Tata Kelola Mangrove Indonesia Mengalami Kemunduran
Kamis, 29 Agustus 2024 - 08:08alfikr.id,
Probolinggo- Keberadaan ekosistem mangrove di
sepanjang pantai Probolinggo, khususnya di Kecamatan Paiton, Desa Randutatah,
berperan penting dalam keberlangsungan hidup warga sekitar. Bukan hanya soal
kesejahteraan warga, tanaman mangrove menjadi tempat berkumpulnya spesies
pesisir, seperti ikan, udang rebon, kerang, dan kepiting.
Desa Randutatah semula terdiri
dari 4 dusun, yakni Dusun Gilin, Patukangan, Kramat, dan Grinting. Namun peristiwa
tak terduga, tepat tahun 1999 terjadinya abrasi di Dusun Grinting yang
mengakibatkan sekitar 200 kepala keluarga (KK) harus pindah ke Dusun
Karanganom, Desa Karanganyar. “Padahal semasa saya kecil dusun itu masih ada,”
kenang Abdul Aziz, warga sekaligus pegiat mangrove pesisir laut Desa Randutatah.
Bencana abrasi bukan
tanpa sebab, gelombang pasang surut air laut dan bentuk daratan Desa Randutatah
yang menjorok ke laut turut menyumbang atas tenggelamnya dusun tersebut. Dulu, sebelum
laut Randutatah ditanami mangrove, menurut Aziz sapaan akrabnya, setiap tahun
sempadan pantai hilang 2 sampai 3 meter.
Bahkan ketika laut terjadi air surut, sekitar 80 meter dari daratan terdapat sisa pondasi rumah di tengah laut. “Coba bayangkan misal sejak tahun 1990 menghabiskan 80 meter, kalau tidak dirawat berapa pas jika dihitung tiap tahunnya?” ujar Aziz saat ditemui alfikr.id, Jumat, 09 Agustus 2024. Semula pohon mangrove di Desa Randutatah tidak ada sama sekali.
Dia bercerita, lokasi saat ini yang digunakan untuk menanam mangrove awalnya lahan terbengkalai. Berupa tambak udang, bekas perumahan warga, kuburan, dan tanah negara. Baru dari tahun 2001, dia pertama kali menanam seribu pohon mangrove di sekitar laut Desa Randutatah tersebut.
“Meski tanah ini milik orang China, saya berani untuk menanam mangrove sendirian karena alasannya cuman satu yaitu untuk melindungi masyarakat dari abrasi,” ucapnya. Sebab, tanpa adanya penanaman, kata dia. “Saya pastikan abrasi sudah sampai ke rumah-rumah penduduk.”
Pada waktu menanam
mangrove, Aziz mengatakan, sebagian masyarakat banyak yang tidak mengerti
manfaat dari pohon itu. Tetapi berbeda dengan sekarang, mulai tahun 2015
penduduk setempat berantusias dalam merawat mangrove pasca pantai Randutatah diresmikan
menjadi area ekowisata. “Setelah itu banyak warga membangun warung disekitar
laut,” ujarnya.
Selain itu, demi
menjaga penghijaun di laut, dia menuturkan, setiap hari menanam pohon mangrove
700 sampai 800 batang mangrove propagul. Karena pohon, bagi dia, dibutuhkan
oleh banyak manusia. “Mana ada kontribusi manusia, paling hanya diperas tok,”
jelasnya. Terbukti, hingga kini dari 3 dusun Randutatah yakni Dusun Kramat,
Patukangan, dan Gilin, sudah ada 25 hektare pohon mangrove yang sudah hijau. “ Bukan
hanya mencegah abrasi, tapi ini bermanfaat kepada nelayan dalam menangkap
ikan,” tambahnya.
Dalam pelaksanaan Asean
Senior Officials on Forestry (ASOF) ke-27, kemarin 16-19 Juli 2024 yang
bertempat di Bogor, Jawa Barat, secara resmi seluruh delegasi negara-negara
Asean menyepakati Indonesia sebagai pemegang kepemimpinan selanjutnya ASOF.
Indonesia yang diwakili
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ke depannya akan memimpin
program kerja sama antar negara Asean dalam pengelolaan hutan lestari. Pada sambutannya, pemerintah Indonesia menyampaikan
komitmen untuk mengawal isu mangrove selama memimpin ASOF.
