Belajar Toleransi dari Desa Balun

Kamis, 03 Agustus 2023 - 02:02
Bagikan :
Belajar Toleransi dari Desa Balun
Dari halaman Pura Sweta Maha Suci, tampak masjid Miftahul Huda yang hanya terpisah oleh jalan lingkungan selebar 4 meter di Desa Balun, Kecamatan Turi, Lamongan. Dari halaman Pura Sweta Maha Suci, tampak masjid Miftahul Huda yang hanya terpisah oleh jalan

Lamongan, alfikr.id- Tidak butuh waktu lama, perjalanan menuju Desa yang terkenal ramah dan rukun. Sebuah desa kecil di Kabupaten Lamongan bagian tengah, tepatnya Desa Balun Kecamatan Turi. Hanya membutuhkan waktu 14 menit menggunakan sepeda motor dengan jarak tempuh 5,2 km dari pusat kota Lamongan.

Sepanjang perjalanan menuju lokasi, tambak ikan milik warga mengitari jalan poros desa. Terik matahari yang tidak terlalu menyengat menambah penasaran kru untuk mengetahui lebih jauh Desa Balun. Tak terasa kami sudah sampai lokasi, disambut sebuah Gapura bercat merah dan putih yang bertuliskan "Selamat Datang di Desa Pancasila, Desa Balun Kecamatan Turi".

Sebuah desa tua yang sarat nilai sejarah ini masyhur dengan sebutan Desa Pancasila, mengingat masyarakatnya yang beragam. Tiga pemeluk agama yakni Islam, Hindu, dan Kristen hidup berdampingan dengan rukun dan penuh toleransi antara satu dengan yang lain. Sejumlah tempat ibadah pun seperti Pura, Masjid dan Gereja berdiri tegak berjejeran menandakan warganya yang ramah tanpa jarak sekalipun beda keyakinan.

Konon, nama Desa Balun diambil dari nama Mbah Alun. Sosok yang dikenal sebagai Sunan Tawang Alun I atau Raja Blambangan dengan gelar Bedande Sakte Bhreau Arih. Mbah Alun adalah keturunan Minak Lumpat atau Sunan Rebut Payung. Sunan Rebut Payung dalam Babat Sembar adalah keturunan Lembu Miruda dari Majapahit.

Ketika Mbah Alun memerintah Blambangan pada tahun 1633-1639 M, Blambangan mendapat serangan dari penjajah Belanda hingga Kedaton Blambangan hancur. Akibat serangan tersebut, Sunan Tawang Alun I melarikan diri ke Brondong untuk mencari perlindungan dari anaknya yang bernama Ki Lanang Dhangiran atau Sunan Brondong.

Pada saat Sunan Tawang Alun I tiba di Brondong, beliau diberi tempat tinggal di sebuah desa yang bernama Candi Pari. Di desa inilah, beliau mulai menyiarkan ajaran Islam hingga akhir hayatnya (165 M). Sunan Tawang Alun I juga terkenal sebagai waliyullah, hingga namanya diabadikan menjadi sebuah desa Alun yang kini menjadi Desa Balun.

Memasuki tahun 1965 M, banyak masyarakat luar menuduh Desa Balun sebagai pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI). Sehingga masyarakat Balun banyak yang terbunuh. Padahal korbannya sama sekali tidak tahu tentang PKI. Peristiwa tersebut berawal dari kesalahan pelaku pembunuhan anggota PKI yang salah sasaran. Sebagaimana yang dituturkan oleh Sutrisno, sesepuh Desa Balun.

"Ada kesalahpahaman sebenarnya, dari daftar nama orang yang dicari memiliki kesamaan nama. Misalnya Untung yang menjadi sasaran. Tapi yang dibunuh malah orang lain karena kebetulan namanya sama. Padahal nama Untung di Desa Balun saat itu ada sekitar lima sampai tujuh orang," ujarnya kepada ALFIKR.

Lebih jauh, Karena banyaknya pembunuhan warga yang tidak terkontrol hingga terjadi kekosongan aparat pemerintah di Desa Balun. Di tengah kejadian tersebut, adalah Bapak Bati, anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat yang baru pulang dari Maluku dan Irian Jaya ikut mengamankan peristiwa pembunuhan di Desa Balun yang pada akhirnya kerusuhan perlahan mulai reda.

Oleh karenanya masyarakat meminta Bati menjadi Pejabat Sementara (PJS) di desa Balun berkat jasanya mengamankan desa.

Semasa Bati menjabat sebagai PJS, banyak kalangan muslim yang beralih ke aliran kepercayaan Sapto Dharmo. Ketika ia mencalonkan diri dan terpilih sebagai Kepala Desa Balun pada tahun 1967, agama Kristen dan Hindu mulai masuk.

Kemudian, Bati menghimbau masyarakat untuk memilih agama apa saja, asalkan diakui oleh Negara. Akhirnya, penganut aliran Sapto Dharmo beralih ke agama Hindu.

