Sundrang dan ‘Harga’ Perempuan di Pulau Masalembu
Kamis, 25 Juli 2024 - 16:14Hukum adat dalam tradisi Sundrang menjadi suatu kewajiban
untuk mengikat perjodohan. Pada esensinya harga perempuan adalah simbol
kehormatan di Pulau Masalembu. erikut laporan wartawan ALFIKR Heriyadi/Dian
Prasetya di majalah edisi 33.
Alfikr.id, Sumenep-Kabupaten Sumenep bisa dikata
berbeda dengan tiga saudaranya lainnya, yaitu Pamekasan, Sampang dan Bangkalan
walau sama-sama anak kandung Madura. Kabupaten yang berada di ujung timur Pulau
Madura ini adalah kawasan yang mempunyai sejuta tradisi dan kebudayaanya.
Salah satunya ada di Kabupaten Sumenep, Kepulauan Masalembu,
mereka menyebutnya tradisi Sundrang; simbol kehormatan perempuan bagi tiga suku
di pulau tersebut (Bugis, Mandar dan Madura). Adat Bugis dan Mandar memaknai
istilah Sundrang berarti sompa (sumpah) atau mahar dalam Islam. Kesamaan
makna Sundrang disebabkan ciri khas kedua suku yang sudah melekat dari dari
tanah asalnya. Namun berbeda dengan masyarakat Madura, mereka mengartikan maskabin
yang artinya maskawin.
Usman, sesepuh Suku Bugis di Pulau Masalembu menyatakan,
“ada yang bilang Sundrang itu seperangkat alat salat, tapi itu tidak bisa
disebut dengan mahar karena yang dinamakan Sundrang itu sendiri adalah harganya
si perempuan,” ujarnya pada ALFIKR.
Besarnya nominal atau bagusnya Sundrang dipengaruhi status
sosial. Semakin tinggi pangkatnya maka semakin besar, begitu pula kecantikan paras
seorang juga mempengaruhi. Dan terkadang, hal tersebut digunakan sebagai sarana
penolakan secara tidak langsung dengan cara melambungkan nominalnya, hingga si
laki-laki tak lagi dapat menyanggupinya.
Dalam artian, pematokan Sundrang yang tinggi ini dilakukan
keluarga pihak perempuan untuk menolak lamaran dari seorang laki-laki. Salah
satu alasan, rendahnya status sosial seorang laki-laki, atau karena alasan yang
lain keluarga tidak menginginkannya.
Sundrang adat Bugis dan Mandar pada awalnya mengenal dua
kategori: 88 real sundrang untuk orang didarang (rakyat biasa) dan 180
real untuk tinggi darah (darah bangsawan). Sementara Suku Madura tidak
begitu bergantung pada nominal sundrang.
Hanang, tokoh masyarakat Suku Mandar di Masalembu
menjelaskan, “dulu, 180 real itu kisaran 500 sampai 600 ribu, itu dulu,
kadang-kadang ada juga yang memakai emas sebesar 5 gram, atau sesuai dengan
permintaan pihak perempuan,” ungkapnya.
Status sosial dalam Sundrang bagi masyarakat Masalembu
bukanlah hal yang bisa ditawar. Seorang perempuan tinggi darah memilih jadi
perawan tua kenimbang harus menikah dengan nominal Sundrang yang sedikit.
Berbeda dengan perempuan didarang, jika sundrangnya
tidak mampu ditebus oleh pihak laki-laki dan di lain sisi keduanya saling
mencintai, maka mereka dapat menikah dengan jalan silaiyyan (jalan
singkat untuk menikah). Tetapi hal tersebut dianggap sebagai strata paling
bawah dari sebuah tahapan pernikahan.
Hanang menjelaskan, proses pemberian Sundrang itu sama
halnya dengan konsep ijab qobul dalam Islam, yaitu dengan penyebutan kata
tunai. “Namun sebelum sampai pada Sundrang terdapat beberapa hal yang harus
terlewati. Pertama, keluarga pihak laki-laki datang untuk melakukan serangkaian
upacara adat atau mamassari ke rumah pihak perempuan yang ingin
dijadikan istri,” paparnya.
Dalam adat Bugis dan Mandar, dijelaskan, pada saat mamassari
si laki-laki melakukan passio atau pengikat hubungan kepada perempuan yang dituju.
Menurut Hanang, mamassari ini berbeda dengan hanya
melalui ucapan atau bahasa saja seperti yang dilukan dalam adat Madura;
biasanya, juru bicara pihak laki-laki akan mengatakan kepada juru bicara pihak
perempuan menggunakan kiasan-kiasan. Semisal istilah arabes pagher atau matoro’
oca’ dalam bahasa Madura.
Kedua, pihak laki-laki datang untuk yang kedua kalinya guna
menerima keputusan diterima atau tidaknya. “Kalau diterima maka si laki-laki harus
memberikan cincin sebagai tanda pengikat, hari ini mayoritas masyarakat
membahasakan dengan istilah pekalan atau tunangan,” jelasnya.
Selanjutnya pada pertemuan kedua ini, kedua belah pihak
saling menentukan mapettuada (menentukan waktu pelaksanaan pernikahan).
Nah, di saat penentuan waktu ini, akan dibahas mengenai Sundrang dengan
percakapan berupa kiasan-kiasan yang mengisyaratkan jumlah sundrang yang harus
dibayar
Hanang mencontohkan, “jika satu tali kapal seharga satu
juta, maka dengan bahasa sindiran dibutuhkan lima tali ke depan dan lima ke
belakang. Artinya keluarga pihak perempuan menginginkan Sundrang yang harus
diberikan sebesar sepuluh juta rupiah,” jelasnya.
Setelah isyarat tersebut tersampaikan, baru tahap ketiga,
pihak keluarga laki-laki akan memusyawarahkan dan datang kembali untuk
melakukan mamassuro atau pernyataan sikap guna meyepakati nilai Sundrang
yang telah disepakati keluarga perempuan. Tahap mamassuro ini menjadi
tanda akan terjadinya sebuah pernikahan.
Zainal tokoh masyarakat adat Madura menambahkan, “selain
melaksanakan tradisi Sundrang, dalam peraktek pernikahannya terdapat perbedaan
antara tiga suku tersebut. Suku Madura membawa ben-giben atau barang
bawaan, namun tidak dalam suku Bugis dan Mandar,” ungkapnya.
Semisal terjadi suatu pembatalan dalam pernikahan, lanjut
Zainal, maka faktor pembatalan tersebut harus ditemukan terlebih dahulu. Jika
hal itu berasal dari pihak perempuan, maka Sundrang harus dikembalikan kepada
pihak laki-laki. Dan apabila sebaliknya, segala pemberian menjadi milik si
perempuan.
“Sundrang ini bentuk penghormatan kepada si perempuan. Kalau dalam perjalanan pernikahanya terdapat perpisahan, maka Sundrang itu tidak bisa dikembalikan kepada si laki-laki. Namun, mahar itu bisa kembali dengan catatan si perempuan belum pernah dukhul atau dicampuri oleh si laki-laki,” tegasnya mengakhiri.
Sumber: Majalah ALFIKR Edisi 33
Penulis: Heriyadi/Dian Prasetya