Beberapa poin
penjelasan dari KLHK pada kesempatan ASOF tersebut. Pertama, meningkatkan
kapasitas kesadaran untuk semua pemangku kepentingan yang relevan dengan
pengelolaan mangrove. Kedua, membangun tata kelola yang baik mulai dari tingkat
bawah sampai paling atas.
Ketiga, melakukan
intervensi teknis dengan cara belajar dari pengalaman antar negara sekaligus
dari para ahli dan komunitas. Keempat, mengadakan dialog kebijakan di antara
negara Asean untuk saling mendukung dan memperkuat kebijakan antar negara.
Kelima, melakukan
pemetaan dan penilaian untuk mengetahui dengan pasti situasi serta kualitas
sebaran mangrove yang ada di pesisir Indonesia juga negara-negara lainnya di
Asia Tenggara yang menjadi rumah bagi 34 persen mangrove dunia. KLHK
mengusulkan profil mangrove Asean sebagai bentuk memastikan baik tidaknya
status ekosistem mangrove.
Namun ironisnya,
penyampaian itu tidak sesuai dengan kondisi mangrove yang terjadi di Indonesia
ini. Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir, Laut, dan Pulau Kecil
Eksekutif Nasional Walhi menerangkan, sejak tahun 2020 tata kelola mangrove
Indonesia mengalami kemunduran serius daripada sebelum tahun 2010.
Dahulu, pada tahun 2007
dan 2009, terdapat UU No. 27 Tahun 2007 jo No. 1 Tahun 2014 dan UU No. 32 Tahun
2009. “Peraturan ini melindungi mangrove dan menetapkan sanksi pidana kepada
pelaku perusak lingkungan,” terang dia, dikutip dari walhi.or.id.
Sementara setelah tahun
2020 ini, sanksi bagi perusak mangrove hanya sekadar hukuman administrasi.
Termasuk, lahirnya UU Cipta Kerja yang berupa UU Minerba, menurut dia,
“Terjadinya gerak mundur perlindungan mangrove di Indonesia,” tegasnya. Padahal
sedari tahun 2022 lalu, KLHK telah melakukan diskusi mengenai Rancangan
Peraturan Pemerintah (RPP) tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem
mangrove. “Tetapi sejauh ini pembahasan RPP masih belum begitu masif.”
Parid Ridwanuddin
berpendapat, strategi pengelolaan mangrove yang disampaikan oleh KLHK kepada
delegasi negara Asean sepenuhnya tidak dijalankan dengan baik di Indonesia
sendiri. Dalam pengelolaan mangrove, bagi dia, “Indonesia tidak bisa memimpin
dengan memberi contoh,” tegasnya.
Sejumlah bukti
ketidakmampuan Indonesia dalam memimpin dengan memberi contoh. Dia menambahkan,
pertama, pemerintah tidak konsisten tentang data mangrove di Indonesia. Mengacu
pada data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 yang tercantum dalam dokumen
“Statistik Sumber Daya Pesisir dan Laut” tercatat, total luasan hutan mangrove
seluas 2.320.609,89 hektare.
“Dari angka itu, hanya
30,32 persen hutan mangrove berada dalam kondisi baik, 10,75 persen berada
dalam kondisi sedang, dan 12,36 persen dalam kondisi rusak,” ujarnya.
Sialnya, pada tahun
2021, pemerintah Indonesia menerbitkan Peta Mangrove Nasional (PMN) yang
menyatakan luasan mangrove lebih dari 3.364,080 hektare. Sebaran luas itu
terbagi di 92,78 persen tutupan lebat, 5,60 persen kondisi sedang, serta 1,62
persen tutupan jarang. Bahkan, kata dia, pemerintah mengklaim ada wilayah
potensi mangrove. “Seluas 756.183 hektare,” imbuhnya.
Kedua, saat akhir tahun
2020 lalu, pemerintah Indonesia menerbitkan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja yang direvisi kembali pada tahun 2023. Dalam peraturan tersebut, Pasal 5
UU Cipta Kerja mengatur tentang panas bumi yakni melegalkan tambang panas bumi
di wilayah perairan akan menghancurkan hutan mangrove di Indonesia.
