Membaca dan Menulis Ulang Madura

Sabtu, 06 Juli 2024 - 01:07
Bagikan :
Membaca dan Menulis Ulang Madura
Cover depan buku ini menggambarkan tradisi yang kerap identik dengan orang Madura yaitu kerapan sapi. [Alfikr: Alghazali]

alfikr.id, Probolinggo- Sedikit berlebihan bila dikatakan seluruh masyarakat Indonesia memandang Madura identik dengan sebuah kekerasan. Pulau yang penuh cerita dan sejarah ini seringkali masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat diluar Madura. Dalam buku sejarah sendiri, Madura kerap ditulis sebagai bagian yang terpinggirkan. 

Salah satu buku karangan Prof. Dr. Kuntowijoyo telah membahas panjang lebar sejarah masyarakat Madura dari kurun waktu 1850-1940. Dalam buku ini, Prof. Dr. Kuntowijoyo telah meletakkan  Madura secara hierarki di bawah pulau Jawa. Ia juga menuliskan aspek sosial, ekonomi, dan politik pulau Madura cenderung bergantung pada Jawa.

Syaiful Anam, seorang intelektual muda asal Madura, menyumbang perspektif baru dalam studi sejarah lokal Indonesia. Melalui bukunya yang berjudul Demadurologi: Manusia Madura, Kemewaktuan, dan Memori ia mengajak pembaca untuk lebih kritis lagi terhadap narasi sejarah yang sudah baku.

Lebih khusus, buku karangan Syaiful Anam ini hadir untuk menyangkal narasi sejarah pada karya Prof. Dr. Kuntowijoyo, yang baginya masih bersemayam bias kolonial. Walaupun tidak sedikit buku berlatar belakang sejarah yang mengidentifikasi Madura dengan kekerasan, contoh kecilnya penulisan watak keras orang Madura pada sosok Darsam di novel Bumi Manusia yang ditulis Pramoedya Ananta Toer. 

Secara tidak langsung, Syaiful Anam bermaksud untuk menyangkal bias yang ada pada narasi sejarah sekaligus pandangan para peneliti Madura yang kebanyakan melihat Madura dari aspek luar saja. Hal ini menjadi nilai unggul bagi Anam yang berusaha membaca dan menulis Madura dari dalam.

Berdasarkan pengalaman penulis sebagai subjek dari Madura, telah berhasil memposisikan dirinya menulis dalam kerangka emik. Tidak seperti kebanyakan para peneliti lainnya yang menulis Madura menggunakan posisi etik—yang cenderung berjarak.  

Dalam pengantar buku ini, penulis memulai dengan menjelaskan bagaimana imajinasi dirinya tentang Madura terbentuk, setidaknya ada tiga elemen utama. Pertama, narasi lisan yang tersebar di kalangan keluarga dan masyarakat umum. Kedua, kontribusi monumen dan dokumen mengenai Madura dalam membentuk pandangannya. Ketiga, penulis menyadari bahwa pengalaman pribadinya juga memainkan peran penting dalam membentuk citra Madura dalam pikirannya. 

Sebagai gugus kehidupan maritim di Indonesia, Madura memiliki kecenderungan-kecenderungan yang berbeda dengan mayoritas kehidupan masyarakat yang secara geografis dipetakan sebagai wilayah agraris oleh kolonial. 

Di samping itu, buku ini menjabarkan tentang bagaimana proses konstruksi pengetahuan sosial dan humaniora. Melalui pemikiran Gidens dan metode Mnemohistory, penulis telah membangun analisis yang begitu tajam melihat narasi sejarah dan realitas Madura. 

Perlu di ketahui bahwa metode Mnemohistory merupakan hal baru dalam studi sejarah kontemporer. Tujuan ini dilakukan penulis supaya bisa merekonstruksi pandangan mengenai Madura serta menghadirkan hipotesis baru. 

Dengan memadukan ingatan kolektif dan hermeneutika Giddens. Demadurologi mencoba mengajak pembaca menghadirkan ingatan subjek sejarah Madura di masa lampau pada masa kini. Hingga membuat pembacaan terhadap sejarah Madura menjadi hidup. 

Penulisan sejarah di Indonesia, khususnya sejarah lokal cenderung penuh dengan kronik. Bahwa sejarah, menurut penulis, sangat berkaitan dengan kekuasaan. Hal itu dapat dilihat dari corak penulisan sejarah pada setiap rezim yang berbeda dan bahkan, tidak menutup kemungkinan jika narasi sejarah di tulis bersama kepentingan suatu rezim. 

Oleh sebab itu, dampak campur tangan kepentingan politis dalam cerita sejarah menitikberatkan pada pencapaian konsesus warga negara termasuk mengabaikan narasi sejarah yang dianggap tak sejalan dengan versi penguasa. 

Ini bisa di artikan narasi sejarah yang mungkin kontroversial dan bertentangan dengan pandangan politik dominan, bisa di jauhkan atau dihapus dari pengamatan publik. Pada akhirnya, narasi sejarah lokal yang kontroversial hanya akan dikenal dengan cerita rakyat biasa. Dalam pemikiran penulis, terlihat jelas betapa penting perspektif lokal dalam melakukan pandangan dunianya. 

Beberapa catatan mengamati bahwa pendapat dari luar terhadap Madura seringkali terjebak pada stereotipe, dan mencerminkan sudut pandang yang terlalu berjauhan dari pusat peristiwa.  Paradigma ini justru membuka pintu untuk refleksi lebih lanjut tentang bagaimana kita seringkali sebagai pengamat dari luar, selalu terpengaruh oleh gambaran-gambaran umum yang mungkin tidak mencerminkan kompleksitas keadaan dari suatu komunitas atau budaya. 

Dari teks-teks sejarah yang sudah ada dan di anggap baku. Syaiful Anam berusaha untuk mendekonstruksi hal tersebut dengan menunjukkan sebenarnya penulisan mengenai Madura belum sampai selesai dan harus di rekonstruksi kembali. Termasuk Buku yang baru diterbitkannya ini. 

Terlepas dari kekurangan dan kelebihan buku ini, penulis mengajak para pembaca untuk menghilangkan pandangan konvensional yang telah lama melekat pada Madura. Buku ini menjadi bacaan segar bagi pemerhati sejarah maupun khalayak umum.

Terakhir, di halaman akhir buku Demadurologi telah di lengkapi dengan catatan editor. Kekurangan ataupun saran dari tim editor kepada penulis, dapat diketahui oleh pembaca. Hal tesebut menjadikan buku ini lebih menarik dan transparan. 

Judul Buku : Demadurologi: Manusia Madura, Kemewaktuan dan Memori

Penulis : Syaiful Anam

Prolog : Eros Djarot

Cetakan : September, 2023

Penerbit : Edisi Mori

Tebal : 232 Halaman

Peresensi : Weliya Alfin Robeth Khoironi

Penulis
Khoirul Anam
Editor
Adi Purnomo S

Tags :