Memilih Pemimpin
Sabtu, 03 Februari 2024 - 00:56alfikr.id, Probolinggo- Rakyat betul-betul mendapat haknya untuk menentukan nasibnya sendiri dengan
memilih pemimpin dan para wakil rakyat. Karena itu Pemilu di era Reformasi ini
telah menjadi ajang kegembiraan bagaikan pesta.
Pada saat menjelang hari pencoblosan, rakyat sebagai pemegang kedaulatan
negara diperlakukan bak raja, disenangkan hatinya melalui sapaan penghormatan,
pemberian fasilitas dan bantuan, atau (minimal) janji-janji demi mendapat
dukungan. Akibatnya banyak yang terpedaya oleh janji-janji yang sering hanya
merupakan rayuan gombal. Bila hal itu terjadi, akibatnya bisa fatal dan
berkepanjangan.
Waktu yang hanya beberapa detik ketika kita berada di bilik pencoblosan
akan menentukan baik-tidaknya nasib lima tahun ke depan, bahkan bisa saja lima
tahun berikutnya, mengingat, penguasa akan cenderung mempertahankan
kekuasaannya.
Namun sikap hati-hati dan waspada harus tetap dalam batas kewajaran dan
tidak perlu berlebihan agar tidak terjerumus ke dalam sikap was-was dan
ketakutan. Kalau berkepanjangan, akan menimbulkan apatisme atau tindakan
ekstrem lain sebagai bentuk peralihan dari tanggung jawab dan dapat merugikan
diri dan masyarakat.
Pertanyaannya, apa sikap dan tindakan yang harus kita ambil?
Sebagai warga negara, kita harus ikut bertanggung jawab dengan ikut
mengontrol perjalanan pemerintahan. Meski sifat amanah merupakan barang langka
pada zaman ini, tapi bukan berarti kita boleh pesimis. Barangkali langkanya
sifat amanah ini mungkin bisa diimbangi dengan sistem kontrol yang memadai,
baik melalui lembaga-lembaga formal, seperti MPR, DPR, lembaga peradilan
kepolisian, maupun nonformal, seperti media massa, penyampaian aspirasi melalui
media komunikasi dan publikasi, bahkan melalui unjuk rasa, yang dijamin
undang-undang.
Karena itu, tidak selayaknya kita mengaba ikan hak konstitusional, hanya
karena khawatir pemilu tidak dilakukan dengan jujur dan baik. Masih lebih baik
pemimpin yang ditentukan melalui mekanisme pemilihan, ketimbang masyarakat yang
kacau dan anarkis karena tidak adanya seorang pemimpin yang diakui dan ditaati.
Tentu dalam hal ini, kita
bersikap hati-hati agar tidak salah pilih. Kita juga harus menggunakan hati
nurani dengan memilih calon yang amanah dan jangan sampai terbuai janji-janji,
bahkan oleh pemberian fasilitas dan bantuan-bantuan instan.
Banyak para pejabat publik yang
semula dielu-elukan, tapi akhirnya berurusan dengan penegak hukum dan masuk
penjara. Terjadinya perilaku jelek pejabat tersebut tidak selalu bersumber dari
sifat jelek diri mereka. Banyak yang semula orang baik, namun ketika terjebak
dalam kondisi yang berat yang menekan batin, kehilangan kontrol diri dan akal
sehatnya, sehingga melakukan perilaku jahat yang bukan saja merugikan orang
lain tapi juga merugikan dirinya.
Maka baik-tidaknya pemimpin yang
kita pilih, juga ditentukan oleh perilaku kita, mulai saat mereka mencalonkan
diri sampai menjabat. Misalnya, sering kita menuntut para pemimpin dan wakil
kita sesuatu yang di luar kewewenangan dan kapasitas mereka, misalnya meminta
bantuan materi, uang, atau lainnya. Para pejabat publik bukanlah seorang
pengusaha dan tidak sedang berbisnis dengan jabatannya.
Sebagai pejabat, mereka hanya berkewajiban memberikan pelayanan sesuai
tugas jabatan mereka. Tidak selayaknya kita meminta fasilitas selain pelayanan
sesuai tugas mereka. Jika misalnya kita minta sumbangan uang atau bentuk materi
yang lain, maka ada dua kemungkinan. Jika dia teguh berpegang pada prinsip
kebenaran, dia akan menolak permintaan kita dan tentu kita akan kecewa dan akan
menarik dukungan kepada mereka. Kemungkinan yang kedua bisa saja, pertahanan
mental mereka jebol dan mereka memilih memenuhi permintaan kita walaupun harus
melanggar rambu-rambu aturan dan norma, baik formal maupun non formal.
Tentu, kita senang karena keinginan itu dipenuhinya. Tapi mereka tentu
tidak mau rugi ketika memberi apa yang kita minta, demi menyenangkan dan terus
mendapat dukungan kita. Mereka bisa saja menggadaikan jabatan kepada orang lain
yang tidak berhak, misalnya berkolusi dengan pengusaha yang memfasilitasi si
pejabat, dengan imbalan pemberian proyek yang berada di bawah kewenangannya,
walaupun harus melanggar aturan dan prosedur yang benar. Bisa ditebak bahwa
yang dirugikan pada akhirnya adalah rakyat dan negara.
Bahkan bisa saja si pejabat itu menyunat, atau bahkan merampok habis, hak-hak rakyat yang seharusnya diterima secara utuh. Selain itu, tentu kita hendaknya selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan banyak berzikir dan berdoa agar selalu dibimbing oleh-Nya, sehingga kita tetap berjalan di jalan-Nya dengan selalu melakukan hal-hal baik yang diridhoi-Nya dan menjauhi hal-hal jelek yang dimurkai-Nya, termasuk dalam menggunakan hak kita dalam memilih pemimpin dan wakil-wakil kita. Semoga. Wallahu a’lam bishshawab.
*Tulisa KH. Moh. Zuhri Zaini, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid di Majalah INTEGRITO VOL 47/VII (Oktober 2015).