Nestapa Nelayan Akibat Kerusakan Lingkungan

Jum'at, 19 Januari 2024 - 17:48
Bagikan :
Nestapa Nelayan Akibat Kerusakan Lingkungan
Parkir perahu nelayan tradisional Desa Bhinor di sekitar wilayah PLTU Paiton. [alfikr.id/Abdul Haq]

“Nelayan di pesisir Kabupaten Probolinggo merasakan dampak langsung akibat perubahan iklim. Diperparah oleh kerusakan lingkungan akibat aktivitas industri.”

alfikr.id, Probolinggo-“DULU BAPAK (SAYA, RED) INI pernah dapat ikan kerapu I kuintal 4 kg. Tetapi yang tarik empat orang. Ya tarik tambang sistemnya sudah. Kalau ikannya ngelawan terus, ditarik sudah. Jangan mengikuti ikan. Kalau nggak ditarik, ikannya masuk ke dalam terumbu karang. Ya tarik tambang sudah kalau dulu itu kuat kuatan. Untung-untungan sudah,” kenang salah satu nelayan tradisional asal Desa Bhinor, Kecamatan Paiton, Probolinggo, Jawa Timur yang enggan disebutkan namanya. “Itu dulu. Tapi sekarang sudah nggak ada.”

Pria yang menjadi nelayan tradisional sejak 1996 lalu, merasakan dengan jelas soal berkurangnya hasil tangkapan dibandingkan dengan sebelumnya. Penyebabnya beragam, dari faktor alam, menjamurnya alat tangkap pukat harimau yang membuat terumbu karang rusak, serta pencemaran lingkungan oleh industri. Kini ia harus puas dengan hasil tangkapan rata-rata lima hingga enam kg. Paling banyak hanya 10 kg.

Keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Paiton, kata Muhammad, turut menyumbang rusaknya ekosistem pesisir dalam beberapa tahun terakhir. Fly ash (abu terbang) dari pembangkit listrik yang bertebaran di laut membuat nelayan semakin merana. Bahkan pagar batu bara di kapal pernah putus dan rusak dihantam ombak. “Batu baranya berjatuhan,” kata dia, Agustus 2021 lalu.

Kusmawardani, salah satu petani garam di pesisir Kalibuntu, Kecamatan Kraksaan, Kabupaten Probolinggo, mengaku sangat berdampak oleh iklim yang kian tidak menentu. Dampaknya masa panen jadi tak lagi menentu. “Biasanya bulan lima itu sudah panen. Itu (masa panen, red) kan tergantung musim panasnya. Harusnya bulan lima sudah mulai hujan. Ini gak turun,” kata dia saat ditemui ALFIKR, September 2021 lalu.Ancaman lain yang dialami oleh petani garam seperti seperti Kusmawardani adalah dari banjir rob. Kalau itu terjadi, kata dia, “Hilang sudah. Tidak panen kalau air naik.”

Petambak garam di Desa Randutatah, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo juga merasakan dampak akibat perubahan iklim. [alfikr.id/Zulfikar]

Degradasi lingkungan yang terjadi di pesisir Kabupaten Probolinggo disebabkan oleh banyak faktor. Ada soal perubahan iklim, pembangunan dan limbah industri, penurunan muka tanah, penebangan mangrove, hingga penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Permasalahan tersebut yang membuat nelayan dan masyarakat pesisir menjadi korban pertama. Ancamannya adalah terhadap perekonomian.

Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Afdillah, membenarkan bahwa banjir rob dan abrasi dipicu kondisi iklim yang tengah mengalami krisis. Kenaikan muka air laut yang sangat signifikan, kata Afdillah, adalah bukti nyata perubahan iklim. Cuaca dan musim yang makin sulit diprediksi akibat perubahan iklim itu semakin memperparah kehidupan ekonomi masyarakat.

Ketua Harian DPP Kesatuan Tradisional Indonesia (KNTI) Danny Setyawan, mengatakan masalah perubahan iklim berdampak terhadap ketersediaan ikan di laut. Soal ini tentu menjadi ancaman terhadap nelayan kecil. “(Kalau dulu, red) nelayan sudah tahu di berapa mil mereka bisa dapat ikan. Itu sudah bisa dipastikan. Sekarang kan tidak,” kata dia kepada ALFIKR via telfon, September 2021 lalu.

