Perang di Gaza membuat warga Trauma dan Kesehatan mental Terganggu
Sabtu, 27 Juli 2024 - 11:03alfikr.id, Gaza- "bayi satunya terlalu lemah untuk dibawa pergi," ucap staf rumah sakit kepada Nabila Hamada dan suaminya.
Kala itu Nabila Hamada melahirkan putra kembarnya di salah satu rumah sakit di Gaza pada awal perang. Namun ia dan suaminya harus melarikan diri dengan membawa satu bayinya lanataran pasukan Israel akan menggerebek rumah rumah sakit tersebut.
Setelah penggerebekan itu, ia tak pernah lagi melihat putranya. Trauma yang menimpah Hamada (40) saat ini membuat ia takut akan kehilangan putra kembarnya yang lain. Bahkan ia bergeming tak akan sanggup menghadapi beban sehari-hari untuk menyelamatkan diri.
“Saya tidak bisa merawat anak-anak saya yang lain, yang lebih tua, atau memberi mereka kasih sayang yang mereka butuhkan,” imbuhnya di lansir dari voaindonesia.com.
Hamada adalah satu di antara ratusan ribu warga Palestina yang kesulitan merawat kesehatan mental mereka setelah sembilan bulan terkepung perang.
Jehad El Hams, yang mengungsi ke Khan Younis, pada saat itu memungut sesuatu yang ia kira kaleng makanan namun benda itu malah meledak. Ledakan tersebut membuat ia harus kehilangan mata kanannya dan jari-jemari tangan kanannya "Anak-anaknya hampir terkena ledakan itu," ungkapnya.
Sejak peristiwa yang menimpahnya membuatnya susah tidur dan mengalami disorientasi. “Saya selalu menangis setiap kali melihat diri saya dan wujud saya sekarang,” tuturnya.
Jehad El Hams kemudian menghubungi salah satu dari sedikit inisiatif kesehatan mental yang di Gaza, yang dikelola oleh badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA).
Peristiwa tragis juga di alami Mahmoud Rayhan yang menyaksikan keluarganya hancur. Serangan yang dilakukan Israel menewaskan putra-putrinya dan kaki istrinya harus diamputasi.
Perisriwa tersebut membuat ia mengisolasi diri di dalam tenda dan tidur hampir seharian. Bahkan Ia tak pernah berbicara kepada siapa pun.
Jehad El Hams mengaku tidak tahu cara mengekspresikan apa yang terjadi padanya. Ia gemetar, berkeringat. “Saya terus menangis dan tidak merasakan apa pun kecuali beban berat di hati saya.” ungkapnya.
Hal serupa juga di rasakan oleh Kerabatnya, Abdul-Rahman Rayhan, yang harus kehilangan ayahnya, dua saudara kandung dan empat sepupunya dalam sebuah serangan.
Ia mengaku ketika mendengar bunyi bom, ia langsung gemetar, pusing dan jantungnya berdebar kencang. “Saya merasa sedang bermimpi buruk dan menunggu Tuhan membangunkan saya,” ujarnya laki-laki yang berusia 20 tahun.
Sementara Mohamed Khalil dan istri serta kegita anaknya harus mengungsi hingga tujuh kali sebelum bisa mencapai Mesir pada bulan Januari. Sementara ia baru bisa menyusul istri dan anaknya pada bulan Maret lalu.
Mohamed Khalil mengaku Putrinya yang berusia delapan tahun ketika mendengar suara ledakan bom dan penembakan anaknya akan akan bersembunyi di kamar mandi sambil mengatakan, “Kita akan mati.”
Sementara Putranya yang berusia enam tahun hanya bisa tidur setelah ibunya memberitahunya bahwa mati syahid adalah sebuah kesempatan untuk bertemu dengan Tuhan dan meminta buah-buahan dan sayur-sayuran kepada-Nya, mengingat mereka tidak punya itu semua di Gaza
"Bahkan setelah sampai di Mesir pun anak-anak mereka menjadi tertutup dan ketakutan," pungkasnya.