Walhi Kritik Rencana Prabowo Kembangkan Sawit di Papua

Jum'at, 19 Desember 2025 - 16:03
Bagikan :
Walhi Kritik Rencana Prabowo Kembangkan Sawit di Papua
Prabowo saat menyampaikan arahan kepada Kepala Daerah se-Papua dan Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (KEPP-OKP), di Istana Negara, Jakarta Pusat, Selasa (16/12/25). [Tangkapan Layar YouTube Sekretariat Presiden]

alfikr.id, Probolinggo- Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto mendorong penanaman kelapa sawit di wilayah Papua, yaitu menargetkan agar dapat menghasilkan Bahan Bakar Minyak (BBM) dari kelapa sawit, pada Selasa (16/12/25).

Hal tersebut disampaikan dalam acara Pengarahan Presiden Republik Indonesia kepada Kepala Daerah se-Papua dan Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (KEPP-OKP), di Istana Negara, Jakarta Pusat.

Prabowo menjelaskan, kita rencanakan dalam 5 tahun semua daerah bisa berdiri di atas kaki sendiri melalui swasembada pangan dan energi. Setiap tahun, kata dia, negara mengeluarkan ratusan triliun untuk impor BBM.

"Dengan menanam kelapa sawit, singkong, tebu, pakai tenaga surya dan tenaga air dapat hemat setiap tahun," jelasnya.

Contoh nyatanya, Menteri ESDM berapa ketika impor BBM dari luar? Menurut Prabowo, seharga Rp 520 triliun. Bayangkan kalau kita bisa potong setengah berarti ada Rp 250 triliun, apalagi kita bisa potong keseluruhan Rp 500 triliun. "Kalau Rp 500 triliun kemungkinan setiap kabupaten punya satu triliun," ucapnya.

Sebaliknya, dorongan tersebut sebenarnya menimbulkan kekhawatiran dari para pegiat lingkungan. Salah satunya Dwi Sawung, Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia.

Bagi dia, mengingat ekspansi perkebunan sawit yang masih sering dilakukan melalui pembakaran dan pembabatan hutan secara masif. "Bencana Sumatera akan kembali terulang jika pemerintah meneruskan pembabatan hutan dan tidak berupaya menambah jenis tanaman," ujarnya kepada Tirto.id.

Padahal secara jelas, bencana itu merupakan dampak deforestasi yang telah terjadi selama belasan hingga puluhan tahun. Dwi menegaskan, pemerintah harus menghentikan upaya pembabatan hutan di seluruh wilayah Indonesia dan juga mengurangi pengalihfungsian hutan menjadi kebun dengan satu jenis tanaman seperti sawit.

"Hutan tidak dapat digantikan dengan lahan sawit. Ketika ditanam sawit tidak akan membentuk ekosistem seperti hutan," terangnya.

Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, pada tahun 2024 merilis data deforestasi netto sebesar 175,4 ribu hektare. Angka ini diperoleh dari deforestasi bruto sebesar 216,2 ribu hektare. Mayoritas deforestasi bruto terjadi di hutan sekunder dengan luas 200,6 ribu hektare atau 92,8 persen, di mana 69,3 persen terjadi di dalam kawasan hutan dan sisanya di luar kawasan hutan.

Sementara menurut laporan Interfaith Rainforest Initiative, menunjukkan perkebunan sawit di Indonesia telah meningkat sepuluh kali lipat antara tahun 1985 dan 2007, mencapai 6 juta hektare. Selain itu, data BPS tahun 2024 memperlihatkan bahwa ekspansi perkebunan kelapa sawit terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir, dengan total luas 16 juta hektare.

Dwi mengatakan, konsep kebun sawit, hanya ada satu jenis tanaman yang ditanamkan. Ekosistem hutan yang kaya akan keanekaragaman hayati kemudian berganti menjadi kebun sawit yang homogen.

"Akar dari kebun kelapa sawit tidak sepanjang dan sedalam akar dari pohon-pohon yang tumbuh secara alami di lingkungan hutan," ucapnya.

Dampaknya, menurut dia, penyerapan air yang berada di tanah menurun drastis saat hutan berubah jadi kebun sawit. Termasuk juga daun dari tanaman-tanaman hutan memiliki peran besar saat dibandingkan dengan daun kelapa sawit.

Apalagi daun berbagai jenis tanaman hutan disebut lebih efektif memperlambat kecepatan air hujan hingga ke tanah daripada kelapa sawit. Dia menuturkan, serasah atau bahan organik mati berupa ranting dan daun bekas yang jatuh ke tanah berperan besar dalam ekosistem hutan tropis.

"Sebab mengurangi kecepatan masuknya air hujan ke tanah," jelasnya.

Sekalipun kebun sawit itu memiliki kemampuan menyerap air sekitar 40 persen, tapi masih tergantung jarak. Kemudian, tanahnya pula mampu menyerap air maksimum 40 persen. Namun kalau tanahnya miring.

"Kemampuan menyerap air semakin sedikit," pungkasnya.

Penulis
Moh. Dzikrillah
Editor
Ahmad Rifa'i

Tags :