Tantangan lain yang juga dihadapi nelayan, kata Danny Setiawan, adalah kondisi cuaca ekstrem yang memang itu bisa jadi disebabkan oleh krisis iklim. “Cuaca ekstrem akibat perubahan iklim mestinya harus diantisipasi oleh negara,” katanya. Ia menilai nelayan dihadapkan pada dua hal yang sama-sama berat. “Melaut di saat cuaca ekstrem beresiko kecelakaan kerja di laut. Tidak melaut mereka tidak dapat duit,” tambahnya.

Di samping berkontribusi pada berkurangnya ikan di laut, keberadaan PLTU juga memperparah kondisi iklim. Seperti jamak diketahui bahwa krisis iklim saat ini disebabkan oleh emisi gas karbon yang dihasilkan oleh sejumlah sektor utama, mulai dari perusakan hutan (deforestasi), kebakaran hutan, penggunaan energi berbasis fosil (seperti PLTU batu bara), dan transportasi. Emisi itu mendorong kenaikan suhu bumi, yang buntutnya ke cuaca tak menentu dan bencana yang makin parah.

Infografis: Agus Wahyudi

Heny Wulandari, Kepala Seksi Pemberdayaan Nelayan Dinas Perikanan Kabupaten Probolinggo mengaku tidak mengetahui dan tidak paham terkait adanya pandangan bahwa limbah PLTU merusak lingkungan perairan, termasuk keberadaan ikan. “Saya juga gak berani memberikan informasi,” kata dia pada ALFIKR.Ia mengatakan, kerusakan lingkungan itu disumbang oleh bertambahnya penduduk dan nelayan serta penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. “Itu bisa berpengaruh juga. Tetapi kalau terkait PLTU saya juga masih kurang paham.Apa saya yang kurang mengikuti atau gimana?” dalihnya.

Menurut Heny, ketersediaan ikan di pesisir Binor yang berdampingan dengan PLTU itu masih melimpah. “Karena mereka (nelayan, red) nggak mau ada jaring. Tidak ada nelayan satu pun yang menggunakan jaring. Itu salah satu cara mereka untuk meningkatkan produksi ikan di sana,” kata dia. 

Pengalaman nelayan menunjukkan fakta yang berbeda. Cerita yang disampaikan nelayan Bhinor, misalnya. Ia dan beberapa nelayan lainnya terpaksa mengambil pekerjaan sampingan menjadi ojek kapal. Sebagian ada yang bekerja menjadi karyawan di PLTU. Salah satu alasannya karena polusi dari PLTU menyebabkan ikan-ikan semakin sedikit dan sulit ditangkap.

Menyikapi kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh tumpahan batu bara PLTU Paiton, Koalisi Laut Biru menggelar aksi damai di perairan sekitar objek vital nasional itu pada 30 November 2020 lalu. Koalisi ini terdiri dari Pokmaswas Keranji Bhinor, Lembaga Format for Green, Yayasan Sekola Konang Indonesia, dan LSM Lira Kabupaten Probolinggo.

Berdasarkan temuan Koalisi Laut Biru, telah terjadi kerusakan ekosistem laut yang disebabkan oleh tumpahan batu bara di sekitar area dermaga PLTU Paiton. Diperkirakan tumpahan tersebut sebanyak 19.000 ton dengan ketinggian batu bara empat meter, lebar 26 meter dan panjang 90 meter.

Anton Marsono, Ketua kelompok Masyarakat Pengawas Keranji Paiton menjelaskan, tumpahan batu bara itu telah ada selama unit 7-8 berdiri. Ia menyatakan, dampak tumpahan batu bara itu belum dirasakan dengan pasti. “Tetapi di pinggiran Gate Transporter (GT) unit 7 dan 8, terumbu karangnya kurang bagus,” kata dia seperti dilansir Radarbromo.com.