Tidak hanya berhenti
disitu, pemerintah Indonesia pula mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 27
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan. Pada regulasi
ini, Pasal 3 sampai 7 tertulis bahwa zona inti ekosistem mangrove boleh diubah
untuk kepentingan Proyek Strategis Nasional (PSN).
Menurut dia, baik UU
Cipta Kerja dan PP No. 27 Tahun 2021 menyebutkan betapa agenda rehabilitasi
mangrove yang disampaikan oleh Presiden Jokowi itu sangat mudah diganti untuk
berbagai kepentingan PSN. “Ini kepentingan ekstraktif dan eksploitatif,”
tegasnya.
Ketiga, berdasarkan
studi Walhi Nasional yang tertuang dalam dokumen berjudul “Negara Melayani
Siapa? Potret Ocean Grabbing di Pesisir Laut dan Pulau-Pulau Kecil dalam 28
RZWP3K di Indonesia” dijelaskan, sampai tahun 2040 setidaknya seluas
3.527.120,17 hektare proyek reklamasi yang sedang dan akan dilaksanakan oleh
pemerintah. Sementara dalam perlindungan dan pengakuan mangrove, hanya
diberikan seluas 52.455,91 hektare. “Sungguh perbandingan yang sangat jauh jika
dibandingkan dengan luasan proyek reklamasi,” sebut dia.
Ketiga bukti diatas,
Parid Ridwanuddin menegaskan, memperlihatkan absennya keseriusan pemerintah
Indonesia dalam melindungi mangrove. Di pelbagai forum internasional, mengenai
perlindungan dan pengelolaan mangrove yang disusun oleh pemerintah Indonesia
seperti penyusunan peta mangrove, bagi dia, “Tidak memperbaiki ekosistem
mangrove baik jangka menengah maupun panjang,” tambahnya.
Terlebih, alasan Walhi
Nasional menyatakan mengapa Indonesia tidak mampu memimpin dengan contoh. Dia
menjelaskan, sebab secara diametral apa yang disampaikan pada forum
internasional bertentangan dengan kebijakan dalam negeri. Termasuk, jika
mangrove dijadikan objek perdagangan karbon, bagi dia. “Kemunduran yang sangat
besar,” menurutnya.
Kondisi
Mangrove di Jawa Timur
Turut merespons
perhelatan tersebut. Dilansir dari walhijatim.org, Lucky Wahyu Wardhana
mengatakan, keputusan pada kegiatan ASOF itu harus disambut secara serius,
terutama mengenai komitmen pemerintah Indonesia dalam mengawal tata kelola
kawasan mangrove yang selama ini dari tahun ke tahun selalu mengalami
kemunduran. Komitmen pemerintah itu, sebut dia, harus diingatkan untuk berhenti
melakukan alih fungsi kawasan mangrove yang diubah menjadi perumahan, area
tambak, dan reklamasi.
Hal itu dapat dilihat
selama kurun waktu 40 tahun telah terjadi deforestasi kawasan mangrove sebesar
6,05 juta hektare atau 66 persen. “Dari tahun 1980 awalnya seluas 9,36 juta
hektare, baru sejak tahun 2020 berubah menjadi 3,31 juta hektare,” jelas Lucky,
sapaan akrabnya, selaku Staf Kampanye dan Jaringan Walhi Jatim.
Provinsi Jawa Timur
(Jatim) merupakan wilayah yang memiliki luasan mangrove terbesar di Pulau Jawa
dan Bali. Merujuk pada peta Mangrove Nasional tahun 2021, total hutan mangrove
Jatim seluas 27.221 hektare di sepanjang pesisir utara dan selatan. Sebanyak
47,26 persen terhitung mangrove kerapatan lebat, 46,08 persen mangrove
kerapatan sedang, serta 6,66 persen kondisi mangrove kerapatan jarang.
Dalam catatan Walhi
Jatim, berjudul “Hutan Mangrove di Jawa Timur Dalam Ancaman” Lucky
menyampaikan, berdasarkan penelitian tentang mangrove di Jatim pada tahun 1985,
“Wim Giesen Indonesian mangroves: an update on remaining area and main
management issues” tertulis, bahwa luasan mangrove sebesar 57.500 hektare.
