Patriotisme Pejuang Tomia dalam Tari Eja-Eja

Kamis, 18 Juli 2024 - 06:26
Bagikan :
Patriotisme Pejuang Tomia dalam Tari Eja-Eja
Tari Eja-Eja, tarian perang yang diperagakan oleh anak-anak Sekolah Dasar (SD). [Sumber Foto: Dokumen Desa Timu]

“Pertunjukan tarian Eja-Eja saat ini lebih besar tujuan komersialnya. Ada kesan yang penting tampil, sehingga tak bisa dinikmati karena ditampilkan bukan dengan sempurna”. Berikut Laporan wartawan ALFIKR La Eni, di Majalah edisi 20.

alfikr.id, Wakatobi- Dua orang panglima perang dengan gagah memasuki sebuah arena. Tangannya memegang sembilah pedang dan perisai. Ratusan anak buahnya mengikuti di belakang dengan membawa senjata.

Di tengah-tengah arena, salah satu diantara kedua panglima memberi instruksi kepada para prajurit menggunakan gerakan tangan untuk duduk (seperti para pelari maraton yang sedang mengambil start) layaknya orang yang sudah siap sembari mengambil ancang-ancang maju dan menghantam.

Sambil mengangkat kedua belah tangan, sang panglima berteriak lantang dengan bahasa sandi yang tidak dipahami oleh siapapun di luar mereka. Leleko atau teriakan itu dijawab oleh anak buahnya “lee” sambil mengikuti gerakan badan panglima. Perang akan segera dimulai.

Pasukan perang yang diperankan oleh pelajar Sekolah Dasar (SD) itu melakukan adegan tarian yang menyimbolkan patriotisme para pejuang Pulau Tomia, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara sambil bernyanyi “Eja-Eja ilammari eja-eja, eja bajunna kamummu nampasa koa (Bahasa Makassar)”. Tarian dan nyanyian itu terdengar rancak sambil diiringi suara gamelang, gendang dan gong, alat musik tradisional Tomia yang ditabuh bertalu-talu.

Tari Eja-Eja, tarian perang yang diperagakan oleh anak-anak Sekolah Dasar (SD). [Sumber Foto: Dokumen Desa Timu]

Itulah gambaran adegan tari Eja-Eja atau tari Sajo Moane, sebuah tari tradisional yang diciptakan oleh La Ode Muslihin dan La Ode Rotadi, para seniman tari suku Tomia. Tarian itu, sengaja diciptakan sebagai media agar generasi muda Tomia masa kini memperoleh gambaran patriotisme pejuang mereka dalam mempertahankan hak dari penjajahan Belanda.

Eja-Eja dalam bahasa masyarakat setempat berarti “mengejek”. Dalam tarian itu diperagakan dua kelompok yang saling bergesekan dengan alat perang yang mereka kenakan. Setiap kelompok yang terdiri dari dua baris itu sama-sama mengadu kekuatan untuk saling menjatuhkan.

Menurut pengampu tari Eja-Eja, Mukhtar, tari yang diakhiri dengan parade silat itu merupakan simbol penggabungan dua budaya dari dua kerajaan besar, yakni Kerajaan Goa Makassar dan kesultanan Buton. Pada masa lalu, bergabungnya dua kerajaan itu membentuk satu kekuatan besar dalam melawan penjajahan Belanda.

“Sebagai simbol kerjasama membangun kekuatan itu, disepakati untuk menciptakan satu media yang bisa dijadikan alat untuk lebih mempererat hubungan kedua kerajaan, salah satunya berupa kesenian tari,” kata Mukhtar, kepada ALFIKR yang menemuinya di kediamannya September lalu.

“Dan dalam tarian itu, kedua kerajaan sama-sama ikut andil. Kerajaan Goa Makassar menyumbang lirik lagu tari sementara gerakannya berasal dari kesultanan Buton,” lanjutnya.

Karena itu, dari bahasa yang digunakan untuk nama maupun adegannya, tari ini menggunakan bahasa Makassar yang merupakan bahasa suku Bugis di Pulau Tomia sementara gerakan dalam adegannya sangat mirip dengan tari cakalele dari Ambon.

Pakar budayawan Tomia, La Ode Rahman mengatakan tari Sajo Moana merupakan tarian dua kerajaan, yakni kesultanan Buton dan Kerajaan Goa Makassar. Dua kerajaan itu bersepakat untuk mempererat hubungan persaudaraan dan kerjasamanya, salah satunya melalui tarian kolosal tersebut.

Tarian yang juga disebut sebagai tarian penyambut, itu juga digunakan kedua kerajaan sebagai suguhan penyambutan kehormatan Kerajaan, seperti pejabat pemerintah dan tamu penting lainnya. “Terkadang juga digunakan untuk menyambut tamu-tamu resmi dari luar negeri yang berkunjung ke Buton maupun Makassar,” kata Rahman.

Hanya saja, tarian itu kini lebih sering digelar oleh kesultanan Buton khususnya di wilayah Timur daripada Kerajaan Goa, sehingga tarian ini lebih dikenal sebagai tarian khas Desa Timo yang berada di wilayah kesultanan Buton.

Menurut La Ode Rahman, saat ini keberadaan tarian ini seperti di ujung tanduk. Meskipun sering dipertunjukkan, namun dalam beberapa adegan sudah bercampur dengan kreasi baru, sehingga keasliannya sudah mulai luntur, sehingga ruh tarinya mulai hilang.

“Selain itu, saat ini pertunjukan yang digelar lebih besar tujuan komersialnya. Ada kesan yang penting tampil, sehingga tarian menjadi tidak bisa dinikmati karena ditampilkan bukan dengan sempurna,” ujar Rahman.

Kini, selain berharap pada generasi muda agar peduli dengan kesenian tradisionalnya daripada kesenian lain yang tidak memiliki hubungan dengan akar tradisi, harapan juga ditunjukkan kepada pemerintah agar memfasilitasi tumbuhnya sanggar-sanggar kesenian sebagai salah satu bentuk kebudayaan. “Siapa lagi yang akan menjaga kalau bukan kita, para generasi penerus dan pemerintah?” tegas Rahman.
Penulis
Ibrahim La Haris
Editor
Zulfikar

Tags :