Menjaga Hutan Menjaga Kehidupan

Minggu, 12 Januari 2025 - 18:16
Bagikan :
Menjaga Hutan Menjaga Kehidupan
[Alfikr/Zulfikar]

Suku Kajang memandang alam sekitar atau hutan sebagai bagaian dan setara dengan manusia. Karena itu, manusia harus selalu menjaga kelsestarian hutan. Menurut mereka merusak hutan sama halnya merusak diri sendir. Berikut laporan Zulfikar, Wartawan Alfikr di Majalah edisi 35.

alfikr.id, Bulukumba- Jagai Kalengku Nak Kujagi Tukalennu, artinya jagalah aku maka akan kujaga engkau parah manusia. Demikianlah Rusli Malatong, salah seorang masyarakat Suku Kajang ketika membacakan bait-bait syair yang tertuang dalam Pasang Rikajang (pesan-pesan leluhur), saat diminta membacakan oleh Alfikr.

Masyarakat kajang merupakan salah satu suku adat yang mendiami daerah Tanah Towa, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Secara geografis Kajang dibagi dua, Kajang dalam disebut Tau Kajang dan Kajang Luar Tau Lembang. Masyarakat Kajang Dalam sangat kekeh memegang tradisi dan tinggal di wilayah Tanah Towa. Itulah alasan mereka menggan menerima peradaban modern. Sebaliknya masyarakat Kajang Luar sudah dapat menerima peradaban modern.

Masyarakat Tau Kajang mudah dikenal berdasarkan ciri-cirinya, seperti sering menggunakan pakaian serba hitam, tidak menggunakan alas kaki, mereka juga hidup apa adanya, dan memiliki keterikatan dengan alam.

Puang Mahrus, tokoh agama Bulukumba menjelaskan, dalam melestarikan alam masyarakat Kajang Dalam tidak dapat dilepaskan dari ajaran Pasang ri Kajang bahwa dunia yang diciptakan beserta isinya oleh Turi’e A’re’nan (Tuhan), harus dijaga keseimbangkannya. Pandangan ini dipegang teguh oleh masyarakat Tau Kajang. ”Ini merupakan pesan-pesan dari leluhur Suku Kajang,” ungkap Mahrus.

Bagi mereka rusaknya ekosistem alam, akan berdampak besar bagi kehidupan manusia. Untuk itu masyarakat Kajang memandang hutan tidak hanya sebagai pemberi kehidupan. Tetapi lebih dari itu, hutan merupakan bagian dari sistem kepercayaan.

Begitu pentingnya hutan dalam kehidupan masyarakat Kajang, maka Ammatoa sebagai pejabat tertinggi di kawasan adat Kajang, menetapkan beberapa aturan. Aturan itu menurut Rusli Malatong, berupa larangan menebang pohon, memotong rotan, menangkap udang, dan terakhir membakar lebah.

“Bagi mereka, konon lebih pernah menolong masyarakat Kajang saat mengusir para penjajah, sedangkan udang dianggap memiliki adaptasi yang lebih kuat sama halnya seperti pohon ketika bumi ini gundul maka akan terjadi longsor, dan gempa bumi. Berawal dari sinilah leluhur kami berjanji akan melindungi ekosistem hutan,” ungkap Rusli.

Upaya lainnya yang dilakukan Ammatoa dalam melestarikan hutan adat Kajang, adalah dengan mengangkat Tau Limayya (Petugas penjaga hutan) di setiap penjuru; di sebelah barat; ri Balagana, Damangassalam di selatan; ri Balangbia, Dengempa di sebelah utara; ri Tuli, Dakoda di sebelah timur; ri Teteakak, Tumutung ri Sobbz, khusus untuk hutan yang ada di dalam kawasan adat.

Pengangkatan Tau Limayya oleh Ammatoa, menurut Abdul Hafid dalam tulisannya Ammatoa Dalam Kelembagaan Komunitas Adat Kajang, dilakukan pada wilayah pemukiman masing-masing, sesuai dengan tuntutan atau petunjuk dari Pasang Ri Kajang. Kelima penjaga hutan bertugas mengawasi orang-orang atau oknum-oknum yang akan merusak hutan beserta ekosistemnya.

Selain itu masyarakat Kajang dengan penuh kesadaran, turut menjaga kelestarian hutan. Melalui kepatuhan melaksanakan kewajiban sesuai isi Pasang dan menghindari larangannya serta melaporkan pelanggaran yang terjadi. Ini semua merupakan kekuatan sosial dalam pelestarian hutan. Karena itu menurut Hafid, muncul pandangan bagi masyarakat Kajang bahwa hutan adalah bagian dari dirinya sendiri. Merusak hutan berarti merusak diri sendiri.

Dalam tulisan yang sama, Hafid menyebutkan aspek lain yang mendukung pelestarian hutan adanya prinsip kehidupan Tallase Kamase-Mase (sederhana). Melalui prinsip itu mereka tidak berambisi untuk mengeksploitasi hutan demi kepentingan dirinya sendiri.

Rusli Malatong, menyebutkan dalam Tailase Kamase-Mase hutan dibagi menjadi tiga zonasi. Pertama, Borong Karama (Hutan keramat) di mana masyarakat dilarang memasuki kawasan tersebut, kecuali tetua adat. Sedangkan kedua, Borong Battasayya (Hutan perbatasan) di sini masyarakat diperbolehkan mengambil kayu dengan syarat diberi izin oleh Ammatoa. Dan yang ketiga Borong Luarayya (Hutan rakyat) dapat dikelola oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Puang Mahrus menambahkan bahwa nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat Kajang sejalan dengan ajaran Islam, yang juga mengajarkan umat manusia untuk menjaga lingkungan hidup.

“Pesan leluhur sejalan dengan pesan-pesan dalam ajaran agama Islam,” ujarnya. Karena itu, Mahrus berharap agar nilai-nilai positif masyarakat Kajang tetap dijaga dan diamalkan demi keberlanjutan hidup, tidak hanya untuk masyarakat Kajang, tetapi juga untuk masyarakat di semenanjung Sulawesi.

Penulis
Saipur Rahman
Editor
Ibrahim La Haris

Tags :