“Artinya selama kurun
waktu 36 tahun terdapat penurunan mangrove sebanyak 30.279 hektare dan jika
dihitung secara keseluruhan kawasan mangrove di Jatim setiap tahun mengalami
degradasi seluas 841 hektare,” jelasnya.
Termasuk adanya
penurunan kawasan mangrove di dua daerah, yaitu Madura dan Surabaya. Walhi
Jatim, lanjut dia, memperkirakan pada tahun 2023 wilayah Madura terjadi
penyusutan kawasan mangrove sekitar 3000-5000 hektare.
Bahkan, mengacu pada
temuan riset yang dilakukan oleh program studi Kelautan Universitas Trunojoyo
Madura disebutkan, dari total kawasan mangrove sebesar 15.118,1 hektare,
sebanyak 6.324 hektare atau 41,8 persen dalam kondisi rusak. “Hal itu terlihat
dari semakin berkurangnya sebaran hutan bakau di empat kabupaten Madura.
Awalnya total 15.118,1 hektare yang tersebar di empat kabupaten, kini hanya
tersisa sekitar 10.000 hektare saja,” ujarnya.
Sedangkan di Surabaya,
menurut laporan Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jatim bahwa
kawasan mangrove di pantai timur Surabaya (Pamurbaya) yang dielaborasi dengan
temuan lapangan Walhi Jatim, terlihat kondisi mangrove di Surabaya terus
mengalami penurunan dari semula pada tahun 1978 seluas 3.300 hektare, baru
sejak 2020 menyusut menjadi 2.504 hektare.
Alih fungsi kawasan mangrove menjadi perumahan misalnya, dia mengingatkan, ini menjadi masalah utama terhadap menurunnya kawasan mangrove yang berada di Jatim. “Sekarang mungkin kami memperkirakan tersisa 1.500-2000 hektare,” sambungnya.
Padahal, mulai dari
pemerintah provinsi, pemerintah kota, serta kabupaten telah berupaya untuk
melakukan pemulihan dan pengelolaan mangrove. Tetapi faktanya, Lucky
menyebutkan, degradasi kawasan mangrove masih terus terjadi. “Kesalahan
mendasar ada pada level kebijakan,” lalu kata dia, disisi lain bertambahnya
peraturan menjadi faktor utama sulitnya pelaksanaan pemulihan dan perlindungan
kawasan mangrove. “Regulasi yang tumpang tindih.”
Seperti Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Jatim hasil dari integrasi Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3K) ditambah RTRW level daerah ini pun berantakan.
Misalnya, penetapan PSN di Surabaya yang ditetapkan sebagai kawasan PSN
Waterfront City sangat bertentangan dengan status kawasan lindung pesisir.
Kebijakan salah arah
dari pemerintah nasional yang dilakukan di Surabaya merupakan bentuk legitimasi
untuk penataan ruang di daerah. Sehingga melalui aktivitas tersebut, terlihat
jelas lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi daripada pemulihan kawasan
mangrove. “Berdampak penyusutan pesisir dan rusaknya kawasan mangrove di
Surabaya,” terangnya.
Beragam macam regulasi
menyebabkan banyak sekali penerbitan izin pembangunan secara sembarangan yang
seharusnya menjadi kawasan lindung. Dia menegaskan, program tidak tepat sasaran
bermula sebab salah urus pada level kebijakan.
Seringkali prioritas
pemerintah sekadar ada pada reboisasi (penanaman kembali) hutan mangrove.
Herannya pula, persoalan alih fungsi kawasan mangrove terus berulang setiap
tahunnya. Dapat diartikan, bahwa penanaman kembali oleh pemerintah hanya
menjadikan kebijakan tambal sulam. “Yang dibutuhkan ialah menghentikan alih
fungsi kawasan mangrove,” ujarnya.
Menangani problem
tersebut, tak cukup hanya komitmen serius dari pemerintah. “Perlu adanya
kesadaran ekologis,” ujarnya. Dia menambahkan, yakni pemahaman yang menempatkan
pelestarian lingkungan sebagai hal utama dalam kebijakan pembangunan, kehendak
politik dalam penataan ruang yang bertujuan supaya praktik alih fungsi kawasan
mangrove dapat dihentikan, serta peraturan yang ketat dalam pengelolaan kawasan
lindung dengan prinsip penanggulangan bencana dan krisis iklim.