Selalu Mencintai Ilmu Meski Jalan Terjal

Selasa, 02 Desember 2025 - 16:02
Bagikan :
Selalu Mencintai Ilmu Meski Jalan Terjal
Sumber gambar.[LumajangNetwork.com]

“Jika kamu tidak tahan dengan lelah dan letihnya belajar, maka kamu harus sanggup berhadapan dengan kebodohan.” (Imam Syafi’i).

alfikr.id, Probolinggo- Potret salah satu ulama yang dikenal sangat mencintai ilmu adalah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i. Kecintaannya terhadap ilmu tak lepas dari peran Ibundanya. Meskipun hidup mereka dalam kekurangan, Ibunya megatakan kepada Imam Syafi’i bahwa keterbatasan bukanlah alasan untuk berhenti belajar.

“Nak, meskipun kita tidak memiliki harta benda, tetaplah memiliki ilmu yang luas. Tetaplah teguh dalam belajar, agar kelak engkau dapat mengajarkannya kepada orang lain,” begitulah nasihat sang Ibu memberikan dorongan kepada Imam Syafi’i yang dikisahkan dalam kitab klasik Tabaqat al-Syafi‘iyyah, al-Subki.

Mendengar itu, Imam Syafi’i bertanya, “Bahkan ketika kita tidak memiliki biaya, Ibu?” Ibunya pun menjawab, “Iya, Nak. Tetaplah semangat belajar. Masalah biaya dapat kita usahakan, yang terpenting jangan meninggalkan ilmu, sehingga kebodohan bisa menenggelamkan.”

Dilansir dari Tabaqat al-Syafi‘iyyah, al-Subki menjelaskan sejak kecil Imam Syafi‘i telah menunjukkan perhatian yang besar terhadap Al-Qur’an hingga ia menghafalnya pada usia yang sangat muda. Selain itu, ia juga mulai mendalami hadis, qira’ah, dan fikih. Bahkan sebelum berangkat ke Madinah untuk berguru langsung kepada Imam Malik, ia telah menghafal kitab al-Muwaṭṭa.

Namun, dalam proses menuntut ilmu, tidaklah mudah. Sebagai anak yatim, Al-Bayhaqi mencatat bahwa Imam Syafi‘i menulis di kepingan tembikar dan media apa pun yang ia temukan ketika tidak memiliki kertas.

 كَانَ يَكْتُبُ فِي العِظَامِ وَالخَزَفِ إِذَا لَمْ يَجِدِ القِرْطَاسَ

“Beliau menulis pada tulang dan pecahan tembikar ketika tidak mendapatkan kertas,” dinukil dari Manaqib al-Syafi‘i, karya al-Bayhaqi.

Rumah yang ditempatinya, bahkan penuh dengan tulang-tulang bertuliskan pelajaran hingga membuatnya sulit tidur. Meski begitu, beliau tidak mengeluh. Setiap catatan yang ditulis itu dihafalkan terlebih dahulu sebelum ia buang, agar ilmunya tidak hilang.

“Pengetahuan itu laksana binatang buruan, dan tulisan itu talinya, maka ikatlah buruanmu dengan tali yang kokoh,” ungkapan Imam Syafi'i. 

Selan itu, dalam perjalanan ilmiahnya, Imam Syafi’i menimba ilmu dari banyak guru, di antaranya Imam Malik bin Anas di Madinah. Ia tinggal bertahun-tahun bersama Imam Malik dan sangat dihormati karena kecerdasannya. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan ke Irak dan kemudian Mesir untuk menyempurnakan ilmunya.

Dalam sebuah syairnya, Imam Syafi‘i mengisahkan bahwa ia pernah mengadu kepada gurunya, Waki‘i ibn al-Jarrah, tentang melemahnya hafalan. Gurunya kemudian menasihatinya untuk meninggalkan maksiat, karena menurutnya ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat.

Dalam Ta’lim Muta’allim, Imam Az-Zarnuji menjelaskan bahwa menuntut ilmu membutuhkan enam bekal: kecerdasan, ketamakan terhadap ilmu, kesungguhan, harta, bimbingan guru, dan waktu yang panjang. Tanpa kesungguhan, semua itu tak akan membuahkan hasil.

Imam Syafi’i pernah berkata, “Barangsiapa menginginkan dunia, ia harus memiliki ilmu. Barangsiapa menginginkan akhirat, ia juga harus memiliki ilmu.”

Di dalam Al-Qur’an QS. Az-Zumar: 9 pun menegaskan keutamaan orang berilmu, قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Apakah sama orang-orang yang mengetahui (hak-hak Allah) dengan orang-orang yang tidak mengetahui (hak-hak Allah)?” Sesungguhnya hanya ululalbab (orang yang berakal sehat) yang dapat menerima pelajaran.

Penulis
Aisyah
Editor
Ibrahim La Haris

Tags :