Berawal dari situlah kerukunan terjalin hingga sekarang. Terjalinnya kerukunan antar agama karena ada hubungan keluarga. Di lain sisi pula, sejak masuknya agama Kristen dan Hindu pada tahun 1967 tidak ada konflik. Sehingga masyarakat Balun saling memahami dan menghormati antar umat beragama. Bahkan keputusan seseorang untuk pindah agama pun juga dihormati.

Peran budaya Kenduri, lanjut Sutrisno, juga mendukung. Karena budaya ini mengundang seluruh umat beragama di Balun saat ada hajatan. Meskipun yang diundang dari agama Islam dan Hindu, sedangkan yang punya hajatan orang Kristen. Umat Islam dan Hindu juga mendengarkan ceramahnya.

Senada dengan tokoh agama Islam, Suwito, mengatakan untuk menjaga dan memelihara nilai-nilai toleransi ialah melalui budaya, selain tokoh agama dan pemerintah desa. Sejak dulu leluhur Desa Balun mengajarkan pentingnya toleransi dan penekanan akan persatuan. Begitu pula peran tokoh masing masing agama dan kepla desa secara intern memberikan pemahaman bahwa pentingnya hidup rukun.

"Kalau di Islam sendiri prinsipnya Lakum Dinukum Waliyadiin (agamamu ya agamamu, agamaku ya agamaku) dan pastinya semua ajaran agama itu mengajarkan kepada umatnya masing masing kebaikan, dari sini nanti masing-masing agama itu punya keyakinan bahwa semua agama itu benar, dan baik tapi menurut pemeluknya masing masing," kata Suwito saat ditemui di Warung Kopi.

Suwito juga menuturkan masyarakat Desa Balun mempunyai komitmen untuk saling menjaga kerukunan. Karena nilai toleransi di Desa Balun sudah mendarah-daging, dan anak-anak sejak kecil sudah ditanamkan tentang petingnya perbedaan dalam kesatuan.

Adi Wiyono, selaku tokoh agama Hindu juga mengatakan, bahwa Balun selalu mengedepankan nilai-nilai toleransi dan saling menjaga kerukunan. Serta, diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. "Kami saling memberikan kesempatan kepada umat beragama untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan aturan-aturannya," ujarnya.

"Begitu juga dalam kegiatan keagamaan saling berpartisipasi misal, menjelang hari raya Idul Fitri umat Islam melaksanakan takbir keliling kami dan umat Gereja ikut berpartispasi dalam pengamanan. Ketika umat Kristen merayakan natal kami dan remaja masjid juga ikut berpartisipasi, demikian pula ketika kami gelar acara ogoh-ogoh menjelang hari Nyepi remaja masjid dan remaja Gereja juga ikut berpartisipasi," tambahnya.

Demikian pula, melalui kegiatan Bari'an yang dilaksanakan oleh kepala desa untuk menyokong kerukunan dan mempersatukan semua agama. Kegiatan Bari'an yang digelar pada malam 17 Agustus sebagai ungkapan rasa syukur atas kebahagiaan dan kenyamanan dalam kehidupan sehari-hari selama satu tahun. "Masing-masing membawa makanan dikumpulkan menjadi satu dan saling tukar menukar untuk makan bersama, kumpul bersama, dan merasakan kenikmatan bersama," cerita Khusairi, Kepala Desa Balun ke ALFIKR.

Lanjut Khusairi, acara hari besar keagamaan ketika umat Kristiani merayakan Natal orang Muslim dan Hindu juga ikut berkolaborasi di pengisian jadwal kegiatan yang ada. Begitu pun, ketika bulan Ramadan ikut buka bersama dan hampir semua remaja terlibat.

"Nilai toleransi pada generasi muda sudah tertanam sejak dini, bahkan dalam satu rumah ada dua agama, artinya dalam keluarga pun sudah diajarkan pemahaman pluralisme dan toleransi yang ada, karena masing-masing dari perbedaan ideologi di tingkat keluarga itu sudah terjadi dimulai dini ada satu keluarga dua agama, bahkan tiga agama," tuturnya.

Kita ajarkan nilai toleransi itu bukan hanya sekedar memahami atau menghargai, tambah dia, tapi bagaimana menganggap mereka seperti saudara kita (seiman) yang lain. "Sangat pas sekali jika Balun disematkan sebagai desa Pancasila, terbukti kita hidup nyaman, bergairah menghargai perbedaan, adat istiadat yang ada, dan tempat peribadatan pun juga terlihat berdampingan. Inilah Indonisia kecil yang bisa dicontoh oleh desa lain," jelasnya. 

Sumber: Majalah ALFIKR edisi 32

Penulis: Moh. Syauqi

Penulis
Imam Sarwani
Editor
Imam Sarwani

Tags :