Jambi, sangat menyayangkan tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian. Untuk itu, ia mendesak Polda Jambi bertanggung
jawab atas kerugian yang dialami masyarakat.
“Kami mendesak Polri bertanggung jawab dan melakukan
penindakan tegas terhadap aparat yang melakukan tindakan represif kepada massa
aksi hingga dirawat di ICU,” ungkap Abdullah.
Melansir dari detiksumbagsel.com. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jambi,
Edi Purwanto, ikut menyikapi konflik tersebut. Menurutnya, jika konflik antara PT
FPIL dengan warga tak kunjung usai. Ia khawatir akan berdampak pada
perusahaan-perusahaan lain dan semakin merugikan pelbagai pihak.
“Kalau tidak selesai, maka hal-hal demikian seperti ini akan terjadi lagi.
Kemudian saya minta perusahaan berkomitmen untuk dapat duduk bersama masyarakat
guna menyelesaikan konflik,” tegas Edi Purwanto.
Edi Purwanto menilai bahwa
perusahaan kelapa sawit kurang kooperatif dalam menyelesaikan konflik. Hal itu
yang menjadi pemicu konflik tersebut.
“Selama ini perusahaan kurang kooperatif ketika diundang Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPRD, sehingga yang diutus bukan pengambil kebijakan dalam persoalan
konflik lahan ini,” imbuh Edi Purwanto kepada wartawan detiksumbagsel.com.