Dilema Hukum Pidana Mati di Indonesia

Rabu, 20 September 2023 - 00:15
Bagikan :
Dilema Hukum Pidana Mati di Indonesia
Ilustrasi hukum pidana mati. [Sumber foto: hukumonline.com]

alfikr.id, Probolinggo-  Indonesia menjadi salah satu negara yang masih mempertahankan hukuman mati. Mengutip dari cnnindonesia.com, Amnesty International Indonesia (AII) mengungkapkan vonis hukuman mati di Indonesia masih tinggi pada 2022 lalu yakni 112 vonis.

Sebagian besar vonis mati itu dijatuhkan kepada terdakwa kasus narkoba. Berdasarkan data dari Amnesty pada tahun 2021 AII mencatat ada 114 vonis, ditahun 2020 ada sebanyak 117 vonis hukuman mati.

Dilansir dari news.okezone.com, pada tahun 2023 terdapat 57 terdakwa dalam kasus peredaran gelap narkotika dan zat adiktif (narkoba). Ada 52 terdakwa sudah dijatuhi vonis pidana mati sesuai dengan tuntutan jaksa di pengadilan.

Vonis hukuman mati sedari awal telah mengundang pro dan kontra. Pasalnya, Indonesia sebagai negara hukum secara formal memegang teguh terhadap undang-undang atau pasal yang menjelaskan tentang hukum pidana mati. Tetapi hal itu tidak serta merta berbagai macam kalangan menerimanya, terutama dari kalangan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM).

Para aktivis HAM itu menegaskan, di dalam UUD HAM No. 39 Tahun 1999 dijelaskan, bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar secara kodrati melekat pada diri manusia, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, tidak boleh diabaikan, dikurangi dan dirampas oleh siapa pun.

Menukil dari majalah ALFIKR, Ketua Bidang Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Basuki, terdapat dua pandangan yang harus dipahami terlebih dahulu dalam menerapkan hukuman mati. Satu sisi, sebagai makhluk yang memiliki kebebasan, manusia dituntut untuk mempertanggung jawabkan segala tingkah lakunya di muka hukum. Disisi lain, manusia juga sebagai makhluk yang segala tindak tanduknya telah ditentukan sesuai kehendak Tuhan.

“Oleh karenanya, kembali kepada kebijakan negara itu sendiri. Termasuk Indonesia yang masih menganggap hukuman mati relevan diterapkan,” jelas Basuki.

Menurut Basuki, vonis hukuman mati harus benar-benar memberikan efek jera bagi pelaku, agar mampu menciptakan stabilitas nilai-nilai moral masyarakat yang telah goyah. “Pembentuk undang-undang harus mempertimbangkan bahwa dengan hukuman berat, maka diharapkan masyarakat akan mematuhinya, artinya setiap undang-undang yang mengharapkan masyarakat patuh hukumannya harus berat,” imbuhnya.

Segendang sepenabuhan dengan Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Musta’in,  Menurutnya segala bentuk kejahatan yang membahayakan, terutama yang menyebabkan lenyapnya nyawa seseorang harus dihukum seberat-beratnya. Karenanya pemerintah tidak cukup hanya menggunakan hukum yang efek jeranya minim. Hal ini agar masyarakat bertindak sesuai dengan kaidah yang berlaku di tengah masyarakat.

“Bagian penting adalah pesan dari hukuman mati itu sendiri kepada masyarakat. Sehingga orang akan berpikir dua kali ketika akan melakukan tindakan-tindakan yang masuk dalam kategori pelanggaran berat. Persoalan ditaati atau tidak, negara tidak lagi bisa disalahkan,” ujarnya.

Penulis
M. Rusydi Ilman Huda
Editor
Agus Wahyudi

Tags :