Widya Tresna Utami, perwakilan PT Paiton Energy membantah tudingan merusak lingkungan. Ia mengatakan, perusahaan operator PLTU Paiton ini memenuhi standar lingkungan dan keselamatan nasional serta internasional. “Semua dampak lingkungan yang disebabkan pengoperasian pembangkit listrik telah sesuai dengan standar yang ada dan peraturan yang berlaku,” kata dia dalam keterangan tertulisnya yang dilansir Kompas.com.

Di samping itu, kata Widya, PT Paiton Energy menggunakan teknologi ramah lingkungan, berkualitas tinggi dan teruji yang dibangun oleh produsen berkualitas. Super Critical Boiler Technology yang mampu memberikan efisiensi lebih tinggi, konsumsi bahan bakar lebih rendah, dan mampu menurunkan emisi karbon Co2,” ujarnya.

Merosotnya lingkungan hidup di pesisir Probolinggo, kata Danny Setiawan, kian diperparah dengan alat tangkap yang merusak ekosistem laut. Munculnya kapal-kapal besar dengan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan menyebabkan ikan-ikan di perairan daerah pesisir itu semakin langka. “Alat tangkap mereka itu mengambil saja. Terumbu karang juga rusak,” ujarnya. Kontestasi ruang antara nelayan besar dan nelayan kecil semakin memperburuk keadaan. Bahkan tak jarang konflik horizontal antar sesama nelayan.

Kusnadi, Peneliti Institute for Maritime Studies Universitas Jember menyatakan, laut di Selat Madura kini dalam kondisi overfishing. “Jumlah nelayan banyak, tetapi ikannya sedikit,” kata dia saat dihubungi ALFIKR September 2021 lalu. Dalam salah satu penelitiannya pada tahun 2018, ia melihat bahwa modernisasi perikanan yang dilakukan pemerintah pada awal tahun 1970-an merupakan tonggak yang bersejarah untuk menggenjot produktivitas hasil tangkap dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan. Tetapi itu ada dampak buruknya.

Modernisasi perikanan yang berjalan hampir setengah abad (1970-2018) melalui penggunaan teknologi motorisasi perahu dan alat tangkap berkontribusi pada peningkatan eksploitasi sumberdaya perikanan di Selat Madura. “Modernisasi tersebut telah meninggalkan residu,” kata Kusnadi kepada ALFIKR.Akibatnya terjadi kelangkaan sumberdaya perikanan, yang itu berdampak pada kemerosotan produktivitas ikan hasil tangkapan dan penurunan pendapatan nelayan. Dampaknya, kata dia, “Kelestarian kemiskinan.”

Perempuan nelayan di Kecamatan Pajarakan tengah mengolah ikan menjadi kerupuk. [alfikr.id/Abdul Razak]

Kusnadi menambahkan, faktor lain yang juga mempercepat kerusakan lingkungan adalah pemakaian jaring yang merusak lingkungan seperti pukat harimau, mini trawl. Tantangan lainnelayan adalah kadang-kadang tidak bisa melaut sepanjang bulan karena tiba-tiba angin kencang, ombak besar walaupun tidak ada hujan. “Itu semua terjadi karena perubahan iklim, sehingga itu juga mengurangi jumlah pendapatan mereka,” tambahnya.

Perairan Selat Madura, kata Kusnadi, tak hanya dieksploitasi potensi perikanan tangkapnya. Ada penambangan pasir laut untuk bahan bangunan. Hutan mangrovenya juga ditebang untuk perumahan dan pertambakan. Beban lain yang ditanggung dan tak kalah berbahaya dampaknya adalah sampah. “Kawasan Selat Madura juga diposisikan sebagai bejana yang luas untuk menampung berbagai jenis limbah yang dihasilkan oleh kegiatan warga dan industri atau pabrik, dari yang berskala kecil sampai dengan industri besar,” ujarnya. []


Sumber: Majalah ALFIKR edisi 34

Reporter: Abdul Razak, Mundir Mufidi, Abdul Haq

Penulis: Abdul Haq 

Penulis
Adi Purnomo S
Editor
Adi Purnomo S

Tags :