Jawa Timur Terancam Krisis Iklim
Kamis, 14 September 2023 - 11:23alfikr,id. Probolinggo - Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Jawa Timur, sebagai penanda bahwa Jawa Timur tengah menghadapi krisis iklim. Hampir 13 kabupaten/kota di Jawa Timur memasuki fase waspada Karhutla. Mengutip dari data Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jatim, Karhutla hampir terjadi dikawasan hutan produksi, lindung, dan area taman nasional.
“Seperti Situbondo, Bondowoso, Probolinggo, Bojonegoro, Tuban, Mojokerto, Kota Batu, Ponorogo, Nganjuk, Kediri, Ngawi, Lumajang hingga Pasuruan,” tulis WALHI Jatim.
Karhutla di Jawa Timur semakin tahun meningkat, WALHI mengutip dari data yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), di tahun 2018 ada sekitar 8.886 hektar sedangkan pada tahun 2019 meningkat menjadi 10.508 hektar.
“Sementara di tahun ini diperkirakan lebih dari 5.000 hektar hutan yang terbakar sejak bulan Juli hingga September 2023,” tulis WALHI dalam laman websitenya.
Tidak hanya itu, global boiling (pendidihan global) juga menjadi salah satu bukti nyata bahwa krisis iklim nyata terjadi di Jawa Timur. WALHI Jatim, telah melakukan pemantauan dengan bantuan aplikasi dan observasi, hasilnya suhu di Jawa Timur terjadi peningkatan setiap tahun.
“Suhu rata-rata sejak 1901-2010 sekitar 25.62 derajat celcius, lalu meningkat perlahan 2010-2022 sekitar 26 derajat celcius. Lalu puncak suhu terpanas sejak tahun 2000-2010 sekitar 30-31 derajat celcius meningkat tajam hingga 34-36 derajat celcius pada tahun 2010-2023 ini.”
Tak hanya soal Karhutla dan suhu
panas, kondisi kekeringan, bencana banjir dan longsor juga menjadi penanda situasi krisis iklim di Jawa Timur. Sepanjang tahun 2020 sampai 2023 semakin meningkat dan meluas ke pelbagai wilayah.
“Pada tahun 2023 ini ada sekitar 15 kabupaten/kota yang hampir sebagian wilayah mengalami kekeringan serta krisis air, serta dilanda karhutla,” tulis WALHI Jatim.
Pada banyak kasus bencana yang melanda Jawa Timur itu, disebabkan oleh kebijakan yang mengundang krisis iklim, seperti penataan ruang yang menghalalkan alih fungsi kawasan. Selain itu faktor ekonomi, dimana ada upaya land clearing dengan metode membakar.
“Serta lemahnya pengawasan dan penindakan atas bentuk-bentuk pelanggaran pemanfaatan kawasan khususnya wilayah hutan,” WALHI Jatim.